Dia juga pernah mencoba mengikutkan naskahnya pada sebuah lomba yang telah melahirkan novelis-novelis besar. Namun, apa mau di kata persaingannya begitu ketat. Banyak naskah-naskah hebat yang dikirimkan oleh penulis-penulis bagus di negeri ini. Aku curiga para juri bahkan tidak mau membaca naskah itu lebih dari sepuluh halaman. Semoga ini bukan hanya sebuah kecurigaan yang tidak mendasar serta serampangan yang mendiskreditkan para dewan juri yang terhormat.
Namun, tidaklah dia berpatah semangat. Berbekal uang yang diminta dari orang tuanya, ia menerbitkan naskah karangannya itu lewat sebuah penerbit indie populer. Tentu saja naskahnya diterima. Tentu karena dia membayar sendiri ongkos cetak dua puluh lima eksemplar.
Dua puluh lima hari kemudian datang kabar bahwa bukunya telah dikirimkan. Kembang sekali hidungnya saat dia memamerkan buku bersampul putih bergambar teh es itu kepadaku. Tentu sebagai teman yang baik, aku merasa perlu pula untuk membaca karangannya ini. Aku tentu saja tidak perlu membeli karena dia dengan senang hati meminjamkan buku itu kepadaku.
Kira-kira seminggu waktu yang kuperlukan untuk menamatkan novel itu. Isinya lumayanlah. Sebenarnya tidak buruk-buruk betul hasil karya temanku. Meskipun ada beberapa bagian yang klise dan kepengrajinan sastrawinya masih rendah.
Aku tidak mau membahas ceritanya secara panjang lebar. Satu yang agak menarik juga dari hasil karangannya selama tiga bulan itu adalah hadirnya sosok Lalita Vistara yang luar biasa sebagai karakter utamanya.
Untuk sosok Tara ini aku bersedia bercerita panjang lebar.
*****
Seperti apakah sosok perempuan yang paling ideal menurutmu? Pintar, cerdas, kaya, putih, tinggi atau apalah? Semua orang tentu memiliki gambaran ideal menurut mereka masing-masing. Tidak etis pula kalau kau memaksakan gambaran perempuan paling ideal harus diterima oleh orang lain.
Tara adalah gambaran perempuan paling ideal menurut temanku yang sok sastrawan ini sebagai orang yang brutal. Ya, katakanlah brutal. Seorang perempuan cerdas, kaya yang berkulit sawo matang bertinggi seratus lima puluh sekian sentimeter. Namun, bukanlah itu yang membuat Tara menjadi menarik. Tara adalah perempuan ekspresif yang bicara sesuka hatinya tanpa peduli perasaan orang lain. Dia melakukan apa yang ia inginkan tanpa memikirkan bagaimana pandangan orang kepadanya.
Sesaat setelah aku menamatkan novel itu, sekitar lima belas menit aku menghayal. Apakah ada perempuan seperti Tara di dunia nyata? Nyatakah Tara? Siapakah model yang digunakan temanku ini untuk digunakan sebagai inspirasi sosok Lalita Vistara? Aih, sungguh, ceritanya biasa-biasa saja namun sosok Tara ini sangat luar biasa. Beberapa kawan yang merasa perlu untuk membaca novel itu menganggap Tara adalah sosok yang unik pula. Mereka mengira-ngira, kita-kira siapakah Tara itu di dunia nyata?
Pembaca yang budiman, temanku yang sok sastrawan ini telah mengaku bahwa Tara hanyalah imajinasi. Tidak ada benar-benar ada orang yang yang menjadi inspirasinya.
“Janganlah engkau bersusah-susah untuk mencari siapa Lalita Vistara. Dia tidaklah benar-benar ada.”
Kalau aku pikir-pikir lagi, memang tidak mungkin ada yang menyerupai sosok Tara di dunia ini. Jika pun ada, itu sangat sulit sekali dalam duniaku untuk bertemu dengan sosok itu. Sungguhlah liar imajinasi temanku ini sehingga dia bisa menciptakan karakter Tara. Meski tidak indah. Meski bukanlah maha karya. Meski tidak diterima oleh penerbit. Meski tidak menang dalam sayembara. Novel ini telah menambah kekayaan khasanah kesusasteraan tanah air sekarang ini.
Novel itu dicetak sebanyak dua puluh lima eksemplar dan laku pula ternyata. Banyak yang berminat untuk membelinya. Mulai dari sastrawan dan budayawan lokal yang merasa perlu untuk mengapresiasi sebuah karya anak muda ini, lalu beberapa kawan yang peduli dengan kesusasteraan, dan dosen-dosen di kampus dia kuliah dulu. Namun lebih banyak yang secara tidak bertanggung jawab mencuri novel itu dari kamar kostnya. Diantara mereka yang memiliki novel Kita Tertawa di tangannya, paling hanya satu dua orang saja yang pernah benar-benar membacanya.
Akhirnya Lalita Vistara hanyalah menjadi sebuah bahan lelucon kami di kedai-kedai kopi untuk menggambarkan sosok perempuan yang ideal menurut kami masing-masing.
*****
“Ini Sarapan pagiku. Mana sarapan pagimu?” Sebuah gambar sepiring lotek muncul di layar ponsel genggam sentuhku. Ini hanyalah satu dari sekian banyak pesan-pesan tidak penting yang dia kirimkan. Tapi dari sanalah kusadari, nuansa-nuansa yang tidak penting ini yang mungkin aku inginkan. Dia menuntunku untuk berbicara lebih banyak dan berfikir lebih dalam dari biasanya untuk merangkai kata-kata tidak penting yang tidak puitis.
Kawanku, sebenarnya aku tidak terlalu ingin bercerita roman picisan tidak berbobot dan tidak berkualitas ini kepadamu. Namun, sebelum kita masuk pada acara utamanya, aku sarankan engkau untuk memutar sebuah tembang klasik dari Sheila on 7 yang berjudul Yang Terlewatkan sebagai soundtrack dari kisah ini. Lagu itu keren juga sebenarnya. Semenjak aku berkenalan dengan dia, bisa sampai lima kali berturut-turut aku mendengarkan lagu itu sekali duduk. Tentunya apabila di kemudian baris, kisah ini menjadi bertele-tele, klise atau apalah, kau masih bisa memahaminya karena antara kisahku dengan lagu itu bisa dikatakan mirip. Apabila tidak ada informasi yang bisa engkau dapatkan dari kisah ini, maka paling tidak, kau telah tahu bahwa lagu Yang Terlewatkan ini enak untuk didengar.
Baiklah, kita mulai sini. “Kemana kau selama ini?”
“Malam yang bosan memaksaku untuk terus menatap ponsel pintarku. Tak ada aktivitas lain. Sejenak mencari humor di dunia maya yang fana mungkin bisa meredakan. Hingga malam itu, aku bertemu secara imajinasi dengannya. Seseorang dengan kerudung merah itu memiliki senyuman yang tak biasa bagiku.”
Maka kututurkan salam perkenalan. Tak kuharap balasan yang bagaimana pun. Setidaknya sudah tradisi bagi seorang laki-laki untuk terlebih dahulu menyapa. Dia membalas pesanku. Dengan dua kosta kata berbahasa Indonesia kemudian tiga titik berurut yang di akhiri titik dua dan huruf “do” kapital. Sebuah penyampaian emosi bahwa salamku dibalasnya dengan senyuman.
Instagram memang bukan bangku yang asik untuk bicara, iya seumpama etalase toko yang menawarkan keindahan, soal tawar menawar? Maka kuminta dua belas digit angka nomor teleponnya. Begitulah aku berkenalan. Semua berawal dari sana dan dua belas angka yang begitu penting nampaknya demi kelangsungan silaturahimku dengan dia.
Pembaca yang budiman, saat aku mengatakan kepadamu bahkan aku akan bercerita tentang kisahku dengan perempuan yang mirip dengan Tara, itu berarti aku tidak mau bercerita sampai hal-hal yang tidak penting. Itu sebenarnya bersifat pribadi. Tidak perlu pula sebenarnya aku gembar-gemborkan kepadamu. Tapi mau bagaimana lagi, sudah tertulis. Malas pula aku menghapusnya. Biarlah, aku hanya mau bercerita saja. Apabila tidak indah, tidak sastrawi ataupun apalah itu bukanlah masalah. Maka maafkanlah. Aku hanya menulis, sekedar untuk bercerita kepadamu.
Mengapa cerita ini menjadi seperti ini? Aku tidak tahu pula entah semuanya menjadi seperti ini. Biarlah, namanya juga sudah tertulis. Mau apa lagi? Apa yang terjadi maka terjadilah! Yang jelas aku bertemu dengan Lalita Vistara versiku sendiri. Memang tidak seratus persen mirip dengan Tara yang ada dalam novel yang dikarang oleh temanku. Tetapi seperti itulah perempuan yang paling ideal menurutku. Kisah ini bukankah sekedar puja-puji terhadap perempuan itu, namun hanya untuk memberitahu kalian bahwa aku telah menemukan perempuan yang paling ideal menurutku. Lalu mengapa pula aku harus menyarankanmu untuk mendengarkan “Yang Terlewatkan”? (*)
Posting Komentar untuk "Perempuan Seperti Tara | Cerpen Haldi Patra"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar