Saat bulan Ramadhan, hampir seluruh masyarakat yang berdagang di pasar merasakan kebahagiaan yang tiada tara: dari pedagang, tukang angkat, penjahit, dan penjaja makanan, semuanya merasa bahagia, sebab hanya sekali setahun—tepatnya di bulan Ramadhan-lah—mereka dapat merasakan pasar begitu ramai dan sesak dikunjungi oleh orang-orang yang bukan hanya sekedar melihat-lihat, namun bisa dikatakan pasti membeli.
Tetapi, kebahagiaan tampaknya tak terasa oleh sepasang suami-istri yang memiliki kios di tengah-tengah pasar. Sepasang suami-istri yang mengontrak kios di kawasan ramai lalu-lalang pengunjung itu bernama Adeng dan Gina. Mereka menjual beraneka macam jilbab—barang yang pastinya akan menjadi buruan para ibu-ibu di saat bulan nan suci ini. Namun kenyataan tersebut justru tak membuat mereka bersyukur layaknya pedagang lain.
Pada siang yang terik itu, Gina duduk di bangku plastik petak sambil bersandar ke etalase-nya, menikmati pemandangan yang membuat mulutnya menjadi ternganga. Tepat di depan kedua mata Gina, berdiri sebuah toko dengan empat pintu bernama Lolly Boutique. Toko itulah kini yang menjadi tontonan Gina, karena sedari tadi toko itu tak henti-hentinya dipenuhi oleh ibu-ibu yang saling berdesakan ingin belanja. Lolly, wanita pemilik kios itu, tampak kewalahan melayani ibu-ibu yang mencoba baju gamis dagangannya, sehingga suaminya pun terpaksa turun tangan membantu melayani mereka.
Pemandangan itulah yang membuat mulut Gina menjadi terbuka setengah, ternganga. Pada pinggiran mulutnya tampak air liur berwarna putih yang telah mengering, seakan tak pernah dibasahi. Tatapannya kosong, sehingga tak sekali pun bola matanya beranjak dari toko itu.
Tak lama berselang, ia lihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Setengah jam lagi adzan Dzuhur akan berkumandang, namun belum juga seorang pun singgah ke kiosnya untuk membeli—jangankan membeli, melihat atau menanya-nanya pun tidak. Sementara, ia telah membuka kiosnya sedari pukul setengah delapan pagi tadi, saat semua kios di sekelilingnya masih tutup.
Pemandangan itu benar-benar memburu hati Gina. Sedemikian singkat muncul dalam benaknya akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi kepada dirinya andai kata ialah yang berada di posisi Lolly saat ini. Betapa senang dan tentram hatinya mengimajinasikan dirinya yang berdiri di depan ibu-ibu yang bersemangat memilih barang-barang dagangannya. Asalkan pakaian-pakaian di kiosnya sesuai dengan selera mereka, maka uang-uang berwarna merah dan biru itu akan mengalir tak henti-henti.
*****
ADZAN telah berkumandang. Seperti biasa, suaminya pun pergi menuju mesjid tanpa meninggalkan sepenggal kata untuknya. Ia lihat ke arah arloji emas yang melingkar di tangannya yang kecil. Sudah hampir pukul setengah satu. Jantungnya mulai berdebar. Imajinasi yang membuatnya tersenyum-senyum itu seketika buyar. Ia mulai khawatir. Hari ini ia harus membayar angsuran harian uang arisan Kak Ana dua kali lipat, karena kemarin ia mogok membayarnya. Untuk membayar cicilan itu, ia harus menyediakan uang tiga ratus ribu. Andai kata ia ingin bermain aman agar besoknya dia tidak akan begitu pusing memikirkannya, maka ia harus mendapatkan uang satu juta hari ini, sebab hari rabu adalah jatuh tempo cicilan koperasi dan motor. Keduanya berjumlah satu juta. Sedangkan besok ia juga harus mengangsur cicilan uang arisan hariannya sebesar seratus lima puluh ribu. Total semuanya berjumlah sejuta seratus lima puluh ribu. Berarti setidaknya ia harus menyediakan uang sebesar sejuta lima ratus untuk hari Rabu besok.
Gina menghela nafasnya. Imajinasinya seketika sirna. Semakin kering dan pucat bibirnya, persis seseorang yang mendapatkan perlawanan ketika sedang berpuasa. Sementara pemandangan di hadapannya masih tak berubah-ubah, dan bahkan semakin ramai saja ibu-ibu itu mengantri di sana. Kenyataan pahit itu semakin tak terbantahkan oleh Gina. Air matanya lari ke dalam.
Satu rombongan ibu-ibu yang baru saja keluar dari kedai Lolly Boutique kini berjalan ke arah kios Gina yang tepat berada di hadapan mereka. Mereka memutuskan singgah ke kios yang belum disinggahi orang sejak pagi itu, dan merekalah rombongan pertama yang masuk ke kiosnya.
Hanya beberapa orang yang tertarik meraba barang-barang yang terpajang di patung. Sedangkan sisanya hanya berdiri sejengkal di luar lantai kios itu. Sambil berbisik-bisik, para ibu-ibu itu mengomentari kios itu: rak barang yang terlihat kosong, patung model yang sudah tanpa kepala, dan beberapa ember yang diletakkan tepat di bawah plafon yang bocor. Kios itu benar-benar tampak berbeda dari kios lainnya. Membuat mereka semakin enggan untuk masuk.
Satu demi satu beberapa dari rombongan itu keluar karena tidak memiliki ketertarikan. Satu-satunya yang masih memilih-milih ialah si pemimpin rombongan. Ia tampaknya memiliki ketertarikan dengan barang dagangan Gina, meskipun Gina hanya bisa membisu melihat kenyataan yang terpampang tepat di depan mata kepalanya. Betapa jelasnya cacian yang dilakukan oleh rombongan itu, dan dalam hatinya muncul prasangka yang tak mampu ia redam: prasangka akan betapa tidak berharganya ia sebagai pemilik kios di mata rombongan ini. Namun, tiba-tiba tersentak hatinya. Ia berfikir, bahwa seharusnya ia bersyukur masih ada orang yang tertarik untuk singgah ke kebunnya walaupun tak dihiasi oleh wortel-wortel yang segar, stroberi yang merah merekah, atau sayur-sayuran hijau nan segar, seperti yang dapat dijumpai di kebun sebelah atau kebun yang tepat berada di hadapannya, kebun tercerah yang Gina sendiri pun akui. Seharusnya ia memberikan senyuman kepada si calon pembeli, agar semakin tertarik ia, agar semakin terhipnotis ia untuk merogoh dompet di tasnya. Ketertarikan itu bukan lagi karena kualitas atau model barang yang menggoda, namun lebih kepada keprihatinan pembeli terhadap derita yang ia alami sebagai pemilik kios.
Entah atas dasar apa, si pemimpin rombongan akhirnya merogoh dua lembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya dan memberikannya kepada Gina. Barang yang ia beli adalah jilbab Pasmina yang tergantung tepat di dinding bagian kiri. Ibu itu sama sekali tak menawar harga yang disebutkan oleh Gina. Hati Gina benar-benar senang, sebab akhirnya ia pecah telur juga. Setelah melakukan pembayaran, si pemimpin rombongan menjelaskan mengapa jilbab itu ia beli. Ternyata karena jilbab tersebut sudah lebih dulu laku terjual di kios Lolly Boutique. Lolly juga mengatakan bahwa minggu ini suaminya akan berangkat ke Jakarta untuk membeli beberapa seri jilbab yang sudah banyak dipesan.
Hati Gina kembali remuk mendengar hal itu. Seketika ia menyesali apa yang telah ia perbuat beberapa tahun yang lalu, “Andai dulu aku tidak rakus akan uang, maka mungkin kini aku akan tetap tentram dengan keluargaku. Ketika matahari mulai tenggelam, aku akan menutup kios ini dengan senyum dan hati yang damai. Ketika waktu makan siang tiba, aku akan makan dengan lahap tanpa memikirkan apa yang akan datang setiap jam empat sore.” Namun kata-kata tersebut hanya bersuara dalam hati dan pikirannya. Ia pendam seorang diri.
*****
HARI sudah menunjukkan pukul tiga sore. Suaminya tiba membawa anak mereka yang masih berumur lima tahun. Anak itu bernama Rocky. Nama itu diberikan oleh suaminya karena kelak nanti, ia ingin anaknya menjadi pribadi yang sekuat dan seberani Rocky Balboa. Ia ingin kelak nanti, ketika anaknya telah dewasa, ia bisa menjaga martabat keluarganya dari orang-orang yang senang menindas, seperti apa yang mereka alami kini, pasangan suami-istri yang terlilit hutang oleh inang-inang peternak uang. Sekali saja meminta dispensasi untuk tidak membayar angsuran harian, maka yang akan mereka terima bukan sebuah pengertian, melainkan caci-maki yang amat menyiksa hati.
Suaminya tak bertahan lama duduk di kios itu. Setelah lima belas menit kedatangannya, ia meminta diri kepada istrinya dengan alasan pergi ke masjid. Istrinya tahu betul bahwa ia takkan mungkin melarang suaminya akan hal-hal yang berkaitan dengan agama, walaupun jauh dalam hatinya ia sangat menyadari siasat itu, siasat menghindari kontak muka dengan si inang penagih angsuran uang harian yang akan segera tiba sebentar lagi. Dengan raut wajah dingin, ia paksakan untuk mengangguk, dan suaminya pun berlalu.
Benar saja. Tak lama berselang, si inang dengan tas kecil menyilang di badannya yang gemuk berjalan melenggak-lenggok ke arah kiosnya. Langkah yang cepat itu membuat darah Gina semakin berdesir. Kemarin ia sudah meminta dispensasi, maka hari ini ia harus membayar penuh, sedangkan kini ia hanya mempunyai dua ratus ribu hasil penjualan jilbab Pashmina tadi, “Ya Allah, apabila aku berikan semua uang ini, maka sekali lagi malam ini Rocky tidak minum susu lagi, Ya Allah.” Mata Gina berkaca-kaca setelah ia berbicara dalam hatinya.
“Gin, tidak mogok lagi kau hari ini, kan?” Tanya Inang Ana sambil membuka tasnya.
“Tii..tidak, Nang. Tapi dua ratus dulu ya, Nang. Sepi, Nang.” Lunak bicara Gina. Penuh permohonan.
Inang Ana melirik dengan tajam dan penuh sinis kepada Gina. Ketakutan Gina semakin menjadi dan dengan segera ia berikan dua lebar uang merah itu. Rocky yang duduk di dekatnya menyaksikan Gina memberikan uang itu kepada Inang Ana. Sekali lagi dalam hati, Gina berkata, “Maafkan Ibu, Rocky. Lagi-lagi, malam ini tak ada susu, Rock.” (*)
Posting Komentar untuk "Malam ini Tidak Ada Susu, Rocky | Cerpen Oxandro Pratama"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar