Kedai kopi bermunculan di mana-mana, tetapi warung kopi Bu Trinil tetap menjadi favorit saya. Kopi bikinan Bu Trinil tetap paling jos rasanya; saya sudah merasakan khasiatnya bagi kesehatan jiwa saya.
Di warung Bu Trinil saya bisa berkenalan dan mengobrol dengan berbagai macam orang. Petang itu, misalnya, saya berkenalan dengan seorang pria berbaju batik biru, namanya Marbangun. “Panggil saja Bang Bangun,” ujarnya.
Marbangun bercerita, saat ini dia sedang menata hidupnya. Sudah bertahun-tahun dia mencari peruntungan di dunia politik, tetapi belum juga membuahkan hasil. Dia pernah dua kali nekat ikut mencalonkan diri sebagai anggota badan legislatif di kotanya dan kedua-duanya gagal.
“Semoga sampean tidak terjerumus ke dalam kancah politik. Politik itu keras, penuh muslihat. Orang lugu seperti sampean akan celaka,” katanya.
Untuk menuruti ambisinya, banyak harta benda yang telah dia korbankan. Dia sudah menjual tanah dan sapi di kampung, mobil, perabotan furnitur, dan barang-barang berharga lainnya. Bahkan, katanya, “Seandainya saya punya kucing, mungkin saya akan jual kucing juga.”
Setelah didera berbagai kegagalan, Marbangun memutuskan untuk berserah kepada Tuhan, menjauhkan diri dari godaan duniawi. Dia ingin ikut membangun masyarakat yang bertakwa dan berakhlak mulia.
“Tak ada lagi yang bisa saya jual,” katanya. “Satu-satunya yang masih bisa saya jual ialah…”
Dengan agak tergesa-gesa Marbangun beranjak dari duduknya, membayar jajanannya, lalu pamit pergi; katanya dia akan menengok dan mendoakan temannya yang sakit. Pada saat bersamaan merebak bau kentut yang menyengat. Saya dan beberapa orang saling memandang curiga, seakan-akan saling menyelidik siapa yang telah melepaskan kentut tanpa bunyi itu. Sambil memencet hidungnya, Bu Trinil mengarahkan telunjuknya kepada Marbangun yang sedang melangkah pergi. “Orang itu memang suka kentut sembarangan,” cetusnya.
Sepulang dari warung Bu Trinil, saya bersiap menyambut kedatangan Paman Yusi, senior saya. Saya dan teman-teman menyebutnya “paman” karena sifat kebapakan dan dedikasinya yang besar sebagai guru dan penasihat spiritual penulis-penulis muda.
Paman Yusi baru saja pulang dari Amerika. Seusai menjalani residensi selama enam bulan di sana, dia berhasil merampungkan sebuah novel yang telah bertahun-tahun di kerjakannya—sebuah novel yang tebalnya melebihi Alkitab, yang untuk membacanya dengan khidmat dan meresapkannya ke dalam kalbu diperlukan retret minimal sebulan.
Paman Yusi mengajak beberapa teman merayakan rezeki dengan pesta puisi dan kopi di kos saya. Tentu saja Paman Yusi yang bertanggung jawab atas ketersediaan kopi, rokok, kacang rebus, singkong, dan pisang goreng.
Kegiatan iseng yang diprakarsai Paman Yusi ini menarik perhatian beberapa remaja setempat. Mereka bergabung dengan kami dan kami oke-oke saja.
Para remaja itu tampaknya ikut terserang virus puisi. Mereka jadi hafal baris puisi saya: Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. Entah siapa di antara mereka yang mengubahnya menjadi Rayakanlah setiap rezeki dengan ngopi agar bahagia hidupmu nanti. Kata-kata ini mereka kumandangkan dan dendangkan di mana-mana. Kami gembira karena usaha kami menghaluskan jiwa melalui sastra di kalangan anak-anak muda mulai membuahkan Hasil.
Paman Yusi kembali mengadakan pesta kopi dan puisi di kos saya ketika novelnya yang lebih tebal dari Alkitab itu terbit. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini tidak ada remaja setempat yang datang dan bergabung. Mereka pasti sedang sibuk belajar untuk menghadapi ujian sekolah.
Di tengah kegembiraan kami merayakan rezeki Paman Yusi, serombongan pemuda setempat tiba-tiba mendatangi kami sambil menyerukan kata-kata bernada ancaman. Ternyata mereka mau menemui dan meringkus saya. Saya dianggap dan dituduh telah menyebarkan ajaran sesat.
Saya bingung, ajaran sesat mana yang saya sebarkan. Komandan pemuda setempat menunjukkan sesobek kertas bertuliskan Rayakanlah setiap rezeki dengan ngopi agar bahagia hidupmu nanti.
“Oh, itu puisi, kak, bukan ajaran,” saya menjelaskan.
Komandan pemuda setempat: “Pokoknya, gara-gara ayat yang anda sebarkan ini, anak-anak di sini jadi rusak kerohaniannya.”
“Puisi itu menghaluskan jiwa, kak, bukan merusak,” timpal saya.
“Menghaluskan jiwa bagaimana? Karena terpengaruh oleh ayat ini, orang-orang di sini jadi keranjingan kopi. Dikit-dikit ngopi. Anak-anak jadi betah melek semalaman, lalu bangun kesiangan. Kita jadi susah ngebangunin mereka buat sekolah. Dikasih duit buat bayar sekolah malah dipake buat ngopi-ngopi.”
Paman Yusi melirik ke arah saya sambil pura-pura batuk-batuk, entah maksudnya apa.
Yang tua-tua ikutan keranjingan juga. Suami-suami habis gajian sibuk ngopi. Istri-istri dikasih uang belanja malah dipake ngopi. Rusaklah pokoknya.”
Subagus, teman kami yang sering berperan sebagai “seksi keamanan”, menyimak dengan tegang. Untung dia memakai kacamata gelap sehingga kegalauan matanya tidak kelihatan.
“Kalau dapat rezeki, mestinya kan berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, bukan malah ngopi-ngopi. Yang bisa kasih kebahagiaan kan cuma Tuhan, bukan kopi.”
Saya tak tahu lagi harus bilang apa.
“Intinya kami minta pertanggungjawaban. Bisa jadi urusan polisi nih.”
Mendengar “urusan polisi”, hati saya terguncang. Saya membayangkan hal-hal buruk akan menimpa saya.
Paman Yusi memberikan kode kepada Subagus agar segera menangani komandan pemuda setempat
Subagus bangkit, mengajak komandan pemuda setempat bicara empat mata. Oleh komandan pemuda setempat, Subagus dibimbing untuk menemui pemimpin gerakan yang menunggu di seberang sana, di bawah pohon mangga. Ya ampun, ternyata itu Marbangun, pria tampan berbaju batik biru itu.
Saya tak tahu perundingan macam apa yang mereka lakukan. Saya hanya melihat Subagus berbicara dengan pemimpin gerakan dan komandan pemuda setempat sambil memiringkan telunjuk di jidatnya. Pasti dia bilang saya ini sinting, tidak waras. Saya juga sempat melihat dia merogoh saku celananya.
Setelah melalui perundingan yang cukup alot, pemimpin gerakan memerintah komandan pemuda setempat membubarkan rombongan.
Mungkin karena dianggap sinting, setelah itu saya dicuekin orang-orang. Hanya beberapa remaja yang tetap segan kepada saya. Saya sempat bertanya, benarkah orang-orang jadi keranjingan kopi gara-gara puisi saya. Mereka bilang tidak tahu.
Ketika suatu sore saya keluar untuk cari angin dan beli rokok, saya melihat Marbangun sedang duduk manis menyeruput kopi dan melahap pisang goreng di warung Bu Trinil.
Pada suatu kangen, setelah berhari-hari pergi mengerjakan proyek penulisan naskah film dokumenter, saya singgah ngopi di warung Bu Trinil. Bu Trinil senang saya muncul lagi. Dia mengira saya pergi untuk tidak kembali.
Bu Trinil bercerita bahwa selama saya pergi telah terjadi sesuatu yang menggemparkan.
“Ada sosok laki-laki enggak pake celana muncul di gardu ronda. Ngeri deh. Kelaminnya luka, berdarah. Dia merintih Sakit, Jenderal! Sakit, Jenderal!”
“Oh, eltece,” saya menyela.
“Eltece?”
“Iya, itu namanya eltece, laki-laki tanpa celana.”
Bu Trinil tertawa mantap.
“Saat mau ditangkap, hantu itu lari ke gang, dikejar, dikepung, tapi lolos.”
Saya menyeruput kopi.
“Malam berikutnya ia nongol di rumah Marbangun. Marbangun teriak-teriak ketakutan, ia malah ketawa-ketawa.”
Eltece konon menghadang Marbangun malam-malam dalam perjalanan ke kamar mandi. Marbangun digertak: Piye kabare? Ngeri zamanku to? Eltece kemudian mencubit-cubit pipinya sambil berseru Beri aku kopi! Beri aku kopi!
Saya tidak terkejut mendengar cerita Bu Trinil.
Pada suatu malam, saat sedang bermain ketoprak, ayah saya dijemput oleh beberapa orang tak dikenal dan sejak itu saya tak pernah lagi melihatnya. Waktu itu sedang berlangsung gerakan pembersihan terhadap orang-orang yang dianggap kiri. Di kemudian hari saya mendengar cerita tentang para seniman dan aktivis yang diculik, disiksa, bahkan ada yang dikerat kem*l*annya. Ayah ikut diciduk atas rekomendasi seorang temannya yang merasa punya masalah pribadi dengan Ayah. Sesungguhnya Ayah hanyalah orang lugu yang punya hobi bermain ketoprak.
Saya pernah dihadang eltece—dengan darah mengental di ujung kelaminnya—saat mau menyepi di kamar mandi menjelang dinihari. Dia merintih Sakit, Jenderal! Saya tatap wajahnya yang memelas. Ia memandang saya dengan heran. Saya membungkuk dan mengucapkan kalimat, Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma. Setelah itu ia menghilang.
Sosok eltece tampaknya benar-benar menghantui Marbangun sehingga dia sulit tidur dan tidak berani ke kamar mandi sendirian. Atas anjuran Bu Trinil, secara diam-diam dia menemui saya. Dia menduga, kemunculan eltece di rumahnya ada hubungannya dengan saya.
“Hantu itu teriak Beri aku kopi! Beri aku kopi! Saya lantas teringat ayat kopi yang sampean bikin dan disebarkan anak-anak remaja itu.”
Marbangun bertanya, apakah saya tahu cara mengusir hantu eltece.
“Wah, Bang Bangun salah alamat. Masak orang sinting seperti saya ngerti cara mengusir hantu.”
“Sudahlah. Yang bilang sinting itu kan bukan saya.”
Ya sudah, saya katakan saja kepada Marbangun, “Kalau eltece muncul lagi, sambutlah dengan ramah, kasih hormat, lalu bikinkan kopi. Setelah itu, berjanji akan bertakwa secara benar, mencari rezeki secara halal, dan tidak kentut sembarangan.”
Marbangun terdiam.
Saya pikir, setelah Marbangun menemui saya, persoalannya dengan eltece selesai. Ternyata ada kelanjutannya.
Malam itu orang-orang di warung Bu Trinil geger melihat Marbangun berlari kencang sambil berteriak-teriak minta tolong seperti sedang dikejar seseorang. Katanya dia mau ditangkap eltece. Orang-orang bingung karena tidak melihat sosok yang memburunya.
Marbangun terus berlari menuju kos saya. Dia minta perlindungan. Dia sembunyi di kamar saya. Sesaat kemudian Eltece datang: “Mana Marbangun? Marbangun mana?” Saya terima dia dengan baik. Saya tanya, mengapa dia mau menangkap Marbangun. Ternyata dia cuma mau memberikan dompet Marbangun yang dia temukan di depan ATM. Saya terima dompet Marbangun dari eltece seraya mengucapkan banyak terima kasih. Setelah itu, dia pergi sambil tertawa.
Marbangun tertegun sembari menenangkan jantungnya. Saat itulah dia merasa mantap untuk menempuh jalan kerohanian yang bersih dan mewartakan hal-hal baik kepada sesama. Saya mendukung niat sucinya.
Niat suci Marbangun mulai kelihatan ketika keesokan harinya dia mengajak saya ngopi di warung Bu Trinil. Bu Trinil heran melihat saya datang berdua dengan Marbangun. Namun, diam-diam saya tetap waspada. Siapa tahu kebaikannya hanya modus.
Sikap saya untuk tetap waspada terbukti tepat. Di tengah kenikmatan kami—para pengunjung warung Bu Trinil—minum kopi dan menyantap pisang goreng, tiba-tiba merebak bau kentut yang menyengat. Meskipun aromanya agak berbeda, saya sudah yakin itu pasti kelakuan Marbangun. Seketika itu pula saya kehilangan respek lagi terhadapnya. Orang semacam itu memang sulit berubah.
Sewaktu saya bergegas pergi, Bu Trinil dengan cepat menggamit lengan saya dan berkata pelan, “Aduh, maaf ya tadi. Saya sudah enggak kuat nahan. Perut saya kembung. Untung enggak bunyi.” (*)
Di warung Bu Trinil saya bisa berkenalan dan mengobrol dengan berbagai macam orang. Petang itu, misalnya, saya berkenalan dengan seorang pria berbaju batik biru, namanya Marbangun. “Panggil saja Bang Bangun,” ujarnya.
Marbangun bercerita, saat ini dia sedang menata hidupnya. Sudah bertahun-tahun dia mencari peruntungan di dunia politik, tetapi belum juga membuahkan hasil. Dia pernah dua kali nekat ikut mencalonkan diri sebagai anggota badan legislatif di kotanya dan kedua-duanya gagal.
“Semoga sampean tidak terjerumus ke dalam kancah politik. Politik itu keras, penuh muslihat. Orang lugu seperti sampean akan celaka,” katanya.
Untuk menuruti ambisinya, banyak harta benda yang telah dia korbankan. Dia sudah menjual tanah dan sapi di kampung, mobil, perabotan furnitur, dan barang-barang berharga lainnya. Bahkan, katanya, “Seandainya saya punya kucing, mungkin saya akan jual kucing juga.”
Setelah didera berbagai kegagalan, Marbangun memutuskan untuk berserah kepada Tuhan, menjauhkan diri dari godaan duniawi. Dia ingin ikut membangun masyarakat yang bertakwa dan berakhlak mulia.
“Tak ada lagi yang bisa saya jual,” katanya. “Satu-satunya yang masih bisa saya jual ialah…”
Dengan agak tergesa-gesa Marbangun beranjak dari duduknya, membayar jajanannya, lalu pamit pergi; katanya dia akan menengok dan mendoakan temannya yang sakit. Pada saat bersamaan merebak bau kentut yang menyengat. Saya dan beberapa orang saling memandang curiga, seakan-akan saling menyelidik siapa yang telah melepaskan kentut tanpa bunyi itu. Sambil memencet hidungnya, Bu Trinil mengarahkan telunjuknya kepada Marbangun yang sedang melangkah pergi. “Orang itu memang suka kentut sembarangan,” cetusnya.
*****
Sepulang dari warung Bu Trinil, saya bersiap menyambut kedatangan Paman Yusi, senior saya. Saya dan teman-teman menyebutnya “paman” karena sifat kebapakan dan dedikasinya yang besar sebagai guru dan penasihat spiritual penulis-penulis muda.
Paman Yusi baru saja pulang dari Amerika. Seusai menjalani residensi selama enam bulan di sana, dia berhasil merampungkan sebuah novel yang telah bertahun-tahun di kerjakannya—sebuah novel yang tebalnya melebihi Alkitab, yang untuk membacanya dengan khidmat dan meresapkannya ke dalam kalbu diperlukan retret minimal sebulan.
Paman Yusi mengajak beberapa teman merayakan rezeki dengan pesta puisi dan kopi di kos saya. Tentu saja Paman Yusi yang bertanggung jawab atas ketersediaan kopi, rokok, kacang rebus, singkong, dan pisang goreng.
Kegiatan iseng yang diprakarsai Paman Yusi ini menarik perhatian beberapa remaja setempat. Mereka bergabung dengan kami dan kami oke-oke saja.
Para remaja itu tampaknya ikut terserang virus puisi. Mereka jadi hafal baris puisi saya: Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. Entah siapa di antara mereka yang mengubahnya menjadi Rayakanlah setiap rezeki dengan ngopi agar bahagia hidupmu nanti. Kata-kata ini mereka kumandangkan dan dendangkan di mana-mana. Kami gembira karena usaha kami menghaluskan jiwa melalui sastra di kalangan anak-anak muda mulai membuahkan Hasil.
Paman Yusi kembali mengadakan pesta kopi dan puisi di kos saya ketika novelnya yang lebih tebal dari Alkitab itu terbit. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini tidak ada remaja setempat yang datang dan bergabung. Mereka pasti sedang sibuk belajar untuk menghadapi ujian sekolah.
Di tengah kegembiraan kami merayakan rezeki Paman Yusi, serombongan pemuda setempat tiba-tiba mendatangi kami sambil menyerukan kata-kata bernada ancaman. Ternyata mereka mau menemui dan meringkus saya. Saya dianggap dan dituduh telah menyebarkan ajaran sesat.
Saya bingung, ajaran sesat mana yang saya sebarkan. Komandan pemuda setempat menunjukkan sesobek kertas bertuliskan Rayakanlah setiap rezeki dengan ngopi agar bahagia hidupmu nanti.
“Oh, itu puisi, kak, bukan ajaran,” saya menjelaskan.
Komandan pemuda setempat: “Pokoknya, gara-gara ayat yang anda sebarkan ini, anak-anak di sini jadi rusak kerohaniannya.”
“Puisi itu menghaluskan jiwa, kak, bukan merusak,” timpal saya.
“Menghaluskan jiwa bagaimana? Karena terpengaruh oleh ayat ini, orang-orang di sini jadi keranjingan kopi. Dikit-dikit ngopi. Anak-anak jadi betah melek semalaman, lalu bangun kesiangan. Kita jadi susah ngebangunin mereka buat sekolah. Dikasih duit buat bayar sekolah malah dipake buat ngopi-ngopi.”
Paman Yusi melirik ke arah saya sambil pura-pura batuk-batuk, entah maksudnya apa.
Yang tua-tua ikutan keranjingan juga. Suami-suami habis gajian sibuk ngopi. Istri-istri dikasih uang belanja malah dipake ngopi. Rusaklah pokoknya.”
Subagus, teman kami yang sering berperan sebagai “seksi keamanan”, menyimak dengan tegang. Untung dia memakai kacamata gelap sehingga kegalauan matanya tidak kelihatan.
“Kalau dapat rezeki, mestinya kan berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, bukan malah ngopi-ngopi. Yang bisa kasih kebahagiaan kan cuma Tuhan, bukan kopi.”
Saya tak tahu lagi harus bilang apa.
“Intinya kami minta pertanggungjawaban. Bisa jadi urusan polisi nih.”
Mendengar “urusan polisi”, hati saya terguncang. Saya membayangkan hal-hal buruk akan menimpa saya.
Paman Yusi memberikan kode kepada Subagus agar segera menangani komandan pemuda setempat
Subagus bangkit, mengajak komandan pemuda setempat bicara empat mata. Oleh komandan pemuda setempat, Subagus dibimbing untuk menemui pemimpin gerakan yang menunggu di seberang sana, di bawah pohon mangga. Ya ampun, ternyata itu Marbangun, pria tampan berbaju batik biru itu.
Saya tak tahu perundingan macam apa yang mereka lakukan. Saya hanya melihat Subagus berbicara dengan pemimpin gerakan dan komandan pemuda setempat sambil memiringkan telunjuk di jidatnya. Pasti dia bilang saya ini sinting, tidak waras. Saya juga sempat melihat dia merogoh saku celananya.
Setelah melalui perundingan yang cukup alot, pemimpin gerakan memerintah komandan pemuda setempat membubarkan rombongan.
Mungkin karena dianggap sinting, setelah itu saya dicuekin orang-orang. Hanya beberapa remaja yang tetap segan kepada saya. Saya sempat bertanya, benarkah orang-orang jadi keranjingan kopi gara-gara puisi saya. Mereka bilang tidak tahu.
Ketika suatu sore saya keluar untuk cari angin dan beli rokok, saya melihat Marbangun sedang duduk manis menyeruput kopi dan melahap pisang goreng di warung Bu Trinil.
*****
Pada suatu kangen, setelah berhari-hari pergi mengerjakan proyek penulisan naskah film dokumenter, saya singgah ngopi di warung Bu Trinil. Bu Trinil senang saya muncul lagi. Dia mengira saya pergi untuk tidak kembali.
Bu Trinil bercerita bahwa selama saya pergi telah terjadi sesuatu yang menggemparkan.
“Ada sosok laki-laki enggak pake celana muncul di gardu ronda. Ngeri deh. Kelaminnya luka, berdarah. Dia merintih Sakit, Jenderal! Sakit, Jenderal!”
“Oh, eltece,” saya menyela.
“Eltece?”
“Iya, itu namanya eltece, laki-laki tanpa celana.”
Bu Trinil tertawa mantap.
“Saat mau ditangkap, hantu itu lari ke gang, dikejar, dikepung, tapi lolos.”
Saya menyeruput kopi.
“Malam berikutnya ia nongol di rumah Marbangun. Marbangun teriak-teriak ketakutan, ia malah ketawa-ketawa.”
Eltece konon menghadang Marbangun malam-malam dalam perjalanan ke kamar mandi. Marbangun digertak: Piye kabare? Ngeri zamanku to? Eltece kemudian mencubit-cubit pipinya sambil berseru Beri aku kopi! Beri aku kopi!
Saya tidak terkejut mendengar cerita Bu Trinil.
Pada suatu malam, saat sedang bermain ketoprak, ayah saya dijemput oleh beberapa orang tak dikenal dan sejak itu saya tak pernah lagi melihatnya. Waktu itu sedang berlangsung gerakan pembersihan terhadap orang-orang yang dianggap kiri. Di kemudian hari saya mendengar cerita tentang para seniman dan aktivis yang diculik, disiksa, bahkan ada yang dikerat kem*l*annya. Ayah ikut diciduk atas rekomendasi seorang temannya yang merasa punya masalah pribadi dengan Ayah. Sesungguhnya Ayah hanyalah orang lugu yang punya hobi bermain ketoprak.
Saya pernah dihadang eltece—dengan darah mengental di ujung kelaminnya—saat mau menyepi di kamar mandi menjelang dinihari. Dia merintih Sakit, Jenderal! Saya tatap wajahnya yang memelas. Ia memandang saya dengan heran. Saya membungkuk dan mengucapkan kalimat, Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma. Setelah itu ia menghilang.
Sosok eltece tampaknya benar-benar menghantui Marbangun sehingga dia sulit tidur dan tidak berani ke kamar mandi sendirian. Atas anjuran Bu Trinil, secara diam-diam dia menemui saya. Dia menduga, kemunculan eltece di rumahnya ada hubungannya dengan saya.
“Hantu itu teriak Beri aku kopi! Beri aku kopi! Saya lantas teringat ayat kopi yang sampean bikin dan disebarkan anak-anak remaja itu.”
Marbangun bertanya, apakah saya tahu cara mengusir hantu eltece.
“Wah, Bang Bangun salah alamat. Masak orang sinting seperti saya ngerti cara mengusir hantu.”
“Sudahlah. Yang bilang sinting itu kan bukan saya.”
Ya sudah, saya katakan saja kepada Marbangun, “Kalau eltece muncul lagi, sambutlah dengan ramah, kasih hormat, lalu bikinkan kopi. Setelah itu, berjanji akan bertakwa secara benar, mencari rezeki secara halal, dan tidak kentut sembarangan.”
Marbangun terdiam.
*****
Saya pikir, setelah Marbangun menemui saya, persoalannya dengan eltece selesai. Ternyata ada kelanjutannya.
Malam itu orang-orang di warung Bu Trinil geger melihat Marbangun berlari kencang sambil berteriak-teriak minta tolong seperti sedang dikejar seseorang. Katanya dia mau ditangkap eltece. Orang-orang bingung karena tidak melihat sosok yang memburunya.
Marbangun terus berlari menuju kos saya. Dia minta perlindungan. Dia sembunyi di kamar saya. Sesaat kemudian Eltece datang: “Mana Marbangun? Marbangun mana?” Saya terima dia dengan baik. Saya tanya, mengapa dia mau menangkap Marbangun. Ternyata dia cuma mau memberikan dompet Marbangun yang dia temukan di depan ATM. Saya terima dompet Marbangun dari eltece seraya mengucapkan banyak terima kasih. Setelah itu, dia pergi sambil tertawa.
Marbangun tertegun sembari menenangkan jantungnya. Saat itulah dia merasa mantap untuk menempuh jalan kerohanian yang bersih dan mewartakan hal-hal baik kepada sesama. Saya mendukung niat sucinya.
Niat suci Marbangun mulai kelihatan ketika keesokan harinya dia mengajak saya ngopi di warung Bu Trinil. Bu Trinil heran melihat saya datang berdua dengan Marbangun. Namun, diam-diam saya tetap waspada. Siapa tahu kebaikannya hanya modus.
Sikap saya untuk tetap waspada terbukti tepat. Di tengah kenikmatan kami—para pengunjung warung Bu Trinil—minum kopi dan menyantap pisang goreng, tiba-tiba merebak bau kentut yang menyengat. Meskipun aromanya agak berbeda, saya sudah yakin itu pasti kelakuan Marbangun. Seketika itu pula saya kehilangan respek lagi terhadapnya. Orang semacam itu memang sulit berubah.
Sewaktu saya bergegas pergi, Bu Trinil dengan cepat menggamit lengan saya dan berkata pelan, “Aduh, maaf ya tadi. Saya sudah enggak kuat nahan. Perut saya kembung. Untung enggak bunyi.” (*)
Posting Komentar untuk "Ayat Kopi | Cerpen Joko Pinurbo"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar