Cita-cita melanjutkan S2 membuat bara keinginan untuk menyelesaikan kuliahnya berkobar-kobar di dadanya. Bara itu semakin menyala-nyala jika ia mengingat usia ayah-ibunya juga semakin melaju tua. Sementara adik-adiknya juga membutuhkan biaya sekolah yang terus meroket. Pikirnya setelah ia lulus, beban orang tuanya akan lebih ringan. Orang tuanya tinggal fokus membiayai adik-adiknya. Beruntung juga di semester-semester akhir, ia mendapatkan beasiswa dari kampusnya sambil ia bekerja di warung internet. Praktis ia tidak terlalu bergantung pada kiriman orang tua. Bahkan tidak jarang, ia bisa menabung. Jika ia pulang, ia bagikan tabungannya untuk adik-adik, keponakannya atau tetangga kanan-kirinya yang dianggapnya kekurangan.
Gawainya berdenting, ada pesan masuk melalui saluran WhatsApp. Ia menggeliat membuka mata. Ia duduk lalu meraih pesawat gawainya. Ada nomor tanpa nama mengirim pesan. Ingat aku, Muhsin? Aku Toha. Aku mau ke tempatmu, bunyi isi pesan itu.
Bagaimana ia tidak ingat. Bagi Muhsin, Toha adalah seniornya yang sempurna: cerdas, tampan, kariernya melejit dan sekarang telah menjadi orang kaya di Surabaya. Karena kesempurnaan Toha itulah, ia dengan rela mengenalkan teman kuliahnya yang jelita, yaitu Syahida. Si cantik Syahida akan lebih pantas menikah dengan Toha. Andaikata aku sepertinya, akan kuberanikan diri meminangmu, Syahida, ingatannya menggumpal mengenang kejadian setahun lalu saat ia ajak Syahida bermain ke Hotel Guardenia untuk menemui Toha, sang manager SDM di hotel tersebut.
Sejak di madrasah aliyah (MA), Muhsin adalah pengagum Toha. Toha saat itu adalah ketua OSIS, pandai berbahasa Inggris sekaligus bahasa Arab. Ia selalu mendapat peringkat satu dan menjadi lulusan teladan. Lulus MA, bukan main istimewanya Toha. Ia satu-satunya lulusan madrasah itu yang bisa menembus Fakultas Ekonomi UI Jakarta. Mayoritas lulusan madrasah itu melanjutkan kuliah di perguruan tinggi agama Islam. Bagi mereka yang hebat bahasa Arab dan kuat hafalan Alquran bisa melanjutkan kuliah ke Mesir. Namun Toha adalah pengecualian, ia bisa meraih apa yang tidak bisa dilakukan teman-temannya. Toha, selain pandai bahasa Inggris, pandai pula matematika dan IPA. Kepandaiannya itu membuatnya bisa bersaing dengan lulusan-lulusan terbaik dari SMA- SMA unggulan.
Lulus dari UI, tidak sulit bagi Toha bergabung menjadi management trainee. Selanjutnya ia dengan cepat dipercaya sebagai manager SDM hotel bintang lima di Surabaya. Beberapa kali Muhsin diajak bermain ke tempatnya. Di mata Muhsin, penampilan Toha benar-benar mengesankan telah menjadi sosok eksekutif muda yang maco. Ia mengutarakan keinginannya untuk menikah. Ya lulusan pesantrenlah, Sin, katanya. Saat Muhsin tunjukkan foto Syahida di gawainya, Toha mengangguk. Padahal sebenarnya Muhsin ingin pamer saja padanya bahwa ia bisa akrab dan memiliki teman perempuan secantik Syahida.
Akan tetapi Muhsin sadar siapa dirinya dan siapa Syahida. Ia hanya anak petani gurem dari sebuah desa di Lamongan. Sementara Syahida adalah anak petambak sukses di Gresik. Selama kuliah di Surabaya, nyaris Syahida tidak pernah naik bus atau angkutan umum untuk pulang ke Gresik dan berangkat ke Surabaya. Ia selalu diantar naik Inova hitam. Hanya sekali ia naik bus saat sopirnya sakit dan ayahnya sedang pameran bandeng di Semarang. Muhsinlah yang diminta mengantarnya naik bus. Sungguh aku rela dan merasa senang bisa mengalah agar ia bisa duduk di kursi bus. Biarkan aku saja yang berdiri. Mendampingi Syahida benar-benar sebuah kemegahan. Aku pun tidak berani menerka: siapa yang ada di hati Syahida, Muhsin melamun.
Ia pun mengenalkan Toha dengan Syahida. Toha sangat antusias dan luwes sekali menerima Syahida. Ia menerima pinangan Toha. Aku pun merasa lega meskipun ada semacam kerikil perasaan cemburu yang mengganjal di hatiku. Lega karena setelah menikah dengan Toha tidak ada lagi alasan bagiku untuk mengharapkan Syahida. Kerikil cemburu itu pasti akan segera musnah.
*****
“Mas mengapa harus ke sini. Aku saja yang ke sana,” jawabnya.
“Begini saja, kita ketemu di depot nasi bebek Jemursari saja,” balas Toha. Tentu saja Muhsin menyetujui. Depot itu tidak jauh dari kosnya. Cukup berjalan lima menit ke arah selatan. Di tempat itu pula dulu ia menceritakan tentang Toha pada Syahida. Ia menghembuskan napas yang agak mengganjal akibat pikirannya yang tiba-tiba dipenuhi ingatan pada Syahida kala itu.
“Gimana kabarnya Mas Toha dan keluarga?” tanya Muhsin.
Toha terdiam menunduk. Tidak seperti biasanya. Toha yang biasanya adalah seorang anak muda dengan cara pandang yang lurus dan cerah dilengkapi ucapannya yang selalu menginspirasi, tetapi tidak untuk kali ini di hadapan Muhsin. Ia lesu dan layu. Nampak sekali ia mengalami kelelahan rohani (letargi) yang parah.
“Justru masalah rumah tanggaku itu yang ingin aku sampaikan padamu, Sin,” jawabnya dengan nada gundah.
“Aku tidak percaya rumah tangga Mas Toha berantakan. Jika bukan sampeyan sendiri, Mas, yang memberi tahuku, kupastikan itu berita hoax,” kata Muhsin dengan gelengan kepala sementara mulutnya setengah menganga.
Sambil meredupkan tatapan mata pada Toha, ia melanjutkan, “Bagaimana rumah tangga Mas Toha bisa koyak padahal apa yang kurang dari sampeyan dan Syahida, Mas?”
Toha pun mulai bercerita kilas balik tentang takhta rumah tangganya yang runtuh. Setelah ia berhasil menjinakkan sikap dingin Syahida, ia mengira surga dunia telah menjadi miliknya. Ia dan Syahida bisa memerankan peran suami-istri dengan mesra, hangat dan romantis. Jika di filmkan, tidak ubahnya kami memerankan romantisme Ayat-Ayat Cinta,” cerita Toha.
Muhsin tersenyum, tetapi senyum tertahan agak kecut menunggu lanjutan cerita. Romantisme itu akhirnya tergerus oleh waktu juga. Agaknya Syahida ingin segera memiliki anak. Lebih tepatnya orang tuanya, yang tidak sabar ingin segera melihat cucu dari putri semata wayangnya. Sementara bagi Toha, umur pernikahan yang baru setahun tanpa anak adalah lumrah belaka.
Bukankah, sangat banyak pasangan hingga berpuluh tahun belum juga punya anak. “Satu tahun belum punya anak, mengapa harus panik, istriku. Sebagai lulusan pesantren, engkau pasti sangat mafhum akan penantian sabar Nabi Ibrahim sebelum dikaruniai Ismail dan Ishaq. Begitu panjang juga penantian Nabi Zakaria. Bahkan hingga rambut Sang Nabi itu telah memutih dan usia istrinya semakin tua, baru lahirlah Yahya?” jelas Toha suatu kali pada Syahida dengan harapan bisa meredakan hati sang istri.
Sayangnya Syahida selalu panik. Jika mendengar ada teman punya anak, maka itu adalah berita intimidasi. Ia tidak akan mau diajak menjenguk bayi. Kepanikan itu rupanya meledak ketika sepupunya yang lebih muda dan baru menikah tiga bulan lalu diperiksakan dan dinyatakan oleh dokter sudah mengandung. Syahida tidak bisa menahan kesabarannya.
“Aku tidak percaya rumah tangga Mas Toha berantakan. Jika bukan sampeyan sendiri, Mas, yang memberi tahuku, kupastikan itu berita hoax,” kata Muhsin dengan gelengan kepala sementara mulutnya setengah menganga.
Sambil meredupkan tatapan mata pada Toha, ia melanjutkan, “Bagaimana rumah tangga Mas Toha bisa koyak padahal apa yang kurang dari sampeyan dan Syahida, Mas?”
Toha pun mulai bercerita kilas balik tentang takhta rumah tangganya yang runtuh. Setelah ia berhasil menjinakkan sikap dingin Syahida, ia mengira surga dunia telah menjadi miliknya. Ia dan Syahida bisa memerankan peran suami-istri dengan mesra, hangat dan romantis. Jika di filmkan, tidak ubahnya kami memerankan romantisme Ayat-Ayat Cinta,” cerita Toha.
Muhsin tersenyum, tetapi senyum tertahan agak kecut menunggu lanjutan cerita. Romantisme itu akhirnya tergerus oleh waktu juga. Agaknya Syahida ingin segera memiliki anak. Lebih tepatnya orang tuanya, yang tidak sabar ingin segera melihat cucu dari putri semata wayangnya. Sementara bagi Toha, umur pernikahan yang baru setahun tanpa anak adalah lumrah belaka.
Bukankah, sangat banyak pasangan hingga berpuluh tahun belum juga punya anak. “Satu tahun belum punya anak, mengapa harus panik, istriku. Sebagai lulusan pesantren, engkau pasti sangat mafhum akan penantian sabar Nabi Ibrahim sebelum dikaruniai Ismail dan Ishaq. Begitu panjang juga penantian Nabi Zakaria. Bahkan hingga rambut Sang Nabi itu telah memutih dan usia istrinya semakin tua, baru lahirlah Yahya?” jelas Toha suatu kali pada Syahida dengan harapan bisa meredakan hati sang istri.
Sayangnya Syahida selalu panik. Jika mendengar ada teman punya anak, maka itu adalah berita intimidasi. Ia tidak akan mau diajak menjenguk bayi. Kepanikan itu rupanya meledak ketika sepupunya yang lebih muda dan baru menikah tiga bulan lalu diperiksakan dan dinyatakan oleh dokter sudah mengandung. Syahida tidak bisa menahan kesabarannya.
“Kali ini pun aku tidak bisa berkutik. Aku pun lama-kelamaan kehilangan pengertian. Kami menjelma menjadi sepasang suami-istri yang mengedepankan watak asli kami masing-masing,” Toha menjelaskan. Sementara tangan kirinya menyambar tusuk gigi di meja hidang itu. Beberapa pengunjung depot pun sudah keluar berganti dengan pengunjung lain.
“Jadi kamu bisa menerka, Sin, pada saat aku kehilangan pengertianku, ego keakuan Syahida menjadi-jadi. Ditambah lagi, gunung hasrat memiliki anak membuat emosinya semakin tidak terkendali. Jika sudah begitu, keluarga kami tak ubahnya adalah neraka. Asal kamu tahu, Sin, ini adalah talak yang ketiga. Tapi aku sungguh masih mencintainya, Sin,” kata Toha sembari tangan kirinya memegangi mulutnya sendiri. Sementara Muhsin menggeleng sembari minum sisa minuman beras kencur di gelasnya.
“Talak tiga? Sangat sulit bagi Mas Toha rujuk lagi,” sela Muhsin. “Aku ikut menyesal dan merasa bersalah mengapa dulu mempertemukan kalian,” lanjut Muhsin.
“Aku ingin rujuk lagi, Sin, jadi tolonglah,” Toha mengutarakan maksudnya dengan penuh kesungguhan pada Muhsin. Ia menjabat tangan Muhsin sembari menatap kuat mata Musin penuh pengharapan.
“Ini ide gila, Mas Toha,” sergah Muhsin, “Aku menikahi Syahida hanya agar menjadi muhallil (faktor penghalal) Mas bisa rujuk kembali?” nada suara Muhsin meninggi agak membentak ke Toha. Sementara matanya nanar mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan depot kalau-kalau suara bentakannya menyedot perhatian pengunjung. Rupanya tidak ada yang mendengar bentakan Muhsin. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Tolonglah aku, Sin, kamu ingin kan keluargaku kembali lagi?” Toha mengiba. “Aku janji aku akan membunuh egoku di hadapan Syahida. Jika kamu mau, aku juga sanggup membiayai semua kebutuhan adik-adikmu sampai mereka kuliah. Aku juga sanggup membantumu S2. Bantu aku, Sin,” Toha menghiba sekali lagi sambil menatap penuh rayuan pada Muhsin. Kali ini Muhsin yang terdiam sambil menghela napas.
“Kamu pikirkan yang matang, Sin, tidak harus sekarang kamu jawab. Jika perlu kamu istikharah. Tapi jangan sekali- kali ada orang lain yang tahu bahwa kamu menjadi muhallil untukku. Rahasiakan dokumen perjanjian kesepakatan kita ini. Katakan pada orang tuamu bahwa kamu telah bekerja dan mampu membiayai semuanya,” Toha melanjutkan bujukannya.
Muhsin masih terdiam. Kepalan tangannya menyangga dagunya. Ia gigit-gigit punggung tangannya yang mengepal. Ia membaca dokumen yang disodorkan Toha. Pada klausul Toha siap membiayai kebutuhan saudara dan siap membiayai kuliah S2, matanya terhenti. “Yang tidak bisa aku terima, aku menikahi Syahida lalu begitu saja menceraikannya. Apa alasan menceraikannya?” ujar Muhsin dengan suara yang merendah. Toha pun sudah paham sekali jika sudah begini, Muhsin biasanya akan mengiyakan keinginannya.
Pikiran dan batin Muhsin bergolak kencang. Menolak tawaran Toha berarti kesempatan membantu kebutuhan orang tua, mewujudkan mimpinya kuliah S2, hilang. Hatinya terasa berdebar pula mengingat Syahida akan dinikahinya. Akan tetapi menerimanya berarti mencederai kesakralan pernikahan jika menikah hanya untuk bercerai. Bagaimana lagi dengan marwah Syahida: gonta-ganti lelaki. Namun jika itu bisa menyatukan rumah tangga yang pecah lalu mereka bisa rukun kembali, kenapa tidak? Pernyataan dan pertanyaan semacam itu silih berganti mengaduk-aduk pikirannya untuk menimbang tawaran Toha.
“Baik, Mas Toha, aku menerima tawaranmu, tetapi dengan jaminan sampeyan bisa mengalah demi Syahida dan keluargamu,” jawaban Muhsin melalu WhatsApp.
“Jaminanku adalah kesanggupanku memenuhi semua kebutuhanmu, adik-adikmu, dan keluargamu. Bukankah itu bisa menjadi bukti sikapku yang berusaha mengerti, Sin,” Toha membalas dengan kalimat penutup, “Terima kasih, Muhsin.”
Dengan berbekal akomodasi dari Toha, Muhsin pun melakukan pendekatan pada Syahida. Tidak sulit untuk merebut hati Syahida yang telah menjanda. Bahasa tubuh dan cara berkomunikasinya ditangkap dengan jelas oleh Muhsin bahwa Syahida tidak menolak. “Mengapa baru sekarang, Sin, ketika aku bukan Syahida yang pernah engkau antar naik bus dulu?” jawab Syahida saat dipinang Muhsin. Ia baru menyadari bahwa sebenarnya sedari dulu Syahida memiliki rasa dengannya. Hanya ia yang tidak punya nyali.
“Ahad besok aku mau ke tempatmu, Sin, ada laptop untukmu. Pasti sangat berguna untuk kuliah S2-mu.” Syahida berkirim pesan pada Muhsin.
“Ya… berarti aku harus bersih-bersih dulu ini,” jawab Muhsin sumringah berbunga-bunga. Muhsin merasakan tiba-tiba banyak keberuntungan yang datang melimpahi dirinya setelah menerima tawaran Toha. Kali ini Syahida dengan entengnya memberinya hadiah laptop, padahal sepekan sebelumnya Muhsin telah diajak ke Plasa Marina membeli gawai baru. Belum lagi orang tua Syahida yang akan mengirim sepeda motor jika kelak ia sudah tinggal di Yogyakarta atau Jakarta untuk kuliah S2. “Adakah ini yang dinamakan rahmat Ilahi? Benar-benar pintu langit terbuka untukku. Tidak salah keputusanku,” pikirannya berkicau sendiri.
Tiba hari Ahad, Syahida benar-benar datang dengan membawa laptop dilengkapi dengan printer dan modem. Setelah selesai menyambung perangkat laptopnya dengan printer lalu memastikan jaringan internet bekerja dan bisa diakses, Syahida menawari Muhsin jalan-jalan keluar mencari makan. Kali ini Muhsin yang menolak. Ia mengusulkan diri mencarikan jus buah di sebelah kos-kosan. Syahida menerima usulnya.
Saat Muhsin keluar, Syahida tidak bermaksud membaca buku-buku koleksi Muhsin. Ia hanya iseng membuka-buka buku sambil menunggu Muhsin membawakannya jus alpukat. Syahida meraih satu buku secara sembarangan di rak yang paling bawah. Ia buka untuk melihat gambar atau judul-judulnya saja. Begitu ia menyingkap sampul buku itu, halaman yang dibatasi dengan sebuah surat bermaterai terbuka.
Ia meraih dokumen itu. Jantung Syahida berdegup keras. Napasnya tersengal. Ia meremas-remas kertas itu seperti kesetanan lalu mencampakkan remahan kertas di lantai. Sebelum keluar ruangan, ia sempat menendang printer dan menarik laptop terbanting keras di lantai. Ia pergi meninggalkan kos-kosan itu sambil menutupi wajah yang terisak dengan ujung hijabnya.
Berselang lima menit kemudian, Muhsin datang. Begitu masuk kamar kosnya, ia terhenyak. Melihat remahan kertas yang sangat ia kenal berserakan. Sobekan kertas yang masih tertempel meterai tepat berada di mulut pintu kamar. Tidak terasa jus yang terbungkus plastik jatuh dari genggaman tangannya, Syahida sudah tahu.
Muhsin menggeleng-gelengkan kepala. “Rusak-rusak semua… gagal-gagal semua,” deru pedih hatinya.
Gawainya berdenting, “Kalian berdua sungguh lelaki yang keji dan sadis. Tega berkonspirasi menjual diriku atas nama pernikahan. Andai adik perempuanmu diperlakukan seperti aku, atau ibumu, bagaimana, Sin? Relakah kamu? Kelak jika aku punya anak dan ini semua terjadi, bagaimana perasaan anakku tahu ibunya dicampakkan dari satu lelaki ke lelaki lain? Bangs*t kalian berdua,” bunyi pesan dari Syahida. Sementara Muhsin terduduk merenung. Ia sempatkan mengirim pesan ke Toha.
Tidak lama, Toha membalas, “Semua sudah berakhir, Muhsin, lupakan kesepakatan yang kita buat. Maafkan aku.” Muhsin bersujud, mulutnya melafalkan istighfar. Ia pun berusaha menghapuskan khayalan kuliah S2 dan bantuan-bantuan dana untuk keluarga dan adik-adiknya. (*)
“Jadi kamu bisa menerka, Sin, pada saat aku kehilangan pengertianku, ego keakuan Syahida menjadi-jadi. Ditambah lagi, gunung hasrat memiliki anak membuat emosinya semakin tidak terkendali. Jika sudah begitu, keluarga kami tak ubahnya adalah neraka. Asal kamu tahu, Sin, ini adalah talak yang ketiga. Tapi aku sungguh masih mencintainya, Sin,” kata Toha sembari tangan kirinya memegangi mulutnya sendiri. Sementara Muhsin menggeleng sembari minum sisa minuman beras kencur di gelasnya.
“Talak tiga? Sangat sulit bagi Mas Toha rujuk lagi,” sela Muhsin. “Aku ikut menyesal dan merasa bersalah mengapa dulu mempertemukan kalian,” lanjut Muhsin.
“Aku ingin rujuk lagi, Sin, jadi tolonglah,” Toha mengutarakan maksudnya dengan penuh kesungguhan pada Muhsin. Ia menjabat tangan Muhsin sembari menatap kuat mata Musin penuh pengharapan.
“Ini ide gila, Mas Toha,” sergah Muhsin, “Aku menikahi Syahida hanya agar menjadi muhallil (faktor penghalal) Mas bisa rujuk kembali?” nada suara Muhsin meninggi agak membentak ke Toha. Sementara matanya nanar mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan depot kalau-kalau suara bentakannya menyedot perhatian pengunjung. Rupanya tidak ada yang mendengar bentakan Muhsin. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Tolonglah aku, Sin, kamu ingin kan keluargaku kembali lagi?” Toha mengiba. “Aku janji aku akan membunuh egoku di hadapan Syahida. Jika kamu mau, aku juga sanggup membiayai semua kebutuhan adik-adikmu sampai mereka kuliah. Aku juga sanggup membantumu S2. Bantu aku, Sin,” Toha menghiba sekali lagi sambil menatap penuh rayuan pada Muhsin. Kali ini Muhsin yang terdiam sambil menghela napas.
“Kamu pikirkan yang matang, Sin, tidak harus sekarang kamu jawab. Jika perlu kamu istikharah. Tapi jangan sekali- kali ada orang lain yang tahu bahwa kamu menjadi muhallil untukku. Rahasiakan dokumen perjanjian kesepakatan kita ini. Katakan pada orang tuamu bahwa kamu telah bekerja dan mampu membiayai semuanya,” Toha melanjutkan bujukannya.
Muhsin masih terdiam. Kepalan tangannya menyangga dagunya. Ia gigit-gigit punggung tangannya yang mengepal. Ia membaca dokumen yang disodorkan Toha. Pada klausul Toha siap membiayai kebutuhan saudara dan siap membiayai kuliah S2, matanya terhenti. “Yang tidak bisa aku terima, aku menikahi Syahida lalu begitu saja menceraikannya. Apa alasan menceraikannya?” ujar Muhsin dengan suara yang merendah. Toha pun sudah paham sekali jika sudah begini, Muhsin biasanya akan mengiyakan keinginannya.
Pikiran dan batin Muhsin bergolak kencang. Menolak tawaran Toha berarti kesempatan membantu kebutuhan orang tua, mewujudkan mimpinya kuliah S2, hilang. Hatinya terasa berdebar pula mengingat Syahida akan dinikahinya. Akan tetapi menerimanya berarti mencederai kesakralan pernikahan jika menikah hanya untuk bercerai. Bagaimana lagi dengan marwah Syahida: gonta-ganti lelaki. Namun jika itu bisa menyatukan rumah tangga yang pecah lalu mereka bisa rukun kembali, kenapa tidak? Pernyataan dan pertanyaan semacam itu silih berganti mengaduk-aduk pikirannya untuk menimbang tawaran Toha.
“Baik, Mas Toha, aku menerima tawaranmu, tetapi dengan jaminan sampeyan bisa mengalah demi Syahida dan keluargamu,” jawaban Muhsin melalu WhatsApp.
“Jaminanku adalah kesanggupanku memenuhi semua kebutuhanmu, adik-adikmu, dan keluargamu. Bukankah itu bisa menjadi bukti sikapku yang berusaha mengerti, Sin,” Toha membalas dengan kalimat penutup, “Terima kasih, Muhsin.”
*****
“Ahad besok aku mau ke tempatmu, Sin, ada laptop untukmu. Pasti sangat berguna untuk kuliah S2-mu.” Syahida berkirim pesan pada Muhsin.
“Ya… berarti aku harus bersih-bersih dulu ini,” jawab Muhsin sumringah berbunga-bunga. Muhsin merasakan tiba-tiba banyak keberuntungan yang datang melimpahi dirinya setelah menerima tawaran Toha. Kali ini Syahida dengan entengnya memberinya hadiah laptop, padahal sepekan sebelumnya Muhsin telah diajak ke Plasa Marina membeli gawai baru. Belum lagi orang tua Syahida yang akan mengirim sepeda motor jika kelak ia sudah tinggal di Yogyakarta atau Jakarta untuk kuliah S2. “Adakah ini yang dinamakan rahmat Ilahi? Benar-benar pintu langit terbuka untukku. Tidak salah keputusanku,” pikirannya berkicau sendiri.
Tiba hari Ahad, Syahida benar-benar datang dengan membawa laptop dilengkapi dengan printer dan modem. Setelah selesai menyambung perangkat laptopnya dengan printer lalu memastikan jaringan internet bekerja dan bisa diakses, Syahida menawari Muhsin jalan-jalan keluar mencari makan. Kali ini Muhsin yang menolak. Ia mengusulkan diri mencarikan jus buah di sebelah kos-kosan. Syahida menerima usulnya.
Saat Muhsin keluar, Syahida tidak bermaksud membaca buku-buku koleksi Muhsin. Ia hanya iseng membuka-buka buku sambil menunggu Muhsin membawakannya jus alpukat. Syahida meraih satu buku secara sembarangan di rak yang paling bawah. Ia buka untuk melihat gambar atau judul-judulnya saja. Begitu ia menyingkap sampul buku itu, halaman yang dibatasi dengan sebuah surat bermaterai terbuka.
Ia meraih dokumen itu. Jantung Syahida berdegup keras. Napasnya tersengal. Ia meremas-remas kertas itu seperti kesetanan lalu mencampakkan remahan kertas di lantai. Sebelum keluar ruangan, ia sempat menendang printer dan menarik laptop terbanting keras di lantai. Ia pergi meninggalkan kos-kosan itu sambil menutupi wajah yang terisak dengan ujung hijabnya.
Berselang lima menit kemudian, Muhsin datang. Begitu masuk kamar kosnya, ia terhenyak. Melihat remahan kertas yang sangat ia kenal berserakan. Sobekan kertas yang masih tertempel meterai tepat berada di mulut pintu kamar. Tidak terasa jus yang terbungkus plastik jatuh dari genggaman tangannya, Syahida sudah tahu.
Muhsin menggeleng-gelengkan kepala. “Rusak-rusak semua… gagal-gagal semua,” deru pedih hatinya.
Gawainya berdenting, “Kalian berdua sungguh lelaki yang keji dan sadis. Tega berkonspirasi menjual diriku atas nama pernikahan. Andai adik perempuanmu diperlakukan seperti aku, atau ibumu, bagaimana, Sin? Relakah kamu? Kelak jika aku punya anak dan ini semua terjadi, bagaimana perasaan anakku tahu ibunya dicampakkan dari satu lelaki ke lelaki lain? Bangs*t kalian berdua,” bunyi pesan dari Syahida. Sementara Muhsin terduduk merenung. Ia sempatkan mengirim pesan ke Toha.
Tidak lama, Toha membalas, “Semua sudah berakhir, Muhsin, lupakan kesepakatan yang kita buat. Maafkan aku.” Muhsin bersujud, mulutnya melafalkan istighfar. Ia pun berusaha menghapuskan khayalan kuliah S2 dan bantuan-bantuan dana untuk keluarga dan adik-adiknya. (*)
Keterangan:
Muhallil: Lelaki yang menyebabkan halalnya wanita dinikahi mantan suami setelah talak ketiga diistilahkan dalam bahasa Arab: muhallil artinya penyela atau penghalal.
Muhallil: Lelaki yang menyebabkan halalnya wanita dinikahi mantan suami setelah talak ketiga diistilahkan dalam bahasa Arab: muhallil artinya penyela atau penghalal.
Posting Komentar untuk "Muhallil | Cerpen Fathurrofiq"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar