Oleh: Rama Dira J. dan Benny Arnas
Meski malam telah sempurna, perempuan itu masih saja termenung di mulut pintu. Ia tak bisa tidur. Kebimbangannya menggunung. Adik-adiknya telah sedari tadi dibekap mimpi. Pikirannya berlari-lari, berputar-putar, sampai akhirnya bermuara pada seorang lelaki yang sehabis magrib tadi turun melaut bersama beberapa kawan.
Apakah ia akan pulang dengan selamat? Pertanyaan itu seolah mengabaikan kelakuan alam yang tak patut dirisaukan; langit yang cerah, bintang-bintang yang berserakan, bulan yang jingga penuh, atau angin laut yang berembus sewajarnya, membawa air asin beriak, lamat-lamat menggapai tubir pantai….
Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Meski lelaki itu sudah dikenalnya semenjak masa kanak, ia memang jarang menaruh perhatian berlebih padanya. Ia seolah menganggapnya bocah kecil yang terpisah dari dunianya; menjelma si pengembara yang tersesat di kampung halamannya, lalu Tuhan menciptakan sebuah perkenalan yang memaksa jantung mereka berdegup tak sewajarnya. Bagai dapat membaca semuanya, dan nyaris tanpa mukadimah, laki-laki itu menyuntingnya. Tanpa didampingi orang tua dan keluarga. Tanpa antar-antaran. Hanya dengan Alquran murah bersampul warna emas, telekung tipis berenda kembang mangkok, dan—ini yang dikatakan laki-laki itu sebagai mutumanikam dari langit—setangkai cinta!
*****
Di usia yang dapat dihitung dengan jemari yang tumbuh di kedua tangan; bersama kedua adiknya, lelaki itu dipaksa menjadi yatim piatu. Orang tuanya bagai membuang najis mugholadoh ketika mencoret mereka dari daftar buah hati. Entah, bagaimana bila kalian mendapati kenyataan yang lebih kelam ini: ayah-ibunya membuat keluarga baru, dengan pasangan yang baru, dengan anak-anak yang baru!!!
Hidupnya limbung. Ia tak pernah sempat bergaul dengan kawan sebaya sebab keadaan memaksanya menjadi dewasa lebih cepat. Ketika anak-anak turun sekolah, ia justru ikut melaut sebagai anak buah kapal. Ia terpaksa menggantungkan hidup dari hasil tangkapan. Tak seberapa sebenarnya yang didapat. Ia hanya dijatah satu-dua ikan yang tak laku dijual. Bila majikannya sedang baik, barulah beberapa lembar uang ribuan mengisi kantungnya.
Lalu, nasib membawanya ke kampung ini. Kampung yang tak jauh beda dengan tanah kelahirannya. Kampung yang dikepung oleh laut dan nyiur. Kampung yang menabrakkan mereka dalam sebuah asmara yang nyaris tak beriak.
Perayaan Agustusan tiga bulan silam. Ketika pertandingan tarik tambang dihelat. Regu perempuan itu berhadapan dengan regu kampung seberang. Jelang kemenangannya; tambang ditarik dengan sepenuh kekuatan, selepas-lepasnya napas, dan semeletupnya amarah. Regu lawan terhuyung ke muka. Perempuan itu, yang menjaga baris belakang, ikut terjerengkang. Seharusnya tulang belakangnya sudah mencium punggung batang kelor yang berada tak jauh dari arena pertandingan, bila laki-laki itu tak menamengkan tubuhnya, membuka kedua tangannya, dan… ups! setengah jongkok ia menahan beban perempuan itu. Serta merta tepuk sorai bergemuruh. Keriuhan itu bukan hanya untuk kemenangan regu kampung si perempuan, namun juga diselipkan olok-olokan: oooiii, ada perawan jatuh di pelimbahan bujang! Tawa-tawa itu pecah bagai menyemprotkan cairan merah muda di wajah mereka yang tiba-tiba melepaskan rangkulan. Keduanya baru tahu, cinta bisa hadir kapan pun ia mau.
*****
Mengapa ia tak membawa azimat penolak balak? Perempuan itu masih meredam buncah; cemas yang berkeriapan. Sebuah kalung yang terbuat dari kain serba kuning dan tersebar rajah tulisan Arab gundul dengan tinta hitam, lupa dibawa suaminya.
Suaminya pernah bercerita. Ia pernah lepas dari aksi perompakan berkat azimat penolak balak. Malam itu, sebuah kapal motor milik segerombolan perompak merapat ke perahu ketinting miliknya. Ia sendirian. Sedangkan gerombolan perompak itu berjumlah sekitar sepuluh orang. Para perompak ini bermaksud mengambil mesin ketinting dan hasil tangkapannya untuk dijual lagi. Mereka sudah mengarahkan senjata padanya dan beberapa di antaranya bersiap-siap turun dari kapal motor. Sebelum mereka berhasil merompaknya, dalam hitungan detik, ia bersama perahu ketintingnya menghilang dari penglihatan para perompak itu. Berhadapan dengan keganjian yang tak bisa dinalar, para perompak ciut nyali. Mereka buru-buru meninggalkan tempat itu dan menganggapnya sebagai hantu laut.
Sejujurnya, sebelum malam ini, ia menganggap cerita itu bualan semata. Bila pun benar, ia yakin ada yang dilebih-lebihkan. Namun kini, ohhh, semua yang berpeluang menumpuk kekhawatirannya, bagai berlomba-lomba menjelma kenyataan; memerudukkan kecemasannya yang kian memuncak.
Kini pikirannya mengembara pada cerita-cerita orang tentang para perompak di laut ganas. Dalam aksinya, para perompak tak segan melakukan kekerasan terhadap para pelaut yang dituju. Dan… jika sampai bertemu para perompak itu, tentulah kawanan suaminya akan sangat mudah diringkus. Selain tak membawa azimat keberuntungan, kondisi kapal dongfeng (sebutan yang merujuk pada merk mesin diesel yang dipakai sebagai penggerak kipas di buritan kapal) bisa menjadi sebabnya. Meski berusaha melarikan diri, kecepatan lari kapal yang mereka awaki itu tentu hanya menjadi bahan tertawaan kapal motor para perompak dengan mesin ganda yang berkekuatan 100 pk itu.
Bagaimana kalau mereka dibuang para perompak itu ke laut? Meski tahu suaminya seorang nelayan yang sedari bocah sudah biasa bercengkerama dengan laut, ia belum sepenuhnya yakin bahwa ia seorang perenang andal. Ia tak pernah mendengar cerita kalau-kalau suaminya pernah berhadapan dengan badai. Katakanlah perahunya terbalik atau pecah oleh hantaman ombak ganas hingga terpental ke laut, dan ia berenang menyelamatkan diri, bisa mencapai tepian dengan selamat. Ia belum pernah mendengar kisah penyelamatan diri semacam itu dari bibir suaminya. Belum pernah!
Ah, bodoh benar jika aku sampai berpikir yang macam-macam, jangan-jangan ia tak melaut?
O o, bagaimana bisa keraguan ini dapat hadir serta merta? Tapi… bukanlah rahasia lagi jika para suami di kampung nelayan itu sering berulah. Berpamitan pada istri untuk melaut mencari ikan, padahal perahu mereka tak mengarah ke laut. Mereka ke kedai Agas, sebuah kompleks perjudian dan pelacuran kumuh di ujung kampung. Hugh! Nelayan jenis ini adalah pecundang sejati. Mereka tak risau menghabiskan uang hasil tangkapan beberapa minggu di laut (meski telah bergumul dengan badai dan maut) hanya dalam waktu semalam saja di meja judi dan ranjang pelacur. Ya ya ya, meski suaminya tampak lurus-lurus saja, perempuan itu tiba-tiba tak bisa memastikan apakah lelaki itu bisa abai pada pengaruh buruk; menolak tawaran kenikmatan semacam itu. Tiba-tiba ia merasa menjadi begitu polos: aku tak sepenuhnya bisa memahami lelaki dan dunianya.
*****
Meski malam hampir tunai, perempuan itu masih duduk termenung di mulut pintu. Baginya, malam serasa tak bertepi. Malam dengan amarahnya itu mengurungnya, dan membuat rasa khawatir tak pergi-pergi meninggalkannya. Hujan semakin deras. Petir dan guntur semakin riang mewarnainya. Laut bagai mengamuk dan perempuan itu tetap tak mau beranjak dari mulut pintu. Ia berusaha menerbangkan pandangannya, melewati tumpahan hujan, menerabas badai, melintasi kilat; berharap bisa melihat pertanda kehadiran kapal dongfeng yang ditumpangi sang suami.
Apakah kapal dongfeng tua itu masih kuat menahan terjangan ombak? O o, pertanyaan itu tiba-tiba meloncat menyeringai di hadapannya, ketika ia tatap laut yang terbentang. Mendadak angin berembus begitu kencang. Langit menggelap. Awan-awan hitam menelan bulan dan bintang-bintang. Air laut yang tadi tenang, kini semakin resah. Gulungan ombak tak lagi indah dipandang, namun makin garang, bergulung-gulung mengganas hingga ke tepi.
DUARRRRR!!!
Pasti ada sebatang nyiur yang terbakar oleh sengatan petir…. Tentu, perempuan itu takkan membisikkan kecemasan yang kini membuncah: mungkin saja ada sebuah kapal dongfeng yang tersungkur di tengah samudera….
*****
Meski malam telah memuai, perempuan itu masih saja termenung di mulut pintu. Dengan mata yang merah. Dengan pipi yang basah. Dengan isak yang ditelan debur ombak. Beberapa nelayan lalu-lalang di sekitar pantai. Sebentar lagi, ikan-ikan yang tak laku akan diasinkan, dikeringkan, untuk dijual beberapa hari ke depan.
“Sudah subuh, ya?” Salah seorang adik iparnya bertanya dengan mata yang masih berat, dan mulut yang setengah menguap. (*)
Tarakan & Lubuklinggau, Juni 2010
Rama Dira J. lahir di Tarakan. Menyelesaikan studi Hubungan Internasional di UGM. Menulis sejak 2002. Cerpennya telah dimuat media nasional dan lokal.
Benny Arnas lahir di Lubuklinggau. Menyelesaikan studi Bioteknologi di Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Mengarang sejak 2008. Meraih dua penghargaan sastra 2009: Anugerah Batanghari Sembilan dan Krakatau Award.