Iklan Atas

Blogger Jateng

Nostalgia Gula Merah | Cerpen Muhammad Abdul Hadi


Di hadapan kami, terhampar pasir putih yang indah, sebuah teluk, sebuah pantai yang permai, bagai memeluk daratan yang menjorok ini. Lalu kami berjalan menuruni bagian pantai yang landai, menapakkan kaki telanjang kami ke hamparan pasir tembaga yang terpapar senja. Kami berjalan pelan, terus sambil membiarkan kaki-kaki kami terbelai ombak yang meriak-riak letih, menatap pohon-pohon kelapa yang gemulai melambai-lambai, bagai berharap menunggu kekasih.

“Asni, kita ke sana, yuk!” ajakku kepada wanita di sampingku.

“Sekarang?”

Aku mengangguk sambil menggamit tangannya. Lalu kami berjalan menaiki undakan, mengikuti anak-anak tangga yang tersusun dari jejalan batu yang tak beraturan. Setelah beberapa jenak, berhenti menatap lelaki tua yang memakai ikat kepala sambil menjajakan manisan dan gula merah. Aku pun menghampiri. Asni mengikuti, mengiringiku dari belakang.

Setelah bercakap beberapa patah dengan lelaki tua itu, kami membeli dua buah gula merah, kemudian duduk di bawah gubuk sambil menatap hamparan biru yang terbentang hingga ujung cakrawala. Sambil mencicipi gula itu, aku memejam, merasakan aroma khas dari sari pohon nira. Indra penciumanku menjelma menjadi demikian peka, aku merasakan pikiranku mengembara ke suatu tempat.

“Seperti di kampung halaman…” Aku menggumam sendiri.

“Kau merindukan kampung halaman?” tanya Asni.

“Ya, aku merindukan tanah yang telah memelihara dan menemani masa kanak-kanakku. Di sana juga ada pasir putih, lambaian daun kelapa, dan gula merah, tapi tak ada laut seperti ini.”

*****

Kampung halamanku, di Kalimantan dulu, pada suatu kurun waktu, penuh dengan ruap aroma gula merah. Tanahnya kaya, memendam banyak barang tambang dan minyak mentah. Di atasnya pohon-pohon rindang menyimpan banyak rawa di belakang hutan. Permukiman penduduk membujur mengikuti kelokan sungai. Dari sana, akan tampak jajaran rumah panggung yang memanjang di sepanjang aliran hingga pangkal muara.

Setiap pagi merayap, seiring kokok ayam, dan pekik sorak pencari rotan, mereka—para penduduk—berangkat menuju ladang. Lelaki pada masa itu pandai mengolah rawa yang penuh perdu menjadi jajaran sawah, membelah semak yang menyesaki padang, kemudian menyulapnya menjadi ladang-ladang subur, siap untuk dicocok tanam. Namun, sebelum berangkat ke sana, para pemuda terlebih dahulu meletakkan tabung bambu di bahu mereka, menerobos pagi yang masih berselimut embun, seperti tentara yang lelah terjaga sambil meletakkan selongsong senjata di pundak mereka.

Di pinggir-pinggir hutan, telah tampak batang-batang pohon nira yang menunggu untuk ditampung air sarinya. Dengan buaian Subuh yang masih remang, mereka menderes tangkai nira dan mengganti tabung bambu yang penuh terisi air sari dengan bambu baru yang akan kembali terisi dan akan terus terisi, lalu diambil di sore harinya. Kemudian mereka pulang membawa banyak sari nira ke gubuk-gubuk tempat pengolah manisan dan memasaknya hingga utuh menjadi gula merah. Di bawah cipratan cahaya lentera, diserakkanlah gula-gula telanjang tersebut di ruang keluarga, lalu dipilah mana yang layak dan tidak serta dibungkus untuk dijual ke esokan harinya.

Keadaan akan tetap stabil di sepanjang musim. Apabila musim panen padi telah berlalu dan kemarau akan menjelang, rotan-rotan meranggas, pohon-pohon pisang tak lagi berbuah, sayur-mayur tak kunjung subur, atau banjir tahunan menggenang (karena kampung kami bertempat di dataran rendah), pohon-pohon nira tetap saja tumbuh dan bertangkai. Pohon nira adalah pohon yang sabar dan selalu menjadi pokok harapan. Hampir setiap rumah di kampung kami adalah pembuat atau pengolah gula merah.

Maka, tak heran jika kami mendengar dari mulut ayah-ibu kami bahwa tak ada satu pun orang di kampung yang merasa kekurangan. Hidup mereka nyaman dan tenang. Beberapa dari kami memang tetap miskin, tapi kami tak pernah merasa terhina. Rasa damai dan sejahtera seolah selalu ada meski kami tak pernah benar-benar menjadi kaya.

*****

Sejak bertahun merantau, aku telah terperangkap dalam hiruk-pikuk metropolitan. Entah berapa lama sudah aku tak lagi sempat mengingat tanah kelahiran. Arus rutinitas memaksaku menjalani hidup yang monoton. Dan nyaris di setiap akhir pekan, aku menghibur diri melepas kejenuhan. Itulah, mungkin akhir pekan lalu yang memaksaku untuk kembali mengingat kampung kelahiran. Sejak bertemu kakek tua penjaja gula merah itu, aku seperti melihat sorot mata yang teduh seperti sorot mata orang-orang kampungku.

Sorot mata yang sejak kecil kerap kujumpai. Sorot mata penuh rasa tamah ketika memandang kami bermain-main di tepi ladang. Bagi anak nakal seusiaku dulu, sorot mata itu amat menenangkan. Tak mem beri kami rasa khawatir mendapat amarah karena tingkah menjengkelkan yang kami lakukan. Di sanalah, ketika mata-mata itu lengah, kami kabur menerobos bekas ladang yang penuh belukar. Menjelajahi perdu dan terpesona pada beraneka-ragam pohon tak bernama yang tinggi menjulang. Di hampar belukar yang penuh perdu itulah pohon-pohon nira tumbuh subur, orang-orang kampungku leluasa memilih pohon mana yang akan mereka pilih ditampung air sarinya untuk mengolah gula merah.

Sejak aku teringat kampung halaman, akhir-akhir ini aku selalu menyempatkan diri membeli beberapa buah gula merah. Memakannya di sela-sela kesibukan kerja membuatku kembali bergairah. Aku ternyata masih suka mencampurkan sepihan-serpihan gula merah pada secangkir teh yang kuminum saban pagi. Dan aku sadar….

Pola hidupku berubah hanya karena beberapa potong gula merah.

Entahlah, aku seolah terikat dengan kenangan itu. Kenangan masa kanak yang terkubur bersama manisnya gula dan kini kugali kembali. Sewaktu sari nira masih terjerang di tungku besar, sewaktu buih-buih lengketnya masih mendidih-didih, sewaktu itulah kami kerap memasukkan beberapa butir pisang ataupun ubi kayu yang telah dikupas kulitnya ke dalam jerangan yang masih meluap-luap. Dan sewaktu ayah kami mengangkat jerangan dan mengaduk-aduk adonan yang mulai kental, kami telah dihidangkan dengan pisang atau ubi matang yang lezat tak terkira. Kenangan-kenangan manis itu mengendap di kepalaku. Apalagi, ketika kami berlarian di sela-sela gula merah yang panas dan kental ketika sedang di keringkan di pencetakan, kami kerap mengerik-ngerik kerak gula yang masih tersisa atau tumpah ketika adonan dituangkan. Kami selalu menghirup aroma gula yang khas, sepanjang malam, ketika anggota keluarga berkumpul membungkus gula yang bagus untuk dijual. Aroma itulah yang lengket di tubuh kami, menempel sepanjang hari, sampai kami lelap di pembaringan.

Namun, setelah banyak pabrik yang berdiri membuang limbah sekenanya, banyak pohon nira menjadi rusak dan tak dapat digunakan. Pokoknya tak mati, tapi juga tak layak hidup, sarinya menjadi masam, dan tak lagi bisa diolah menjadi gula.

Setelah banyak protes yang diutarakan tak lagi berguna, orang tuaku membawaku ke kota. Kami menjual tanah untuk kemudian pindah. Banyak pemuda di kampungku yang sakit hati, memilih pergi mengadu nasib, merantau, dan meninggalkan desa. Kami kehilangan masa lalu dan terpaksa merelakannya.

“Kalau kau merasakan di gula merah itu, ada ruap kampung halamanmu, ada baiknya kau mengunjunginya sewaktu-waktu. Bukankah sudah lama sekali kau meninggalkan tanah kelahiranmu itu?” ujar Asni menimpali.

“Ya, aku akan ke sana. Kalau perlu aku juga akan mengajakmu serta.”

“Sebenarnya aku juga penasaran dan ingin melihat kampung halaman yang sering kau ceritakan itu.”

*****

Sudah berapa lamakah aku meninggalkan kampung halaman? Aku sudah pangling. Namun, pertama kali aku mengin jak kan kaki kembali, tampak di hadapanku sebuah kampung yang asing. Beberapa yang kukenali dulu adalah semak dan belukar yang hening kini telah disulap menjadi metropolis yang serba gemerlap, benderang, dan bising. Tak ada lagi lahan kosong seperti dulu. Di tengah deru kendaraan, lengkingan para pencari rotan serta siulan-siulan para bocah terngiang kembali di benakku.

Aku bersama Asni terus melangkah menyusuri jalan sempit yang tak cukup lebar menampung banyak kendaraan. Tampak di ujung sana diadakan proyek perluasan. Suara kendaraan yang berseliweran di sebelah kiriku juga terdengar sangat nyaring. Namun, semua itu tak aku pedulikan. Kini, tak ada lagi hutan. Tak ada lagi rawa. Tak ada lagi pohon-pohon yang dulu kerap kami panjati. Tak ada lagi setiap rumah yang mengolah gula merah. Kini, seakan aku mengais-ngais sisa kenangan yang dulu pernah bersemayam pada masa kanakku. Semua seperti pupus dan berlalu.

Di tengah pengerjaan proyek, tempat semen diaduk-aduk, tampaklah lelaki jangkung yang menarik perhatianku.

“Kau Kalan?” teriakku, setelah yakin bahwa mataku tak salah melihat.

Lelaki itu menatap ke arahku beberapa jenak lamanya. Kami saling memandang. Saling menimbang kebenaran penglihatan. Lalu ia berlari mendekat ke arahku. Lupa dengan pekerjaannya. Beberapa buruh sempat mengawasi melanjutkan pekerjaan mereka yang tampaknya serba melelahkan.

“Kapan kau datangkah? Tak bawa kabar, mentang-mentang jadi orang kota, lupa kau pada kampung sendiri,” cecarnya beruntun, tanpa memberiku jeda untuk menanggapi.

Kuperkenalkan Kalan kepada Asni. Dia inilah salah satu dari kawanku yang bersikeras untuk bertahan di kampung. Dari pertemuanku yang singkat itu, banyak tergali lagi kenangan dan masa lalu. Meski sepintas, aku dapat melihat gurat kesengsaraan di wajah kawanku itu. Begitu berbeda dengan wajah-wajah yang ada di balik rumah-rumah mewah yang mulai berdiri di pemukiman belakang mereka.

“Begitulah keadaan kampung kita,” ujar Kalan serba salah. Aku tak tahu harus menanggapi apa.

Ia mengajakku dan Asni menuju gubuk tempat pekerja beristirahat. Di sela-sela langkahnya, sempat ia bercerita tentang banyak tanah warga yang diserobot dan diganti rugi untuk dibuat proyek. Dalam pengertian, tanah itu memang diganti, tapi tetap saja rugi. Itu pun masih dikategorikan untung sebab sebagian tanah tempat pohon-pohon nira tumbuh mungkin sudah punah, disulap begitu saja menjadi lahan pabrik dan proyek permukiman.

Sebenarnya ingin sekali aku menumpahkan ribuan pertanyaan yang memberati kepala kepada Kalan, tetapi tak bisa. Semuanya seperti menggumpal di tenggorokanku, seakan disumpal oleh waktu yang memisahkan kami. Ingin sekali aku menumpahkan ribuan kemarahan yang menyesaki dada, tetapi kepada siapa? Seiring cakrawala meremang, senja yang terpampang tampak begitu muram, kelam, dan tak berpengharapan. (*)