Ketika itu, matahari bagai mengapung di atas kepala, dan hari akan terasa sangat panjang. Tak ada pepohonan. Tak ada gedung-gedung. Hanya tanah lapang yang tak terjangkau jarak pandang. Orang-orang berlalu-lalang untuk mencari naungan tempat berteduh. Dalam lalu lalang itu, seseorang dengan bendera warna hijau akan berseru girang saat bertemu dengan seseorang lainnya yang juga menggenggam bendera warna hijau, lalu mereka akan saling berangkulan sebelum melangkah bersama untuk mencari sebuah naungan raksasa berwarna hijau. Begitu pula orang-orang yang lain dengan bendera warna lain: putih, hitam, merah, biru, kuning, ungu, serta warna-warna lain yang nyaris tak terhitung jumlahnya.
Orang-orang dengan bendera warna sama akan membantu dan mendahulukan kepentingan saudaranya sebelum kepentingan orang-orang lain dengan bendera warna lain. Ketika dalam perjalanan itu seseorang dengan bendera warna putih didera kehausan, maka saudaranya dengan bendera warna putih, akan memberinya minum. Bila mereka dilanda kelaparan, saudaranya akan menyuapinya. Bisa mereka didera sakit, maka saudara akan berjalan dengan memapahnya. Bukankah manusia memang diciptakan, bahkan diwajibkan begitu? Untuk mementingkan kepentingan orang-orang terdekat terlebih dahulu. Itulah mengapa seorang kepala keluarga harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, dan bukan anggota keluarga lain.
Mereka yang telah menemukan saudara dengan bendera warna yang sama akan semakin mudah perjalanannya. Dan ketika perjalanan mereka semakin mudah, akan semakin mudah pula mereka menemukan naungannya. Setelah mereka menemukan naungan tempat berteduh mereka berehat dengan jenak sebelum melakukan perjalanan baru yang lebih panjang dengan gerombolannya.
Lalu lalang itu begitu bingar, dan kian waktu, matahari kian turun mendekati kepala. Nasib malang akan segera menghampiri mereka-mereka yang tidak menggenggam bendera. Orang-orang tanpa bendera itu akan berjalan ke sana kemari bagai selembar kertas yang diimbak angin. Tak diterima di naungan manapun. Ketika mereka merasa haus, mereka akan berjalan memelas mendekati orang-orang dengan bendera, lalu mereka akan berujar, “Tidak adakah seteguk air untuk kami? Kami begitu kehausan, kasihanilah kami!”
Lalu, orang-orang dengan bendera akan menjawab dengan wajah menyesal, “Sungguh kami meminta maaf. Lihatlah, keluarga kami yang sedang berdiri bersama kami juga didera kehausan dan mereka belum minum setegukpun. Tuhan menyuruh kami mendahulukan mereka.”
“Mintalah seteguk air pada saudaramu, aku sangat yakin saudaramu akan dengan senang hati membaginya,” ujar yang lain.
Lalu, orang-orang tanpa bendera itu akan menunduk sedih, “Kami tak punya bendera. Kami tak punya saudara. Sebab itulah kami meminta-minta.”
“Kami di sini bersaudara, berkeluarga, sebab kami memiliki kesamaan. Aku melihat cukup banyak orang yang tidak memiliki bendera. Bukankah mereka serupa denganmu? Bukankah mereka semua saudaramu?”
“Betul, mereka semua memang saudaraku, kami punya kesamaan, sama-sama tidak memiliki bendera. Dan kami sama-sama tidak bisa saling membantu, bahkan kami tidak bisa membantu diri kami sendiri. Dan yang paling buruk, kami semua tahu, kami tak akan pernah menemukan naungan. Sebab kami tak punya bendera.”
Lalu, mereka akan berlalu dengan wajah sedih yang seolah tak bisa hilang dari wajah mereka. Orang-orang dengan bendera berwarna akan melepas mereka dengan perasaan sedih pula, sebab mereka tak bisa membantu.
Sejauh jangka pandang, orang-orang akan terus melihat orang-orang yang lain dengan bendera berwarna yang diacung-acungkan ke udara. Dan kian waktu, matahari kian turun, sampai beberpa jengkal di atas kepala. (*)
Posting Komentar untuk "Bendera | Cerpen Mashdar Zainal"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar