Iklan Atas

Blogger Jateng

Tuan Pengemis | Cerpen Diana Wulan Ningrum


“BERITA besar selalu datang kala mata lelah memandang keadaan”. Aku tidak pernah mengerti kalimat itu. Kakak perempuanku selalu mengatakannya ketika mendapat kabar luar biasa di kota kami, entah itu dari televisi, media massa, atau entah apa, aku tak tau namanya. Dia mulai mengatakan itu saat aku berumur delapan tahun. Dan sekarang umurku sudah dua belas tahun, tetap saja tak paham artinya.

Aku tinggal di kota besar yang megah dan elegan. Terkenal sampai ke penjuru kota lainnya. Hari ini kotaku dirundung kebahagiaan luar biasa. Di pusat kota, yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit, kios para pedagang besar dan fasilitas kota yang memadai, dipasang sebuah televisi yang lumayan besar, jaraknya agak jauh dari sebuah perusahaan. Aku tidak tau bagaimana mereka akan menjaga televisi jumbo itu dari cuaca yang tidak menentu.

Kakakku bilang, kota kami sangat sibuk, sehingga memungkinkan banyak orang yang sibuk sendiri, tidak mau berkomunikasi dengan orang sekitar. Sehingga kalau dipasang televisi di tengah kota dan disiarkan berita-berita penting, maka akan banyak yang melihat dan saling memberikan opini satu sama lain.

“Tapi sebenarnya aku tidak suka dengan ide pemerintah, Tom. Hal ini akan menyebabkan kemacetan kalau banyak orang yang berhenti tiba-tiba untuk melihat berita karena televisi itu akan menarik banyak orang,” ucap kakak saat mengajakku ke sebuah kafe dekat pemasangan televisi besar itu. Banyak sekali orang yang mengerjakannya.

Aku melihatnya sekilas. “Jadi, televisi itu hanya untuk menyebarkan berita? Tidak ada kartun atau film-film fantasi?”

“Mungkin tidak, tidak sama sekali. Lagi pula untuk apa?” Kakak meneguk secangkir kopi panasnya. Aku mengangguk. Kami diam beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Seperti biasa, kota ini mengundang berita besar saat mata lelah memandang keadaan.” Kakak tertawa. Dia mengatakan kalimat itu lagi. Lalu menghabiskan kopinya yang tersisa sedikit.

Kami pulang. Cukup dengan berjalan kaki karena blok rumah kami tidak terlalu jauh dari pusat kota. Seperti biasa pemandangan selalu terlihat menawan, lampu kelap-kelip, taman kota yang tak pernah sepi pengunjung. Bahkan ketika jam dua belas malam, kalian masih bisa mendengar para penyanyi muda melantunkan lirik-lirik lagu di taman itu.

Sehari setelah pemasangan televisi besar itu, tepat jam sepuluh siang, para petugas kota mengamankan para pedagang liar yang berkeliaran di sekitar televisi itu. Sekitar 25 orang yang ditangkap, kata penyiar berita. Para petugas sampai kewalahan, dan masih mencari-cari mereka yang berhasil kabur. Tapi, setelahnya tempat itu malah didatangi para pengemis. Kakakku malah tertawa mendengar berita itu. Aku menatapnya heran. “Dasar aneh,” batinku.

Kakakku menyeringai, “Pergilah ke rumah temantemanmu, Tom, kalau kau tak suka melihat aku tertawa!”

“Kalau sedang libur, mereka banyak menghabiskan waktu di kamar dan bermain game,” ujarku.

Kakakku tidak menjawab, masih sibuk melihat berita. Aku memutuskan pergi keluar. Hanya jalan-jalan, malas pergi ke kafe atau ke taman. Padahal hanya itu tempat favoritku. Aku masih melanjutkan perjalanan, tapi tidak tau ingin ke mana.

Aku melewati sederet pengemis di pinggir trotoar, sekitar 5 orang, dengan jarak yang agak berjauhan. Aku memberikan selembar uang 2.000-an pada salah satu pengemis. Dia menerimanya, tapi anehnya uang itu malah diberikan kepada pengemis lainnya yang wadah kecilnya masih terisi sedikit. Aku melotot, tergelak.

Seorang ibu-ibu menyeru, “Tidak perlulah, Nak, kau berikan uangmu pada pengemis tak tau mengenang budi itu! Seharusnya mereka gunakan sendiri. Sudah tau susah.”

“Kota jadi ruwet gara-gara kehadiran mereka.” Yang lain menyahut, seorang remaja.

“Sudah, biarkan saja para pengemis itu. Seharusnya kan mereka cari kerja.” Dan masih banyak cibiran yang ditunjukkan pada para pengemis, tapi mereka tetap diam, tak mau membela diri.

Aku duduk di sebelah pengemis yang memberikan uangnya tadi, sedikit berbisik, “Biarkan saja, Tuan. Tak perlu diambil hati.” Pengemis itu mengangguk pelan. Ibu-ibu yang menyahut tadi, melirikku heran.

“Iya. Tidak apa. Tapi kenapa kau memanggilku tuan?” tanya pengemis itu, nadanya sedikit keberatan. Aku rasa, mungkin ia tak suka.

“Aku sering memanggil begitu pada orang yang lebih tua, yang tidak aku kenal namanya.”

“Tuan biasanya digunakan untuk memanggil orang yang memiliki pangkat tinggi dan yang memang patut dihormati. Lihatlah, aku hanya orang jalanan.”

“Tidak masalah, Tuan. Orang tua yang membimbing anak muda. Jadi patut dihormati, bukan?”

Pengemis itu tertawa, menyerah dengan kata-kataku. Memangnya kenapa? Aku kan hanya mengatakan yang sebenarnya.

“Lihatlah televisi besar itu, Tuan. Sangat luar biasa.”

Pengemis itu hanya mengangguk. Aku menatap pengemis itu, pakaiannya kusut, jenggotnya panjang, dan tidak memakai alas kaki. Bagaimana mereka hidup dengan cara seperti ini? Di luar dingin, keras, dan tidak bersahabat. Aku pikir fisik dan batin mereka benar-benar diuji.

“Jangan menatapku seperti itu, Nak! Nanti tiba-tiba kau diberi uang oleh ibu-ibu tadi,” ujar pengemis itu tba-tiba.

Aku terkejut. “Eh, bukan begitu, Tuan.” Aku tersenyum kecil. Salah tingkah. ”Bukan begitu maksudku.”

Pengemis itu tersenyum lagi, lantas mengiyakan, “Sayang sekali, Nak, orang sepertimu hidup di zaman yang kurang bermoralitas seperti sekarang.”

Aku bingung.

“Tidak apa kalau kau tak mengerti. Tapi katakan padaku kenapa kau kemari? Apa di rumahmu tidak ada orang?” Pengemis itu bertanya padaku sembari membenarkan posisi topinya. Aku menceritakan apa yang terjadi tadi. Pengemis itu mendengar dengan seksama.

“Kau tidak takut padaku atau pengemis lain?” ketiga kalinya pengemis itu bertanya setelah ceritaku tentang hal tadi usai.

“Untuk apa? Menurutku mereka tidak jahat. Para pengemis di sini adalah para orang jujur yang tidak dihargai.”

Pengemis itu mengernyit.

“Beberapa waktu lalu, ibuku kehilangan dompet. Ketika sedang mencari, ada seorang pengemis mengembalikannya dan uangnya masih utuh. Ibuku memberikan uang padanya, tidak banyak, tapi pengemis itu malah tidak mau. Ibu memaksa dan akhirnya diterima. Kata ibu, mereka adalah orang jujur dan juga patut dihormati. Sampai sekarang aku percaya.”

Sekarang pengemis itu mengangguk. “Ibumu benar, Nak. Zaman sekarang, sebagian besar orang akan memandang pangkat, pakaian, gaya hidup. Lalu sikap dan karakter akan dipandang nomor seribu.”

“Tuan mungkin benar. Waktu ujian kemarin, temantemanku juga banyak yang menyontek.” Aku mengingat kejadian beberapa minggu lalu saat ujian di sekolah. Rasa sebal masih meronta-ronta di hatiku.

Kami bercakap-cakap banyak. Mengenai suasana kota ini, mulai perkembangannya hingga sekarang. Ada kesan yang sangat luar biasa dalam percakapan ini. Kupandang langit mulai gelap.

“Tapi, Tuan. Kenapa uang yang tuan miliki diberikan kepada orang lain, Tuan tidak butuh?”

“Bukan begitu. Mereka lebih membutuhkan.”

“Memangnya Tuan tidak lapar?”

Pengemis itu menggeleng. Aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi, takut menyinggung. Kami diam beberapa saat. Memandangi rintik hujan yang mulai turun membasahi sekujur tubuh. Membiarkan percik air menyejukkan hati dan pikiran yang sedang beristirahat dari segala kekerasan dunia yang kadang kala melukai hati. Aku beranjak, ini waktunya pulang.

“Kalau kau butuh teman, kau bisa datang kemari, Nak.”

Aku mengangguk. “Terima kasih Tuan mau mendengarkan aku bicara.”

“Terima kasih kembali.”

Aku melangkahkan kaki. Mempercepat langkah menuju rumah. Siang ini, aku tidak sendirian seperti tadi pagi. Rintik telah berubah menjadi hujan. Setidaknya aku bisa bersenang-sedang di bawah guyurannya, melepas penat, tanpa ada seorang pun yang tahu.

*****

Siang ini, televisi besar itu membawa berita kembali. Salah satunya tentang anak walikota yang ikut membantu ayahnya mengamankan para pengemis dan membawa mereka ke tempat yang selayaknya. Tapi, para reporter tidak bisa mengetahui secara jelas wajah anak walikota yang jarang terekspos, hanya samar-samar. Anak walikota itu langsung masuk ke mobil putihnya yang bagus dan mengilat. Seluruh warga benar-benar dibuat penasaran sekaligus bahagia. Tak akan ada lagi pengganggu yang merusak pemandangan jalan. Itu salah satu komentar warga yang diwawancarai. Kota harus bersih dari pengemis, komentar orang lain. Kalau masih ada pengemis, usir saja. Dan terus berdatangan komentar semacam itu, sehingga reporter tidak mewawancarai lebih banyak orang. Menurutku, itu pengaruh yang buruk.

Satu yang ada di pikiranku, bagaimana Tuan Pengemis itu sekarang? Apa dia juga diamankan?

Aku kembali menyusuri jalan kota, menuju bagian trotoar di mana pengemis itu menghabiskan sepanjang harinya. Dan ketika sampai, beberapa orang mengerubunginya. Wajah mereka terlihat tidak menyenangkan. Sedangkan pengemis itu masih duduk berdiam diri.

“Kenapa kau masih kemari? Bukankah walikota sudah memindahkanmu?” Salah seorang dari mereka berbicara, menatap sinis pengemis itu.

“Jangan memancing kawan-kawanmu datang kemari lagi! Pergilah ke tempat yang jauh. Kau hanya membuat rusak pemandangan.” Yang lain menyahut, si pengemis tetap diam.

Olok-olokan mereka semakin bising hingga mengundang banyak orang datang dan melihat perlakuan mereka. Satu persatu dari mereka mulai bertanya-tanya kenapa masih ada pengemis di kota. Para petugas datang meminta para warga pergi. Pengemis itu tetap diam, tak mau menanggapi apa pun.

“Kalian petugas seharusnya jangan membiarkan pengemis masih di kota.” Satu dari mereka mulai protes kembali. Yang lainnya ikut berbicara, tidak jelas. Terdengar seperti dengungan lebah.

“Hei, pengemis. Kau kan sudah diberikan tempat yang baik dari walikota. Apa kurang terima, ha?”

“Sudah, kalian semua pulang, biar kita yang mengatasi!” ujar salah satu petugas dengan keras. Orang-orang menurut, jalan mulai sepi, namun para petugas malah pergi. Aku coba mendekati pengemis yang masih berdiam diri.

“Selamat siang, Tuan.”

Pengemis itu terlonjak, lantas tersenyum. “Selamat pagi juga, Nak.”

“Tuan baik-baik saja?” Aku duduk di sebelahnya.

Pengemis itu mengangguk.

“Aku kira Tuan ikut bersama walikota dan anaknya ke tempat yang lebih aman. Di luar keras ternyata. Banyak orang jahat yang berpenampilan menarik.”

Pengemis itu tertawa. “Tidak. Aku masih ingin melihatlihat pusat kota.”

Aku mengangguk, menghela napas. “Aku tidak menyangka kalau orang-orang kota banyak yang seperti itu. Tidak mau menghormati orang lain. Waktu aku sekolah, aku jarang keluar rumah maupun jalanjalan sendiri seperti ini. Jadi jarang melihat sikap orang-orang luar dari tahun ke tahun.”

“Ya begitulah, Nak. Kau harus keluar dari zona nyamanmu itu. Dan melihat dunia lebih jelas.”

Aku menoleh ke arah pengemis itu, menangguk. Dia kembali melanjutkan kalimatnya, “Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. Nyaris semua berubah sebaliknya, tidak sesuai yang diharapkan. Entah benar atau tidak teknologi yang mengubah mereka atau mereka yang terlalu terobsesi dengan teknologi. Tak ada namanya saling menghormati. Mereka hanya sibuk dengan kepuasan batin. Meremehkan hak orang lain. Hanya bicara, tak mau berbuat. Selama dua hari ini, banyak hal yang terjadi.”

Orang-orang mulai berdatangan kembali. Mungkin ingin tau apa yang sedang kami bicarakan. Terdengarlah suara bising, terdengar mengejek. Mereka melakukannya, lagi.

“Kemarin, kau bilang tentang kejujuran para pengemis?”

“Iya. Ada apa dengan ucapanku, Tuan?”

“Aku minta maaf. Kalau aku tidak jujur padamu.”

Aku mengernyit, bingung untuk yang kesekian kalinya.

Pengemis itu mengeluarkan sesuatu. Aku pernah melihatnya. Dia memutar tombol bagian atas, seperti berusaha menyambungkan. Tunggu, bukankah itu….

“Kau bisa menjemputku sekarang.”

Pengemis itu berdiri, aku pun ikut berdiri. “Hanya selama dua hari, semuanya nampak begitu jelas di kota ini. Dan kau, Nak. Kota ini keras, jagalah dirimu.”

Sebuah mobil putih mengilat berhenti di hadapan kami. Ada 2 orang laki-laki bertubuh besar membukakan pintu. Aku sempat terkejut karena pengemis itu mencopot janggut dan jaket lusuh yang dia kenakan. Lalu dia masuk mobil putih itu, melambaikan tangan ke arahku. Salah satu dari dua laki-laki tadi menutupkan pintu, lalu ikut masuk dan mobil itu pun melaju. Aku menatap kepergian mereka, bersama orang-orang yang nampak malu, lalu menggigit jari mereka, nampak takut. Bingung satu sama lain. (*)