Iklan Atas

Blogger Jateng

Replika Keluarga Bahagia | Cerpen Umi Salamah


Sebelum replika keluarga bahagia yang kubuat dengan tanganku sendiri terwujud, Bapak telah menghancurkannya. Pecah dan berantakan menjadi berkeping-keping. Mewakilkan hatiku yang hancur. Jauh lebih hancur tatkala Bapak memasang wajah datar. Apakah ini adalah tanda bahwa tak akan ada keluarga bahagia dalam hidupku?

Sebelum Bapak menghancurkan replika keluarga bahagia yang ada di kamarku, Bapak tak pernah lagi bicara denganku. Segalanya terjadi sejak pekerjaan yang sesungguhnya kugeluti terungkap. Bapak seakan telah memutuskan rantai hubungan darah antara bapak dan anak. Kusadari ini murni kesalahanku.

Masihkah ada kata maaf untukku? Bukankah orangtua selalu memaafkan kesalahan anaknya? Kenapa Bapak belum juga memaafkanku? Paling tidak, ada tanda-tanda yang menjurus ke sana. Itu yang kuharapkan selama ini. Tapi kenyataannya tak demikian. Harus berapa lama lagi aku menunggu? Apakah dua belas tahun belum cukup?

Alarm yang ada di jam tanganku berbunyi. Sudah waktunya bagi Bapak makan dan minum obat. Aku mencari istriku yang berada di dapur. Dia tengah menyiapkan makanan dan obat untuk Bapak. Dia sudah hafal dengan jadwal makan dan minum obat Bapak. Melebihiku.

Istriku menemui Bapak di ruang keluarga. Bapak tengah duduk di kursi goyangnya. Tanpa penolakan, Bapak mau disuapi oleh istriku. Hingga tandas. Dadaku bergemuruh lega. Bapak masih mau makan. Aku sangat ingin berada di posisi istriku. Menyuapi Bapak dengan diiringi obrolan ringan. Sungguh aku telah lupa kapan menyuapi Bapak. Mungkin puluhan tahun yang lalu. Ketika aku masih menjadi bocah ingusan.

Aku sangat bersyukur, Bapak tak memperlakukan istri dan putraku seperti diriku. Bapak tak mau bicara dan menatapku. Walaupun Bapak tahu aku satu atap dengannya, baginya aku sudah mati. Mungkin.

Bapak menelan obatnya. Tentu dengan bantuan istriku. Wajah Bapak meringis sedikit. Mungkin merasa tak nyaman dengan bau obat. Aku tahu Bapak tak suka meminum obat. Sebelum Bapak sakit separah ini, dia jarang minum obat. Bahkan ketika sakit, Bapak lebih memilih minum jamu yang diracik sendiri oleh Mamak.

Mamak, aku sudah lama tidak memanggilnya. Terakhir kali aku berjumpa dengannya dua belas tahun yang lalu. Sebelum aku masuk penjara. Barangkali ini alasan utama Bapak membenciku. Kematian Mamak disebabkan olehku. Akibat kelakuanku. Kekecewaan yang begitu besar di hati Mamak, mungkin yang menyebabkannya meninggal. Hanya ada raut kesedihan dalam baluran wajah Mamak yang terakhir kali kulihat.

“Nak, panggilkan Erwin. Bapak ingin mengajaknya mancing di sungai,” pinta Bapak setelah minum obat.

“Bapak harus istirahat. Mancingnya setelah tidur siang ya,” bujuk istriku.

“Tidak mau. Bapak ingin mancing sekarang,” tolak Bapak.

Helaan halus keluar dari mulut istriku. Bapak memang keras kepala. Sekali Bapak menginginkan sesuatu, dia tak akan berhenti sebelum melakukannya. Mungkin sifat keras kepala Bapak yang menjadi tembok raksasa antara aku dengan Bapak.

Istriku memanggil Erwin, putra kami yang berada di dalam kamar. Sedangkan aku pergi ke gudang untuk mengambil peralatan memancing. Ada dua joran pancing yang ada di gudang. Erwin tak pernah memancing sebelumnya. Dua joran pancing ini milikku dan Bapak.

Aku membawanya ke istriku yang ada di dapur. Istriku meminta Erwin untuk menemani kakeknya memancing. Erwin pun menyanggupinya. Erwin adalah anak yang penurut pada ibunya. Dia tak pernah membantah perkataan, permintaan, dan perintah ibunya. Ini yang kuajarkan pada Erwin.

Bapak dan Erwin berada di belakang rumah untuk mencari cacing sebagai umpan. Erwin yang sangat suka bermain dengan tanah, secara sukarela menggali tanah. Mengambil dan menyimpan cacing-cacing yang berada di balik tanah ke cup minum. Mereka kini duduk di atas batu besar. Dengan joran pancing di tangan masing-masing.

Kurasakan pipiku basah. Posisi Bapak dan Erwin mengingatkanku ketika masih kecil. Dulu saat aku seusia Erwin, Bapak sering mengajakku memancing. Aku tak suka memancing karena membosankan. Duduk di atas batu sambil memegang joran pancing. Benar-benar melatih kesabaran. Hasil tangkapan Bapak selalu mengalahkanku.

“Kau harus sabar, Nak. Dalam memancing, butuh kesabaran dan fokus. Ini juga berlaku dalam hidup kita. Jika kau ingin menjadi orang sukses, kau harus sabar dan fokus. Mencari rezeki itu mudah. Tapi yang sulit adalah mencari rezeki yang halal. Maka kau tak boleh melupakan petuah ini,” ucap Bapak kala itu.

Ajaibnya begitu aku memprektekkan petuah Bapak, ikan-ikan mulai kudapatkan. Sejak saat itu, aku harusnya berpegang teguh pada petuah Bapak. Tapi aku melupakannya.

“Mas, kamu menangis?” tanya istriku.

“Tidak. Aku hanya merindukan memancing bersama Bapak. Tidak, tidak. Itu tidak mungkin. Bapak bahkan masih belum mau memaafkanku,” jawabku kelu.

“Kamu tidak perlu cemas. Jauh di dalam lubuk hatinya, Bapak sudah memaafkanmu. Kamu hanya perlu bersabar sedikit,” ucap istriku menenangkan.

Aku tersenyum getir. Berharap hari itu cepat akan tiba. “Sayang, temani Bapak dan Erwin. Jangan sampai Bapak kelelahan.”

Istriku menyusul Bapak dan Erwin. Aku sendiri memilih untuk masuk ke dalam rumah. Jika aku terus memperhatikan mereka dari jauh, pertahanan diriku akan runtuh. Aku akan menghambur bersama mereka. Ikut bergabung memancing bersama. Pasti menyenangkan. Jika aku mengikuti isi hatiku, sama saja menghancurkan suasana yang terbangun ceria. Bapak pasti akan berlaku dingin padaku.

Aku masuk ke dalam kamar. Lalu membongkar album-album foto lama yang sudah mengusang. Di dalamnya berisi foto-foto lawas. Ketika aku masih kecil. Ketika Bapak dan Mamak masih menganggapku sebagai putra kesayangan mereka. Ketika keluarga bahagia masih terjaga.

Kuambil foto Bapak dan Mamak dari dalam album. Setelah itu, kuambil album foto terbaruku. Album yang berisi keluarga kecilku. Kuguntung foto Bapak dan Mamak. Kemudian menyatukannya dengan foto keluarga kecilku. Kutempel kembali di atas kertas karton putih seukuran pigura foto pernikahanku. Tidak lupa, di bawahnya kutulis “Keluarga Bahagia”.

Ini yang kuinginkan sejak dulu. Sebuah keluarga bahagia. Rumah yang di dalamnya berisi keceriaan dan gelak tawa. Tak ada kesedihan. Mulai dari sarapan sampai makan malam, meja makan akan berdentang dengan kegembiraan. Malam hari yang dipenuhi obrolan ringan yang dirindukan.

Sekarang aku hanya mampu mewujudkannya dalam bentuk replika. Kugantung replika keluarga bahagia ini di dinding kamar. Di sebelah foto pernikahanku. Hanya di kamar ini aku bisa menggantungnya. Selain karena setiap hari aku bisa melihatnya terus, aku tak mungkin menaruhnya di ruang tamu atau katakanlah di ruang yang dapat Bapak lihat. Jika Bapak mengetahui keberadaan replika keluarga bahagia ini, dia mungkin akan melemparkannya jauh dari rumah ini atau membantingnya. Bapak tidak mau satu foto denganku. 


Keluarga bahagia. Hanya itu yang kuinginkan sekarang atau sisa hidupku. Aku punya waktu terbatas untuk mewujudkannya. Masih kuingat dengan jelas, dokter yang memvonis usia Bapak. Bapak paling lama akan bertahan hidup tiga bulan. Disebabkan penyakit jantung yang sudah mencaai tahap ganas. Awalnya sulit kupercaya. Bapak yang punya pola makan dan gaya hidup sehat, ternyata memiliki penyakit jantung.

Ada faktor lain yang menyebabkan Bapak Aris mengidap penyakit jantung. Itu yang dikatakan dokter yang setiap malam terngiang-ngiang di kepala. Faktor lain itu, barangkali racun-racun yang kupasang di kepala Bapak. Seperti pada kematian Mamak.

Lembaran koran lama jatuh ketika aku membereskan album-album. Aku membacanya walaupun sudah sangat hafal isi dari potongan koran-koran lama itu. Beberapa koran yang berbeda, dengan berita yang sama. Isinya tentang seorang manajer artis yang menjadi mucikari.

Kenangan demi kenangan berpijar. Orang itu adalah aku. Manajer artis yang menjadi mucikari adalah aku. Delapan tahun aku menjajaki pekerjaan berpenghasilan tinggi yang nyatanya menjadi uang panas. Bapak dan Mamak hanya tahu aku seorang manajer artis. Mereka sangat bangga dengan pekerjaanku. Sebagai manajer, aku harus menjadi pribadi yang dewasa dan sabar. Agaknya petuah Bapak memang berlaku.

Ketika aku dijebak oleh salah satu artis yang kujajakan, jerat hukum melilitku. Aku tak bisa sembunyi atau lari. Sudah terlambat karena media begitu haus dengan berita ini. Sebab artis-artis yang kujajakan rata-rata adalah artis yang terkenal. Ini semacam makanan empuk bagi media. Lima tahun aku mendekam di penjara. Ketika aku masuk penjara dulu, aku sudah bertekad untuk tobat. Berhenti dari dunia kelam itu. Tapi aku terlambat. Mamak sudah meninggal. Bapak sendirian dengan racun-racun yang kutanam.


Sebelum replika keluarga bahagia ini hancur, Bapak yang telah selesai memancing melintas di depan kamarku yang tidak tertutup rapat. Aku yang berada di kamar mandi, terlambat untuk menyelamatkan replika itu. Hanya menyisakan wajah dingin Bapak. (*)