Iklan Atas

Blogger Jateng

Makelar | Cerpen Sri Lima Ratna Ndari


Tinggal di daerah yang ada orang pintarnya membawa keuntungan tersendiri buat Handoko. Orang-orang yang disebut pintar maksudnya punya kemampuan menafsir mimpi. Mampu mencari barang hilang, menemukan pencurinya, hingga membantu perjodohan seseorang bahkan melihat masa depan.

Semuanya bermula ketika seorang kawan sekolah bertanya tentang peruntungan nasib rumah tangganya. Selalu diwarnai percekcokan dengan mertua, tak pernah merestui bermenantukan dirinya.

“Mertuaku mengguna-gunai kami biar cerai. Kalau ada orang pintar di kampungmu, tolong antarkan aku padanya.”

“Untuk apa? Mengguna-gunai mertuamu biar luluh, begitu?”

“Mau nengok masa depan kami. Langgeng apa tidak.”

Ada-ada saja. Kalau mau langgeng rumah tangga ya akur-akur sama istrimu. Handoko mencoba menasehati kawannya yang lulusan Universitas jurusan Perbankan, tapi tak berhasil kerja di Bank. Malah jadi pengusaha catering karena menikahi putri pengusaha catering paling ternama di kota yang langganannya sampai ke mana-mana.

Karena terus memaksa, Handoko membawa mereka ke orang pintar yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dari garis ibunya. Orang pintar itu masih saudaranya, mereka tak perlu memberi macam-macam hadiah. Cukup uang seadanya dan beberapa benda yang menjadi syarat sebagai media untuk ‘membaca’ masa depan.

Karena hasil penerawan itu mengatakan yang baik-baik tentang masa depan rumah tangga mereka, Handoko diberi imbalan yang mulanya ditolaknya mentah-mentah.

“Apalah kau ini. Tak perlulah memberiku imbalan, kita ‘kan kawan….”

Karena uang itu disorokkan paksa ke dalam saku baju Handoko, dia tak punya kesempatan untuk memulangkannya karena mereka langsung beranjak pergi.

Sejak itu mengalirlah kabar dari mulut ke mulut kawan-kawan Handoko di kota. Kalau butuh jasa orang pintar hubungi saja dia. Seperti semut mengerubungi gula yang tumpah di atas meja, ada saja yang datang ke­pada Handoko untuk dipertemukan dengan orang pintar di daerahnya. Padahal selama ini ia dan keluarganya sama sekali tidak pernah menggunakan ‘kepintaran’ mereka untuk berbagai keperluan, seperti orang-orang di kota itu.

“Entahlah, kawan-kawanku ini. Kok bisa-bisanya percaya sama yang begitu.”

“Kalau tak suka jangan mau, Bng. Bilang saja tak tahu.”

Dia bukannya senang jadi makelar klenik begitu, kerjasama dalam kemusyrikan sama berdosanya dengan melakukannya. Apa mau dikata, orang-orang terus saja berdatangan meminta diantarkan ke rumah orang pintar. Handoko tak enak hati menolak.

Hari itu dia ditelepon salah satu kenalan kawannya. Meminta diantarkan ke rumah orang pintar yang bisa menemukan barang yang dicuri maling. Handoko membawa mereka ke orang pintar di seberang kampungnya. Seorang lelaki setengah abad yang masih tegap karena ilmu kanuragan yang dimiliki. Kabarnya dia tahan bacok, dia buktikan dengan menusuk perut dan tangannya dengan sebilah keris. Menjulurkan lidahnya ke keris juga, tak tersayat sama sekali. Bertambah percayalah tamu yang dibawa Handoko.

Lelaki empat puluhan itu, keluar karena tersedak asap kemenyan dan bau kembang tujuh rupa dari dupa yang menyala. Atas jasanya, Handoko diberi hadiah yang lagi hendak ditolak.

*****

Hampir setiap hari hp lelaki itu berdering. Panggilan dari orang-orang yang memerlukan jasanya dalam memilihkan orang pintar yang tepat di kampungnya atau di kampung sebelah atau sebelahnya lagi. Hadiah yang tadinya ditolak, jumlahnya lama kelamaan makin meningkat, kini diterimanya sepenuh hati.

Handoko tolong temukan dengan orang pintar di kampungmu, saya mau masuk pegawai negeri. Handoko tolong bawa saya kepada orang yang bisa membuat laris kedai saya. Handoko tolong…, saya mau punya istri lagi. Handoko…, tolong saya mau naik jabatan. Karena sedang musim pemilu penelepon Handoko bertambah lagi. Para calon legislatif yang akan maju di panggung pemilu. Para caleg ti­ak segan-segan memberi hadiah melebihi yang biasa diterima Handoko. Membuatnya semakin sibuk, abaikan sawah dan ladang yang selama ini menghidupi mereka. Istrinya resah.

“Apa tidak sebaiknya kau tinggalkan saja pekerjaanmu itu Bang.”

“Tak selamanya seperti ini, dek. Pemilu ‘kan cuma lima tahun sekali. Kita manfaatkan saja kesempatan.”

“Iya…, tapi bagaimana kalau dia tak menang. Pilihan rakyat mana bisa direkayasa.”

“Halah!”

Handoko mengibaskan tangan sambil berlalu. Lagi bersikap abai. Tak lagi mau peduli pada dosa yang dulu dikhawatirkannya. Istrinya khawatir suaminya ’sial’ jika penerawangan orang pintar tak bekerja pada seseorang. Kekahawatiran istrinya memang tidak terbukti, setidaknya sampai saat ini.

Orang-orang makin sering menggunakan jasa Handoko. Orang pintar di daerahnya belum pernah mengecewakan tamu yang datang meminta diterawang nasibnya. Buktinya sampai dua tiga kali mereka minta diterawang. Karena sudah tau jalan menuju rumah si orang pintar, mereka tak lagi menggunakan jasanya sebagai penunjuk jalan. Handoko mulai sepi job.

Dia mencoba tersenyum pada mobil-mobil yang melintas di depan rumahnya, hanya mengklakson tanda permisi masuk ke kampungnya. Kemudian mengklakson lagi sebagai ungkapan pamit mau pulang. Kebetulan rumahnya di pinggir jalan utama.

Kebanggan Handoko mulai goyah. Dia yang tadinya merasa berjasa telah menolong orang yang kesulitan dengan menjadi sema­cam makelar, merasa diabaikan. Dia mulai ketagihan hadiah-hadiah yang diberikan layaknya minum tuak. Ada yang hilang ketika tak lagi dimintai pertolongan untuk menghantarkan orang-orang kota itu kepada orang pintar yang dimaksud.

Hatinya mulai geram. Enak saja mereka melewatinya. Apa yang bisa dilakukannya, tak mungkin melarang mereka lewat di depan rumahnya, atau menyuruh orang pintar untuk tidak menerima tamu. Bukan hal yang burk menemui orang pintar, mengapa tidak?

Pagi-pagi sekali keesokan harinya dia menuju rumah orang pintar. Mula-mula yang di seberang kampungnya. Tidak ada kemenyan, pun bunga tujuh rupa. Sedang tidak ada tamu. Kebetulan, pikir Handoko.

Pak Amir, nama orang pintar itu. Dia langsung mempersilakan Handoko masuk ke ruangan tempat dia biasa menerima tamu. Meski sedikit heran, padahal beliau pasti tau kedatangannya bukan untuk minta diterawang. Dia bergegas menjelaskan, agar tidak muncul salah prasangka,

“Pulanglah!”

Kalimat pungkas pak Amir setelah beberapa pernyataan hasil penerawangan beliau yang dipungkiri Handoko setengah mati, karena beliau tanpa jeruk purut atau keris yang biasa dipertontonkan sambil menusuk-nusuk tubuh dan lidahnya yang kebal. Malah mengusirnya. Tak memberi waktu untuk menuntaskan isi hati, alasan kedatangannya ke tempat itu. Agar bekerja sama, jangan menerima tamu jika tak beserta dirinya.

Mengetahui misinya tidak berhasil, dia menuju kampung yang satu lagi. Menemui seorang perempuan sepuh berkulit kunyahan sirih, pinang, dan tembakau.

“Akan ada sesuatu yang kurang baik menantimu di hadapan.”

Handoko mati kata. Dua orang pintar mengatakan hal sama. Apa-apaan! Bukannya seharusnya mereka juga khawatir tentang diri mereka, jika ini tentang dirinya yang makelar. Tentang kerja sama, seandainya mereka setuju, ia bisa membelikan kalung emas yang pernah dimiliki istrinya. Yang telah dijual waktu mereka mendirikan rumah, beberapa tahun lalu. Handoko masygul. Mencoba melupakan nasihat mereka.

*****

Istri Handoko tengah memetik daun jeruk perut di belakang rumah. Niatnya memasak ayam kampung rica andaliman ketika langit yang tadinya cerah tiba-tiba mendung. Awan hitam bergelombang seakan hujan mau tumpah. Jemari perempuan itu segera terhenti di pucuk pohon jeruk perut berdaun lebat. Bukan karena awan gelap yang datang tiba-tiba, tapi iring-iringan mobil menuju rumahnya.

Asap knalpotnya sama hitam dengan awan. Perasaannya langsung tak nyaman. Sedapnya masakan ayam berandaliman yang tadi bersiborok dalam pikirannya, hilang seketika. Berganti cemas tak berhingga. Dia hampir hafal dengan ciri-ciri mobil-mobil caleg yang lewat depan rumahnya. Kecemasannya makin bertambah ketika awan hitam yang tadi bergulung berhenti di atap rumah.

Dia berlari ke dalam, mendapati Handoko yang tengah tertidur sepulang dari sawah tadi bersamanya.

“Bang, bangun Bang. Banyak orang datang ke rumah kita…,” bisik istrinya mengguncang tubuh suaminya.

Lelaki itu bangun, melongok ke muka rumah. Pemilu telah usai. Caleg yang kalah dan menang telah diumumkan melalui acara di televisi tadi malam. Mereka yang kini tegak di depan rumah, mengingatkannya akan ucapan orang pintar beberapa waktu lalu.

Handoko meraih bahu istrinya, melompati tembok rumah belakang setelah perempuan itu. Menerobos ladang jagung dan belukar berduri yang tumbuh usai padi dipanen. Mereka tengadah ke langit, sedikit lega awan hitam tak mengikuti. Tetap menggantung di atap rumah yang makin lama makin kecil dari atas bukit. Salahkan orang pintar! Aku hanya makelar! Lelaki itu meradang. (*)