Hari ini aku berjanji temu dengan temanku sesama bidan, Nih Luh Padmi. Aku akan mengunjungi klinik bersalinnya di Desa Olehsari pada hari Minggu. Aku sangat kagum kepada sahabatku itu. Sebab, dia telah berhasil mendirikan sebuah klinik di sebuah desa dengan segala kemampuan dana dan tenaga meski dalam kondisi dan situasi yang tak mudah.
Hari yang aku tunggu pun tiba. Setelah sarapan dengan nasi urap, aku pun berkemas. Kujinjing sebuah tas ransel berisi pakaian dan bekal secukupnya. Aku segera berangkat menuju Desa Olehsari. Untuk menuju jalan raya, aku menggunakan jasa ojek sebagai kendaraan pertama. Ojek merupakan satu-satunya sarana transportasi umum di desaku. Sebab, hingga saat ini belum ada sarana transportasi resmi yang beroperasi di desaku. Jika tidak ada ojek, terkadang aku menumpang kendaraan bak terbuka yang oleh masyarakat digunakan untuk mengangkut sayur-sayuran hasil panen menuju pasar subuh di kota.
Perjalanan dari desa tempat tinggalku dan bertugas menuju jalan raya ditempuh selama 1 jam. Sebenarnya jarak antara desa ke jalan raya hanya 3 kilometer. Namun, kondisi jalan desa yang tidak baik dan kurang rata menjadi kendala yang belum dapat diselesaikan sampai saat ini. Yah, jalan di desaku berupa jalan makadam yakni sebuah jalan yang terdiri dari tanah dan tatakan batu kali yang tidak rata. Jika musim kemarau, jalannya berdebu. Sedangkan pada musim hujan seperti sekarang ini, jalan begitu licin sehingga pengendara harus berhati-hati jika sedang melintas.
Satu jam pun berlalu. Aku tiba di jalan raya. Setelah membayar tukang ojek, aku langsung menuju seberang jalan untuk menunggu bus yang menuju kota Banyuwangi. Tak lama kemudian bus yang aku tunggu tiba. Aku segera naik dan duduk di bangku bus yang kosong. Kebetulan bangku yang kosong adalah bangku yang paling depan tepatnya di belakang bangku sopir. Pandanganku begitu leluasa. Aku bisa melihat bagian depan saat bus berjalan, begitu juga bagian samping, terutama bagian kanan jalan. Aku nikmati perjalananku dengan perasaan yang nyaman. Ketika aku sedang asyik menikmati perjalanan, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara kondektur.
“Ke mana, Bu?”
“Eh, eee… Banyuwangi.”
“Banyuwangi mana?”
“Karangente.”
“Sepuluh ribu, Bu.”
Aku segera mengeluarkan dompet, kuraih uang sepuluh ribuan dan langsung kuserahkan kepada kondektur. Aku pun menerima lembaran karcis yang telah diberi tanda coretan pada nama kota yang akan aku tuju. Segera kumasukkan sobekan karcis ke dalam saku bajuku. Aku pun kembali menikmati perjalanan dengan santai sambil mendengarkan musik dari ponselku menggunakan headset.
Bus yang aku tumpangi pun tiba di Terminal Brawijaya yang lazim disebut masyarakat Banyuwangi dengan nama Terminal Karangente. Aku segera turun dari bus dan di pintu keluar telah menunggu Ni Luh Padmi, sahabatku. Ni Luh menyambutku dengan gembira. Dia segera mengajakku masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di pool angkutan kota.
“Bagaimana perjalananmu, Sekar?” Ni Luh Padmi membuka percakapan.
“Agak capek sih, tapi menyenangkan juga.”
“Tapi nggak repot, kan?”
“Ya nggak sih.”
“Sekar, ada banyak hal yang mungkin tidak akan kamu percaya bila kuceritakan padamu.”
“Memangnya ada apa, Ni?”
“Pengalamanku selama menjadi bidan di Desa Olehsari kadang mendobrak kokohnya tembok tradisi, teori, dan keilmuan kita.”
“Maksudmu? masih ada suasana mistik di sana?”
“Entahlah, aku sendiri bingung dan kehabisan kata untuk bercerita. Kau ingat dengan Ayu kan? Gadis yang pernah kuceritakan dahulu. Ia sering kerasukan arwah.”
“Ayu, bayi titisan Nyi Semi, penari gandrung itu maksudmu? Sudah hampir sebelas tahun berlalu. Tapi, aku masih mengingatnya.”
Menjelang tengah hari, kami tiba di Kecamatan Glagah menuju Desa Olehsari. Patung penari Gandrung acapkali terlihat di sepanjang perjalanan. Pengaruh Kerajaan Blambangan begitu kental. Bahasa Osing yang terdengar selama perjalanan sangat berkesan bagiku. Tanpa terasa, setelah berbagai obrolan menguar di sepanjang jalan, aku pun tiba di klinik milik Ni Luh Padmi.
*****
Malam ini angin dingin berembus kencang, meniup kain gorden putih di jendela klinik bersalin milik Ni Luh Padmi. Kain gorden melambai-lambai mengikuti embusan angin. Hawa dingin begitu terasa menusuk tulang-tulangku. Saat aku sedang menikmati suasana malam, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar.
“Bu Bidan! Tolong, Bu Bidan!”
“Ada apa, Mak Ida?” Tampak Ni Luh Padmi bergegas menuju sumber suara.
“Ayu kumat lagi! Badannya kejang dari tadi sore, hanya sebentar saja siuman.” Mak Ida dan suaminya membopong Ayu Laksmi, putri mereka. Wajah Ayu tampak pucat pasi. Mulutnya terkunci rapat.
“Ayu harus menginap di klinik semalam, Mak Ida. Saya khawatir Ayu sesak napas.” Mak Ida dan suaminya mengangguk. Aku pun membantu Ni Luh merawat Ayu.
Purnama penuh, menghiasi langit malam Desa Olehsari. Sayup-sayup kudengar suara gamelan gong, saron, kluncing, dan gendang bertabuhan berirama. Seiring dengan makin terangnya cahaya bulan, suara gamelan semakin jelas mengalun. Terdengar pula suara panjak penyorak penari menyela di antara alunan gamelan. Seketika kurasakan bulu kudukku meremang. Sesaat kemudian terdengar suara halus memanggilku menuju kamar tempat Ayu dirawat. Mak Ida dan suaminya telah lelap tidur di sebuah bale kayu di depan kamar Ayu.
Sesampainya di kamar Ayu, aku sungguh terkejut dengan pemandangan yang ada di hadapanku. Ya, Tuhan! Hampir aku tak percaya dengan penglihatanku. Perlahan-lahan, sesosok makhluk berbusana penari gandrung lengkap dengan omproknya keluar dari tubuh Ayu. Rambutnya yang panjang berhias bunga beraneka warna yang menebar aroma mistik. Aku hanya bisa tertegun melihat pemandangan itu. Roh itu benar-benar berwujud fisik seorang perempuan di hadapanku. Ya, dia adalah Nyi Semi, arwah sang penari gandrung yang selalu diceritakan Ni Luh Padmi kepadaku.
Nyi Semi mendekat ke arahku. Tangannya terus menggerak-gerakkan kipas sambil meliuk-liukkan tubuh dan kepalanya mengikuti irama alunan gendang. Rasa penasaran dan takut berkecamuk dalam diriku. Aroma pandan dan bunga kenanga begitu semerbak. Berbaur dengan asap dupa yang memenuhi ruangan. Seakan-akan aku terhipnotis mengikuti Nyi Semi untuk bergerak dan menari. Sementara dalam batas kesadaran yang lain aku melihat Ayu Laksmi tertidur pulas.
Semakin lama, gerakan menari Nyi Semi semakin cepat. Aku diayun dengan selendangnya. Tubuhku terasa ringan seperti kapas melayang. Di balik kibasan selendangnya, ku lihat bibir Nyi Semi menyungging senyum.
“Nyi Semi, bolehkah saya bertanya?” kataku mencoba berkomunikasi dalam bahasa batin.
“Anak boleh bertanya. Mau tanya apa kau?” Suara perempuan itu parau. Mata Nyi Semi berubah merah. Ia menatapku dengan pandangan yang tajam.
“Mengapa Nyi memakai raga Ayu untuk kembali?”
“Aku menginginkan Ayu menjadi Seblang. Ia akan sembuh dan berumur panjang sepertiku.”
“Mengapa harus Ayu, Nyi? Kami hidup dalam alam yang berbeda denganmu.”
“Memang, tapi aku sangat menginginkan dia.”
“Apa Nyi Semi tidak kasihan dengan Ayu? Anak sekecil itu harus menderita karena keinginanmu, Nyi?”
“Sudahlah, Nak. Aku tidak ingin berdebat denganmu. Waktuku tidak banyak. Izinkan aku akan membawa Ayu sekarang juga sebelum masa akil baliknya tiba.”
Tiba-tiba Nyi Semi menyanyikan tembang Lukinto, sebuah lagu ratapan kesedihan. Dari berbagai arah berlawanan, lima sosok cantik penari seblang datang. Mereka mengelilingiku. Aku takut. Aku mencoba berpikir, apakah ini nyata? Ataukah ini sebuah halusinasi saja? Kucubit tanganku, terasa sakit. Ini nyata. Aku tidak berhalusinasi. Mereka terus menari meliukkan tubuhnya dan menyanyi tembang seblang Lukinto dengan raut wajah penuh duka. Entah mengapa, hatiku seperti ikut tersayat dan pilu mendengarnya.
“Hentikan Nyi Semi! Apa maksudmu dengan semua ini!” Teriakku parau. Segenap kesadaranku bangkit.
“Hai, Anak. Rupanya hanya kamu yang mampu melihat dan merasakan kehadiranku. Dengar, aku akan pergi dari tubuh Ayu, tapi dengan satu syarat.” jawabnya dengan suara melengking tinggi.
“Katakan, apa maumu Nyi Semi? Asalkan kamu lepaskan Ayu dari pengaruh kekuatanmu.”
“Seperti yang diucapkan oleh ibuku, Mak Midhah dengan nazarnya, maka kamu harus mengucapkan ini untuk Ayu Laksmi. Kadhung sira waras, sun dadekaken seblang, kadhung sing yo sing,” ujar Nyi Semi sambil terus mengipasi tubuh Ayu.
“Mengapa Nyi Semi menginginkan Ayu untuk menjadi Seblang?”
“Karena warisan budaya leluhurku sudah tergeser dengan musik dan tradisi asing. Sementara budaya seblang semakin tersingkir dan terlupakan. Jangan salahkan aku jika harus kembali ke alam kalian.” Suara Nyi Semi terdengar menggelegar.
Aku mundur beberapa langkah. Tubuhku terasa panas. Peluh bercucuran. Nyi Semi terus menerus mengipasi tubuh Ayu. Kulihat para penari seblang mengitari tubuh Ayu. Dari dalam kabut asap dupa, kusaksikan roh Ayu keluar dari tubuhnya.
“Tidaaaak!!! Jangan bawa Ayu. Dia milik kami Nyi Semi! Jangan sakiti dia!” Aku berteriak marah.
Nyi Semi tidak peduli. Ia terus membubung bersama roh Ayu diiringi kelima penari seblang itu. Aku berusaha untuk terus mencegah Nyi Semi. Kurasakan rohku melesat terbang menyambar Ayu. Tubuh kasarku terguncang dan terempas ke lantai terkena sabetan selendang merah Nyi Semi. Tulang punggungku seperti remuk rasanya. Akhirnya, aku berhasil merebut Ayu dari mereka. Suhu tubuhku menjadi sangat panas. Hidungku mengeluarkan darah segar. Aku berteriak sekencang-kencangnya mengusir Nyi Semi…
Tiba-tiba aku merasa ada yang menepuk pipiku. Ternyata Ni Luh menepuk-nepuk pipiku.
“Sekar! Sekar! Kamu bermimpi?” Ni Luh menatapku dengan wajah khawatir. Tangannya mengusap peluh yang membasahi tubuhku.
Mimpikah aku? Tapi aku benar-benar merasakannya. Sumpah aku tidak bermimpi. Arwah Nyi Semi memang datang tadi. Dan itu terasa sangat nyata sekali. Aku bingung melihat sekeliling kamar. Kulihat Ayu masih terbaring lemah, belum siuman. Aku berpikir, haruskah kukatakan pada orang tua Ayu tentang permintaan Nyi Semi? Apakah aku salah jika tidak mengatakannya. Apakah mereka percaya jika harus kukatakan. Aku sungguh bimbang. (*)
Posting Komentar untuk "Arwah Titisan | Cerpen Destya Tika Ananta"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar