Iklan Atas

Blogger Jateng

Teriakan Aluna | Cerpen Juniar Amalia


Teringat di suatu subuh yang kelabu di hari Selasa. Saat itu hujan gerimis menemani setiap detik para calon penumpang bus di sebuah halte kecil. Untuk melindungi dari hujan gerimis subuh itu, orang-orang membuka payung yang dibawanya, atau hanya mengandalkan mantel yang dipakainya, ada pula yang ikut merapat bersama para calon penumpang bus di bawah naungan halte.

Di belakang halte tersebut, ada seorang ibu yang menjajakan dagangannya untuk sekadar memberikan kehangatan kepada para calon penumpang bus. Kopi, susu, teh, gorengan, dan aneka minuman dan makanan lainnya siap disajikan dalam keadaan masih hangat. Para kenek angkutan antarkota berteriak-teriak menawarkan tujuannya kepada para penghuni halte menambah keramaian subuh kala itu.

Ketika bus tiba, aku pun bersama dengan para calon penumpang cepat-cepat merapat ke depan pintu bus yang telah dibuka. Ada yang berharap masih ada kursi kosong yang tersisa untuk diduduki. Ada juga yang sudah tahu bahwa bus di waktu subuh pastilah penuh, jangan harap dapat kursi untuk diduduki sambil menuntaskan rasa kantuk yang melanda sisa malam tadi, karena halte ini adalah halte pemberhentian ketiga rute bus ini.

Desing suara pintu bus ditutup pun terdengar. Tak ada penumpang lain lagi yang akan masuk. Bus pun berjalan dengan kecepatan biasa meninggalkan keramaian di halte ketiga. Aku pun melihat-lihat seluruh kursi, tetapi tak kudapati satu pun yang kosong. Aku pun meraih pegangan yang menggantung di bagian atas bus ini. Mencoba menjaga keseimbangan.

Kuperhatikan langit di luar. Semburat cahaya matahari mulai memperjelas pemandangan di sisi-sisi jalan. Orang-orang mulai membuka tokonya. Buruh-buruh mulai berdatangan menuju pabrik. Para pekerja berjalan cepat-cepat ke arah kantornya. Anak-anak sekolah diantar para orangtua.

Temanku bilang, semua orang dengan aktivitas yang berbeda itu sedang menuju tujuan yang sama. Dia mencoba bermain tebak-tebakan denganku kala itu.

“Coba jawab, Na!” ujarnya setelah melontarkan pertanyaannya.

“Apa ya?” tanggapku sambil berpikir.

“Bahagia?” jawabku ragu. Ia hanya tersenyum menatapku.

Desing suara pintu bus yang terbuka kembali terdengar. Seorang ibu membawa bayi kecil di gendongannya pun masuk mendahului seorang pemuda berkemeja biru langit lengan panjang yang ia lipat sesiku. Halte keempat ini hanya menaikkan dua penumpang. Ibu tersebut mendapatkan kursi setelah seorang lelaki dewasa dengan tas kerjanya memberikan tempat duduknya.

“Makasih.” Ucap ibu itu dengan senyum sopan. Kemudian ia duduk dan memberikan sebotol susu formula untuk anaknya yang terbangun hampir menangis karena kedinginan memasuki bus AC di pagi hari yang dingin.

Untuk mencapai halte terakhir, rute bus ini melewati jalan yang terlintas di tengahnya rel kereta api sehingga terkadang pada jam-jam sibuk seperti ini kemacetan tak dapat dihindari. Bila kereta api lewat, palang pintu kereta api akan diturunkan secara otomatis. Palang pintu kereta api yang diturunkan ini lah yang membuat hentinya jalur lalu lintas sementara untuk mendahulukan kereta api yang lewat.

Sekejap angin berembus kasar di luar bus, menambah hawa dingin pagi itu. Suara khas gemuruh kereta datang pun terdengar selama beberapa menit kemudian hilang. Kulihat palang pintu kereta api otomatis itu telah dinaikkan kembali. Lalu lintas pun berjalan kembali. Satu per satu kendaraan maju melewati rel kereta api. Tepat ketika bus melewati rel kereta api sebelah kanan, seseorang menepuk pundak sebelah kiriku. Kutolehkan kepalaku kearahnya.

“Duduk, Mbak,” seorang ibu mempersilakanku menempati kursinya.

“Saya mau turun di depan,” lanjutnya.

“Oh. Terima kasih Bu,” jawabku sembari tersenyum.

Ketika aku hendak melangkahkan kaki menuju kursi itu, kulihat seorang petugas kereta api keluar terburu-buru seperti meneriakkan sesuatu sambil melambai-lambaikan tangan dari pos jaganya. Saat itulah, semua tak dapat dikondisikan lagi. Bus tiba-tiba berhenti, terjebak di tengah-tengah rel kereta api, sang sopir mengumpat marah. Semua penumpang panik bertanya-tanya apa yang terjadi. Bayi yang tertidur lelap terbangun mendengar kegaduhan. Tubuhku pun mematung, terlihat dari kejauhan kereta api berjalan ke arah bus yang kutumpangi dengan kecepatan penuh sulit untuk diberhentikan.

“Buka pintunya!!!!” aku berteriak sekencang mungkin, sambil berusaha menggerakkan kakiku yang gemetaran. Semua orang pun terdiam menatapku nanar. Aku pun mengarahkan jari telunjukku ke luar jendela untuk memberi mereka penjelasan.

“Cepat buka pintunya, Pak Sopir!!!” teriakku sekali lagi. Suasana di dalam bus pun berubah menjadi kacau. Semua orang berteriak menginterupsi konsentrasi sang supir bus. Supir bus itu masih berusaha menjalankan busnya dengan panik.

“Tak akan ada gunanya, bodoh!” Seorang bapak-bapak menghardiknya tak sabaran.

“Cepat buka saja pintunya!” Kali ini seorang wanita paruh baya meneriakinya dengan suara parau.

“Hanya dengan ini kita akan selamat semuanya!” balas sang supir keras kepala.

“Sungguh kau tidak tahu?!! Kalau sudah seperti ini, sekuat apapun kau menginjak pedal gasnya bus ini tetap tidak akan berjalan!!!!” ujar seorang pemuda berambut cepak dengan teriakannya.

Sang sopir bus pun menghela napasnya kasar, mengumpat kembali sambil terus menginjak pedal gasnya kuat-kuat. Jalan pikirannya tak dapat dikendalikan, serangan panik membuatnya tak dapat berpikir dengan jernih.

“Yang benar saja??!!!” Seorang perempuan berteriak tak tahu lagi harus melakukan apa setelah melihat sang sopir masih keras kepala melakukan hal yang tak berguna.

Aku pun mengedarkan pandanganku kesekeliling bus, hingga kudapati di sisi bagian belakang bus sebuah benda merah alat pemecah kaca. Dengan terburu-buru aku berjalan untuk mengambilnya. Dengan susah payah aku melepaskan benda itu dari tempatnya hingga akhirnya dapat ter-lepas. Cepat-cepat kupukulkan benda itu pada pintu kaca bus yang berada di bagian tengah bus sebelah kanan.

Prangg!! Terdengar suara kaca pecah yang membuat perhatian semua orang ter-arah padaku. Kemudian seorang pemuda berkemeja lengan panjang yang tadi naik di halte keempat membantuku dengan menendangkan kakinya ke arah kaca yang sudah mulai retak.

Mulailah kaca-kaca tersebut berjatuhan hingga kiranya dapat mengeluarkan satu per satu orang dari bus itu.

“Saya akan mengeluarkan para wanita dan anak-anak terlebih dahulu. Kamu bantu saya memecahkan kaca di sebelah sana,” ucapku pada pemuda itu sambil menunjuk pintu kaca yang sebelah kiri. Lelaki itu pun menganggukkan kepalanya.

“Pak sopir tolong cepat bukakan pintunya. Kereta api itu semakin mendekat akan menabrak kita,” seorang anak laki-laki berkata dengan air mata yang berderai-derai sembari memegangi tangan ibunya kuat-kuat. Orang-orang di luar sudah meneriaki mereka tak sabaran, panik jika harus terjadi sesuatu yang tak diharapkan siapa pun.

“Tombol pembuka otomatisnya pun tak dapat berjalan,” ujar sang sopir dengan kepala menunduk pasrah.

Para penumpang pun menghembuskan napas paniknya. Berteriak-teriak tak jelas. Kemudian mendekat ke arahku, berebut hendak cepat-cepat keluar.

“Ayo, Bu. Ibu duluan,” ujarku pada ibu dengan bayi yang menangis dipelukannya.

Tiba-tiba seorang bapak-bapak menyerobot tubuhku berusaha untuk keluar lewat kaca yang aku dan pemuda itu pecahkan.

“Pak!!” sentakku sembari menariknya sekuat tenaga untuk menyingkir.

“Tolong kerja samanya! Ini bukan waktunya untuk mendahulukan ego kita! Kau mau semuanya kacau hanya karena kau terjebak dalam emosimu?!!” seruku kesal. Namun, bapak itu tak mau mendengar, hingga pemuda yang membantuku tadi menariknya dengan sekuat tenaga dan menahannya.

“Lepaskan!!” Bapak itu mencoba melepaskan diri.

“Ayo, Bu. Cepat!” seruku terburu-buru.

Tepat ketika ibu dan anak bayinya itu melompat keluar, kereta itu mendekat. Hanya tinggal berjarak satu meter dari bus. Decitan roda kereta api dengan relnya berdesing tak tertahankan hingga mengeluarkan percikan-percikan api.

Namun, apa mau dikata, kita tak kuasa melawan waktu yang terus berjalan. Semua berubah menjadi gelap seketika. Usaha sekeras apapun tak dapat merubah takdir agung yang telah ditetapkan-Nya.

“Kok senyum?” tanyaku padanya.

“Benar tidak jawabannya?” tanyaku kembali. Tatapannya beralih ke arah depan, seperti membayangkan sesuatu.

“Bagaimana Aluna? Sudahkah kau bahagia?” tanyanya kembali.

“Kurasa, ya,” jawabku menatapnya yakin.

Suatu kesunyian pun menyergap suasana pagi itu. Seakan waktu berhenti, menyisakan asap pekat menutupi pandangan. (*)

Posting Komentar untuk "Teriakan Aluna | Cerpen Juniar Amalia"