“Nak, Abah pengen cerita.”
“Cerita apa, Bah?” aku menatap wajah Abah dalam-dalam.
“Tapi kamu ndak boleh ketawa, lho. Soalnya kamu pasti bakal mengira ini cerita konyol.” Nada bicara abah agak kurang percaya diri.
“Iya deh, Bah. Memang cerita apa, sih?”
“Begini, Nak. Jadi, ketika abah ketiduran di masjid kita kemarin siang, abah bermimpi bertemu kakek.”
Abah diam sebentar. Menyalakan rokok kreteknya. Mengisap, mengembuskan asapnya, lalu melanjutkan cerita.
“Kakek yang di mimpi itu berpakaian serbahitam, menyampaikan pesan yang membuat abah bimbang,” wajah abah berubah serius.
“Pesan apa, Bah?”
“Kakek bilang bahwa di bawah tiang paling tengah masjid kita itu ada sebilah keris warisan kakek yang seharusnya Abah simpan!”
Aku tercengang, tapi mencoba tenang. Masjid Syuhada yang dibangun tepat di samping rumahku itu memang dulu kakek yang membangun. Konstruksinya semua dari kayu jati. Disangga sembilan tiang yang kokoh, Masjid Syuhada jadi kebanggaan keluarga kami. Namun, mimpi aneh abah mengusikku juga.
“Abah percaya mimpi itu?”
“Itulah masalahnya, Nak. Abah bingung, katanya mimpi itu bisa dari setan atau dari Allah, ya?”
“Tapi masa iya Allah nyuruh kita nyari keris di bawah tiang masjid, Bah? Mimpi dari setan kali itu, Bah.”
“Tapi, Abah itu rasanya seperti bertemu kakek beneran. Pesan kakek itu sepertinya harus dituruti.”
“Lantas, Abah mau mencari keris itu? Mau merobohkan masjid?” Tidak habis pikir aku, bagaimana bisa Abah termakan mimpi tak logis itu.
“Wah, ndak tau lah, Nak. Abah jadi tambah bingung. Sudah, ayo kita pulang aja.”
Di perjalanan pulang, kami saling diam. Sampai rumah aku tak kunjung memejamkan mata. Mengapa ya, abah bermimpi seperti itu? Ada apa gerangan? Taruhlah jika mimpi itu benar, mengapa pula kakek menanam keris di bawah tiang tengah masjid? Aku ketiduran gara-gara capai menduga-duga.
*****
Aku perhatikan, akhir-akhir ini abah jadi semakin sering tidur siang di masjid. Biasanya setelah shalat Dzuhur, tanpa berganti pakaian abah merebahkan badan di samping tiang tengah masjid. Ditiup angin yang berkesiur dari kebun singkong di utara masjid, abah bak di-ninabobokan. Mungkin abah berharap mimpinya tentang keris itu berlanjut. Aku belum berani bertanya lebih lanjut mengenai kebiasaan barunya itu.
Masjid Syuhada dibangun 40 tahun yang lalu. Saat itu aku belum lahir. Abah juga masih berusia belasan. Pohon jati yang ditanam Mbah Buyut di sehektare tanah belakang rumah jadi bahan baku utama pembangunan masjid itu. Diam-diam, sebenarnya aku menyimpan rasa bangga melihat masjid keluargaku itu. Masjid yang kokoh dan eksotis!
Pertanyaan yang menggelayutiku sekarang, bagaimana bisa hadir mimpi dalam tidur abah untuk mengambil keris yang tertanam di bawah tiang masjid? Bukankah itu berarti akan merobohkan masjid atau minimal mencederai masjid? Abah juga pasti dianggap orang yang konyol dan jadi bahan tertawaan orang sekampung jika menuruti mimpi itu. Tiba-tiba aku jadi ingat Nabi Ibrahim yang diperintah Tuhan lewat mimpi untuk menyembelih Ismail. Namun, abah bukan nabi!
Sesaat lamunanku buyar oleh suara ketukan di pintu depan. Ada tamu sepertinya. Bergegas aku menyambangi pintu. Muncul sosok laki-laki parlente berpakaian kasual lengan panjang motif garis-garis. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya di kampung ini.
“Benar ini rumah Abah Dahlan?” tanyanya sembari melempar seulas senyum.
“Iya, benar.”
“Boleh saya bertemu beliau?”
“Mari, silakan masuk.”
Setelah kupanggil, abah menemui laki-laki parlente itu, sedangkan aku kembali masuk kamar. Dari kamarku yang terletak di samping ruang tamu, sayup-sayup aku mendengar percakapan abah dengan tamu asing itu. Sekilas aku seperti mendengar kata-kata masjid, real estat, kompensasi, dan harga pantas. Selebihnya aku tak bisa mendengar dengan jelas. Ada apalagi ini? Aku jadi curiga.
*****
Selepas shalat Maghrib, abah tak langsung membaca Alquran seperti biasanya. Beliau memanggilku, duduk di serambi masjid. Tatapan mata abah mengitari sekeliling masjid. Seolah tak satu pun sudut di masjid ini terlewatkan dari sapuan matanya. Bisa kutangkap gelagat resah yang sangat dari wajah abah.
“Ada apa, Bah? Kok murung, masih memikirkan mimpi kemarin, ya?”
“Bukan masalah itu saja, Nak,” abah memandang lekat mataku, “kamu tahu tho tamu abah tadi siang?”
“Iya. Memangnya tamu tadi siang itu siapa, Bah?”
“Dia itu pengusaha kaya yang mau membangun real estat di daerah kita. Katanya daerah sini itu masih asri, masih terasa nuansa alaminya, pokoknya dia bilang tempat ini cocoklah kalau dibangun real esatat.”
“Lalu, apa masalahnya?”
“Orang itu mau membeli masjid kita, Nak! Dia bilang lahan-lahan penduduk di sekitar masjid sudah dibebaskan, tinggal masjid kita yang belum. Dia berani bayar 100 juta untuk masjid kita beserta tanahnya!” jelas abah kepadaku.
Benar dugaanku! Tamu itu tidak beres!
“Jangan dijual, Bah! Semiskin apa pun kita, Allah pasti menurunkan rezeki untuk hamba yang menjaga dan memelihara rumah-Nya,” aku coba meyakinkan abah.
“Memang benar, Nak. Tapi, 100 juta itu tidak sedikit, lho, buanyak banget itu. Dan pasti berguna sekali bagi keluarga kita. Apalagi keenam adikmu sudah masuk sekolah semua.”
“Abah, meskipun jamaah masjid ini tak pernah lebih dari dua shaf, tapi masjid ini adalah warisan kakek yang harus kita pelihara. Walaupun anak-anak sekarang malas pergi TPA, dulu orang-orang kampung belajar baca Alquran juga di Masjid Syuhada ini.” Aku berusaha meyakinkan abah. Kupegang pundaknya erat. Menahannya agar tak goyah hati.
“Sekarang apa artinya masjid jika tak punya jamaah? Buat apa TPA jika muridnya cuma satu-dua? Jangan-jangan perintah kakek untuk mengambil keris itu adalah isyarat bahwa akan adanya peruntungan besar jika abah merobohkan masjid. Mungkin itu keris bertuah pembawa keberuntungan, ya mungkin saja,” tatapan mata abah menerawang.
“Istigfar, Bah, istigfar.” Aku tak mampu menutupi kekhawatiranku.
Gubraak!!!
Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam masjid. Serempak aku dan abah menengok ke dalam.
Innalillahi….
Mbah Giyo, satu-satunya jamaah yang masih tinggal di masjid untuk nderes AlQuran, tertimpa kipas angin! Kepalanya bersimbah darah. Mushaf Alquran tua warna cokelat lusuh terpangku di tangannya. Dan, masya Allah, beliau duduk tepat di bawah tiang paling tengah. Tiang yang menurut mimpi abah tersimpan keris pusaka di bawahnya!
*****
Malam itu kampung kami gempar. Warga berdatangan ke masjid. Abah tampak merasa bersalah sekali. Memang di tiap tiang terpasang kipas angin. Tapi, entah bagaimana bisa kipas angin yang di tiang paling tengah yang jatuh. Tepat ketika ada orang di bawahnya lagi. Maut selalu tak mengenal tempat dan waktu.
Setelah dimandikan dan dishalatkan, jenazah Mbah Giyo dimakamkan malam itu juga. Keluarga beliau berusaha memasang raut wajah ikhlas menerima. Pun begitu kesedihan tak bisa dihapuskan begitu saja. Mbah Giyo memang dikenal sebagai warga yang baik. Beliau tipikal pendiam, tapi cekatan ketika membantu warga yang sedang butuh bantuan. Untunglah dua orang anaknya sudah sama berkeluarga sehingga perginya Mbah Giyo tak begitu jadi beban keluarga.
Warga sejatinya bersepakat untuk menganggap kematian Mbah Giyo ini sebagai musibah, bukan salah abah. Akan tetapi, suara-suara sumbang tetap terdengar. Menyalahkan abah, menghujat abah dan menuding abah yang bukan-bukan. Abah pasrah saja mendengarnya. Untuk sedikit menebus rasa bersalahnya, abah mengambil sebagian tabungannya sebagai santunan buat keluarga Mbah Giyo. Walaupun sepenuhnya abah sadar, uang yang tak sebarapa ini tak berarti banyak untuk keluarga yang ditinggalkan.
*****
Hari berikutnya, ibu masuk rumah sakit. Berita kematian Mbah Giyo di masjid jadi beban pikiran beliau juga ternyata. Dokter berkata bahwa ibu harus dirawat. Istirahat di rumah sakit lebih baik, kata dokter. Abah mengelus dada. Memikirkan biaya pengobatan. Sebagian tabungan sudah digunakan untuk santunan keluarga Mbah Giyo. Tapi, bukan abah namanya jika tidak memberikan yang terbaik bagi ibu, cintanya.
Untung abah tak bercerita perihal mimpinya kepada ibu. Andai kata abah bercerita, tak bisa dibayangkan kondisi ibu sekarang ini. Tawaran untuk menjual masjid beserta tanahnya juga tak pernah diceritakan abah kepada ibu. Di mataku, abah adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab walau terkadang hatinya sering goyah.
*****
Sore ini aku dan abah menjaga ibu di rumah sakit. Waktu menunjukkan sudah hampir Magrib. Seketika, Lik Yoto, tetangga samping rumahku, datang tergopoh-gopoh dengan wajah pias.
“Abah Dahlan, anu Bah, em… itu Dik Bayu, Bah. Dik Bayu kakinya tertimpa beduk masjid!” Gugup sekali Lik Yoto menyampaikan kabar yang membuat seisi kamar tempat ibu dirawat beristigfar.
“Astagfirullahal ‘adzim, Laa ilaaha illallah, di mana dia sekarang?” Abah bereaksi cepat. Mulutku masih ternganga. Sedang ibu sesenggukan menahan tangis. Beliau semakin terkulai dan kehilangan kata. Lekas-lekas aku mengusap-usap pundak beliau, coba menenangkan.
“Di UGD, Bah,” Lik Yoto mukanya semakin kusut.
Melihat kondisi Dik Bayu kontan abah lunglai. Telapak kaki Dik Bayu sudah hampir putus, terpisah dengan mata kaki. Dokter dan para perawat bergerak tangkas. Tangis Dik Bayu tak henti-henti. Di samping telinganya abah membaca banyak zikir sambil mengusap rambut Dik Bayu yang basah oleh keringat.
Masuk ruang operasi abah sedikit tenang. Dokter mempersilakannya menunggu di luar. Abah menurut, beliau duduk di bangku panjang depan ruang operasi. Sesaat kemudian, dokter menghampirinya.
“Anak bapak harus diamputasi kakinya.”
Mata abah berkunang-kunang.
Lik Yoto bercerita kalau tadi ketika TPA di masjid, Dik Bayu bermain di dekat beduk bersama temannya. Belajar iqro’ sudah dimulai Dik Bayu masih asyik bermain. Tak jelas bagaimana mulanya, tiba-tiba saja tangisnya pecah mengagetkan orang-orang di masjid. Setelah tahu kakinya kejatuhan beduk, warga sekitar berdatangan dan membawanya ke rumah sakit. Abah mendengar cerita itu geleng-geleng kepala. Mimpi bertemu kakek serta tawaran dari pengembang real estate berkelebat di benaknya.
*****
Masjid pembawa sial. Itulah julukan bagi Masjid Syuhada saat ini. Dua musibah sudah terjadi di masjid itu. Dalam waktu yang tak berselang lama pula. Jamaah menurun drastis. TPA malah telah gulung tikar. Kepercayaan masyarakat desa terhadap hal-hal mistis mengalahkan segala rasionalitas. Masjid warisan kakek itu benar-benar jadi simalakama. Tak dibongkar salah, dibongkar juga salah. Abah muram jadinya.
Lorong rumah sakit sepi. Ibu dan Dik Bayu istirahat. Tinggal aku dan abah terpekur di atas bangku. Napas abah terdengar berat sekali. Seberat beban yang disandangnya.
“Nak, abah sudah mengambil keputusan. Masjid Syuhada kita itu akan abah jual. Abah benar-benar butuh uang saat ini. Biaya pengobatan ibumu dan amputasi Dik Bayu butuh uang tidak sedikit. Inilah mungkin tafsir mimpi abah kemarin hari. Menjual masjid itu.” Abah sampai pada titik nadir kepasrahan.
“Abah, bukannya tidak setuju, tapi apa tidak ada jalan lain untuk mendapatkan uang? Allah pasti memberi petunjuk,” kataku meyakinkan abah.
“Tabungan abah sudah habis, Nak. Sejak dulu abah berprinsip kita tak boleh mengutang walau sedikit. Jadi, menjual masjid adalah pilihan terbaik. Toh, dari uang 100 juta itu kita bisa membeli tanah dan membangun masjid lagi.”
Aku menghela napas panjang. Tak lagi bisa berkata apa pun jua.
*****
Nuansa pagi ini kalah cerah jika dibanding dengan wajah pengusaha yang baru saja menandatangani surat jual beli. Masjid Syuhada kini bukan lagi milik kami, melainkan miliknya. Dua hari berikutnya masjid dirobohkan. Rata dengan tanah. Dari jendela kamar aku menatap nanar tanah bekas masjidku dulu. Namun, malam itu aku melihat sosok lelaki tua membawa cangkul. Menuju bagian tengah masjid. Mencari letak tiang paling tengah dulu berdiri. Tak salah lagi, itu abah! Perlahan gerimis turun lalu menjelma hujan. Abah terus saja menggali, terus menggali. Hujan semakin deras, deras sekali. (*)