Sore jam tiga lebih kubuka SMS. Teman baruku penjual minyak wangi. Aku abaikan pesan itu. Ah malas, lagi pula nanti malam ada acara bakar-bakaran ikan. Lebih asyik, lebih seru. Aku membatin.
Hidupku biasa saja. Mirip kebanyakan orang. Bergaul, ngobrol, jalan-jalan. Kadang juga ikut pengajian, cuma buat variasi kegiatan saja sebenarnya. Namun hari-hari ini mengaji sedikit menyedot perhatian. Awalnya, aku hanya ikut ngaji di mushala, atau kalau ada hari besar Islam. Itu juga sambil nyambi pasang tampang, barangkali ada cewek ngelirik.
“Kalau ngaji ya baiknya rutin, Mas. Biar ilmunya tetep keinget,” kata teman baruku itu, namanya Ilham, aku manggilnya Kang Ilham karena ia lebih dewasa dua tahun dariku, usianya 24 tahun.
“Ya sih, Kang, tapi males. Paling-paling ngebahas, sholat, wudhu, puasa. Itu mah aku udah hafal.” kataku agak santai, sekedar jawab.
Orang berjenggot tipis di sebelahku menyeringai. Peci putih di atas kepalanya ia betulkan.
“Lagi pula males aku, Kang, ngaji-ngaji ya tetep kayak gini. Kata orang ngaji itu ngasah jiwa. Tapi gak terasa tuh jiwaku diasah. Gak kerasa apa-apa. Rasanya juga masih sering galau. Hemm.” aku nyerocos saja, memang begitu. Bagiku ngaji cuma lewat saja. Buat apa? Apalagi kalau ustadznya cuma ngomong doang.
Aku juga sering diledek teman-teman di tongkrongan.
“Ah, percuma lu ikut ngaji men. Mending ini nih. Ayolah.” teman mainku menawari sebotol ciu. Ya, meskipun bisa dibilang aku anak badung, tapi aku nggak suka minum-minuman.
“Ah, sok suci kamu. Kampungan.” timpal teman lain lagi. Aku cuma mendengus. Beberapa botol sudah kosong. Temanku pada teler. Pingin juga sih. Tapi entah kenapa aku ngotot ngga mau. Aku tinggalkan temanku yang begitu.
Tiga hari yang lalu, sepulang kerja, suatu kejadian menampar batinku. Di depan terminal, seorang tergilas ban bus antar provinsi. Aku melihat langsung. Jiwaku terguncang, saat mengetahui korban masih hidup, aku seakan terbetot dari bumi, kaget setengah mati. Napas orang itu tersengal-sengal. Aku memekik kaget menyebut nama Tuhan, sesuatu yang jarang kulakukan. Orang ramai segera datang. Bus dikosongkan. Petugas belum datang. Aku gemetaran saat menolong korban yang terjepit di ban. Dongkrak dipasang untuk mengangkat badan bus. Seorang ibu tersedu-sedu. Orang ramai berucap nama Tuhan.
“Astagfirulloh.” suara orang ramai.
“Allahhuakbar. Ya Allah.” tubuhku lemas.
Akhirnya korban bisa dievakuasi dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Aku pulang dengan pikiran kacau. Terbayang tabrakan, kengerian, napas sang korban yang tersengal; teringat kematian!
“Kang, ada kajian apa minggu ini?” aku menghubungi temanku penjual minyak wangi lewat SMS. Hp langsung berdering. Sebuah panggilan. Ia mengabarkan tidak ada, ustadnya lagi kena musibah, lagi sakit dan dirawat di rumah sakit.
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Teman nongkrong masih kudatangi. Minggu pagi adalah waktu bebasku dari kesibukan kerja di pabrik kerupuk. Aku suka jalan-jalan, kadang mampir ke tempat kios minyak wangi. Kebetulan parfumku tinggal sedikit, aku mau ke sana, tapi toko itu tutup. Aku melanjutkan jalan-jalan menikmati hari libur.
Di sebuah masjid, aku berhenti. Adzan dhuhur sudah berkumandang. Jamaah sholat sudah keluar halaman. Ada yang mengganjal pikiranku. Masjid apa ini? Orang Arab? Kebanyakan mereka berjenggot. Beberapa jamaah menyalamiku. Tersenyum. Berucap salam dan berlalu. Hampir semua pakaian orang-orang itu sama; baju takwa kegedean ukuran, celana cingkrang di atas mata kaki, peci bundar. Semuanya mirip penampilannya Kang Ilham, juga mirip si korban tabrakan yang kutolong minggu lalu. Aku sholat dhuhur.
“Suka baca buku, Mas?” tanya Kang Ilham. Aku lagi di kios winyak wangi.
“Nggak juga, Kang.” jawabku.
“Baca buku banyak manfaatnya, Mas. Ya nambah ilmu biar nggak buta pengetahuan. Itu banyak buku di rak, kalau mau pinjem ambil saja ya. Aku suka baca kitab kehidupan para sahabat nabi. Penulisnya Khalid Muhammad Khalid. Bagus, Mas.” Kang Ilham memperlihatkan buku tebal bersampul hitam. 60 Sahabat Nabi Muhammad, judul bukunya.
“Males aku, Kang.” jawabku sekenanya. “Oya, parfum baru ada, Kang?” aku mengalihkan pembicaraan.
“Oh, ada itu di depan.”
Aku melangkah ke etalase. Di deretan botol kecil parfum mataku melihat sebuah buku, bergambar seorang pria cakep memakai peci, ada juga gambar pesawat terbang, seakan lagi bertempur. Kubaca sekilas judulnya, Ketika Mas Gagah Pergi. Aku mengambil botol minyak wangi, menghirupnya. Lalu kembali duduk.
“Enak wanginya, Kang. Segar.” kata Kang Ilham. “Baru kemarin datang. Kalau mau ambil saja. Itung-itung promosi.”
“ Ya dibayar dong, Kang. Aku kan mau beli.” jawabku.
Ia tersenyum saja.
Kemudian aku bercerita tentang kecelakaan dua minggu lalu itu. “Ih ngeri Kang. Aku gemeteran. Kukira orang itu lagi sekarat. Napasnya tersengal-sengal. Aku mendengar dia berbisik, Allah. Berulang-ulang. Kayaknya sih ustadz dia, Kang. Pakai peci, jenggotan pula.” paparku prihatin.
Kang IIham mendengar dengan seksama. “Di mana kejadiannya, Mas?”
“Di depan terminal. Kejadiannya hari kamis minggu lalu.”
Kulihat wajah Kang Ilham memikirkan sesuatu.
*****
“Mas ada waktu? Ikut ya?” Kang Ilham meneleponku.
“Kapan, Kang? Sore? Jam berapa? Oya ada, bisa. Ya, wa’alaikumsalam.”
Aku dan Kang Ilham sampai di lokasi parkir rumah sakit. Ia mengajakku menjenguk ustadznya yang masih dirawat. Sebelumnya, ia membeli buah apel di kios depan. Kami berjalan menyusuri koridor. Di tengah jalan, seorang bapak menyapa kami.
“Assalamu’alaikum, Akhi. Sehat?” Orang itu memeluk Kang Ilham.
“Alhamdulillah.”
Lalu aku disalami dan dipeluk juga. Aku agak kagok. Ia tersenyum padaku.
“Mau menjenguk Ustadz Umam?” ia bertanya.
“Insya Allah, Ustadz.”
“Ya silakan.” Kami bersalaman kayak tadi.
Di depan pintu kamar pasien, aku melihat tiga perempuan memakai baju kurung panjang mirip mukena berwarna biru gelap, keluar ruangan. Setelah mereka berlalu, kami berjalan mendekati kamar. Kang Ilham menunduk saat berpapasan dengan mereka. Aku tersenyum, masuk mengikut di belakang Kang Ilham.
Tiba-tiba… Aku terhenyak, kaget alang kepalang! Wajah itu, mata itu. Aku seakan melihat kembali sang korban kecelakaan bus dua minggu lalu. Bibir berjenggot itu, berdzikir pelan. Aku tercekat. Tubuhku kembali bergetar. Ya Tuhan. Ia adalah sang korban yang aku tolong!
Kang Ilham menyalami, aku mengikuti. Ia tersenyum ramah. Mata itu teduh, teramat teduh. Aku melihat kedamaian di sana. Keadaannya cukup parah, kaki kanan patah dan harus dipen. Kang Ilham berbincang-bincang pelan. Aku diam duduk di kursi. Apakah ini kebetulan? Apakah ini rencana Tuhan? Untuk apa? Pikiranku beradu hebat.
“Oya, maaf Ustadz bukunya belum aku kembalikan.” kudengar Kang Ilham berucap setelah menanyakan keadaan.
“Nda papa, dibaca sampai habis. Insya Allah ada manfaatnya. Kisahnya bisa menambah semangat dakwah.” Kata Ustadz. Aku mendengarkan.
“Alhamdulillah, berkat buku itu aku juga tambah giat cari ilmu, Ustadz.” jawab Kang Ilham.
“Alhamdulillah, sudah baca cerita Mas Gagah?”
“ Sudah Ustadz.” jawab Kang Ilham lagi.
Aku teringat sesuatu, buku Ketika Mas Gagah Pergi.
“Buku itu banyak menginspirasi kawan-kawan. Saya punya beberapa, sengaja beli buat dibagikan, agar kawan-kawan memiliki semangat dakwah dan menuntut ilmu.” kata Ustadz diselingi batuk kecil.
Kang Ilham mengambilkan air minum di meja.
Aku kagum dengannya. Sepertinya ia semangat sekali berdakwah, sampai-sampai saat sedang sakit pun masih berusaha menyampaikan nasehat. Batinku tertampar. Bagaimana denganku? Ikut ngaji saja masih setengah-setengah.
“Oya bagaimana kabar keluarga?” tanya Sang Ustadz pada Kang Ilhan.
“Alhamdulillah, baik. Terimakasih Ustadz.“
“Oya, temannya siapa namanya?” berkata Ustadz.
Merasa dipanggil aku bangkit dari kursi dan mendekat berdiri di sampingnya.
Ia sedikit mengerutkan dahi saat melihatku, seakan berpikir.
“Nama saya Irfan, Ustadz. Temannya Kang Ilham.” kataku memperkenalkan diri.
“Kita sudah saling kenal saudaraku?” katanya, seperti bertanya. Aku diam, beralih menatap Ilham yang juga menatapku.
“Saya seperti pernah melihat Antum, Saudaraku.” kembali Ustadz berucap sambil berusaha tersenyum ramah.
Aku mengangguk. Ia memperhatikan.
“Saya pernah menolong seseorang kecelakaan di depan terminal dua minggu lalu. Sang korban mirip dengan Ustadz.” Nada bicaraku pelan, entah kenapa aku merasa damai saat ini.
Ustadz itu sedikit kaget. Lalu melapangkan kedua tangannya, dan meraih badanku. Aku membungkuk di pelukannya. Kudengar ia tersedu. “Terimakasih, Saudaraku. Terimakasih. Jazakumullah.” ucapnya tersendat-sendat.
Hatiku bergetar, jiwaku gerimis. Seakan aliran darah mendesir lebih. Mataku panas, air kurasa meleleh dari sana. Aku masih dipeluknya. Kurasakan juga tangan Ilham menepuk-nepuk bahuku. Kuusap air mata. Sang ustadz mengucap hamdallah, dan beristigfar. Aku masih berdiri di samping ranjang. Kulihat Kang Ilham mengusap pipinya. Hatiku seperti diguyur air hujan. Ya Allah, kenapa dengan diriku?
Tak lama kami berpamitan. Sang Ustadz banyak berpesan dan dengan rela aku mendengarkan.
“Kang, aku pinjem buku Ketika Mas Gagah Pergi ya, yang tadi diceritakan Ustadz.” Kataku, di tengah jalan pulang. Kami naik sepeda motor. Lalu lalang kendaraan memaksaku berkata agak keras.
Di depan sambil memegang gas motor, Ilham menjawab. “Wah, bukunya lagi dipinjem keponakanku, Mas. Gimana ya?”
“Kapan dikembalikan, Kang?”
“Keponakanku lagi pulang kampung. Ya kayaknya lama. Aku juga gak enak mau dipinjemin, soalnya dia maksa. Coba kita pinjem di perpustakaan, Mas?”
Kang Ilham mengarahkan motor ke arah Alun-Alun Kota, belok kanan ke selatan, dan berhenti tepat di gedung Perpustakaan Daerah. Kami masuk gedung dan langsung mencari di rak-rak buku. Hampir setengah jam mencari tapi belum ketemu. Petugas Perpustakaan sudah mengumumkan 10 menit lagi akan tutup. Aku menghembuskan nafas berat.
“Gak ada, Kang” kataku letih.
Ilham tersenyum “Pulang?” tawarnya.
Aku mengangguk.
Aku sedikit menyesal. Kenapa tidak menerima nasehat Kang Ilham sewaktu di kios, agar aku baca buku. Ia sempat mengambilkan buku Ketika Mas Gagah Pergi, yang waktu itu berada di etalase botol minyak wangi. Sekarang aku ingin sekali membacanya. Penasaran, sehebat apa buku itu. Kenapa bisa begitu memberi semangat Sang Ustadz berdakwah, juga memberi semangat Kang Ilham agar terus mencari ilmu.
Aku dan Ilham berjalan ke arah pintu keluar. Iseng saja aku melihat-lihat buku di rak yang kulalui sambil jalan. Mataku terpicing. Gambar seorang pria cakep dan pesawat terbang bertempur menyergap. Aku berhenti, secepat kilat kusambar buku itu.
“Ini dia!” aku memekik keras.
“Astagfirulloh. Kenapa, Mas?” Kang Ilham terperanjat karena kaget.
“Ini, ini bukunya.” Aku girang.
Kang Ilham berucap hamdalah dibarengi istighfar, mungkin masih kaget.
Aku genggam buku itu kuat-kuat. Pakai kartu anggota perpustakaan milik Ilham buku itu dipinjam.
Dan mulailah aku menemukan lembaran baru dalam hidupku. Kenyataan yang aneh dalam benakku. Aku masih bergaul dengan teman tongkrongan di perempatan jalan. Tapi tidak sesering dulu. Kadang cuma lewat, kalau agak ramai aku gabung. Teman-teman agaknya memperhatikanku.
“Kenapa lu, Fan, lagi ada masalah? Kayaknya sekarang sering diam.” kata seorang teman berambut gondrong.
“Ya ni ya, jarang ngomong. Kenapa kamu?” tanggap teman yang rambut kepalanya dipotong gaya punk.
“Ngga apa-apa. Cuma pengin diam saja. Iya.”
Beberapa hari setelah aku baca buku Ketika Mas Gagah Pergi, aku merasa ada yang aneh. Seperti sebuah skenario yang entah siapa yang buat. Aku teringat Ustadz Umam yang kecelakaan, aku juga teringat Mas Gagah dalam kisah di buku itu. Aku teringat kawan-kawan di majelis yang kuikuti bareng Kang Ilham, juga hampir mirip sikap dan tata cara bergaulnya dengan kisah buku itu. Aku ingat Kang Ilham yang menjaga pandangannya saat berpapasan dengan perempuan. Aku seakan melihat kehidupan Mas Gagah pada diri Kang Ilham, juga pada semangat dakwah Ustadz Umam.
Aku disergap sesuatu yang lain dari kehidupanku yang dulu. Entah mengapa aku juga ingin menjadi seperti mereka. Aku ingin bisa seperti Mas Gagah yang mengutamakan Allah di atas segala!
Suatu pagi, aku coba kemeja yang diberi Kang Ilham, kupakai juga celana bahan longgar. Peci putih tak lupa kukenakan. Aku bercermin. Kurang apa ya? Batinku. Jenggot? Aku menerka nerka, apa kayak gini ya penampilan tokoh Mas Gagah di kisah buku itu? Mungkin juga tidak, tapi yang jelas pasti santun. Aku tersenyum sendiri.
Ah, tapi masih banyak yang mengganjal dalam benak. Kalau aku bergaya seperti ini, apa kata teman-teman tongkrongan? Apa kata dunia?
Ah, kenapa sih aku ini?
Tiba-tiba suara sepeda motor terdengar berhenti di halaman rumahku.
Kang Ilham datang!
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Kubuka pintu.
Kang Ilham menatap terkejut, lalu memelukku. (*)
Posting Komentar untuk "Ketika Kang Ilham Datang | Cerpen Religi Irfan Fauzi"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar