Iklan Atas

Blogger Jateng

Benalu | Cerpen Mashdar Zainal


PADA suatu pagi di bulan Maret, setahun lalu, seseorang mengetuk pintu rumah kami. Saya menaruh buku yang tengah saya baca di meja dan mengintip dari balik gorden. Seorang lelaki berkopiah dengan tas ransel, berdiri di depan pintu. Perawakannya tegap, tapi tampangnya naif. Semula saya mengira, mungkin dia mau minta sumbangan atau menawarkan celana-celana kolor dengan harga murah. Namun, dugaan saya keliru. Ketika saya membuka pintu dan bertanya ada perlu apa, dia tersenyum tipis, lalu menjelaskan bahwa dia hanya ingin bertemu saya, bersilaturahim. Saya mencoba mengingat-ingat, apakah dia seseorang yang mungkin pernah saya kenal atau sebaliknya, tapi ingatan saya nihil. Wajah itu rasanya baru pertama ini saya jumpai.

Semula saya merasa dongkol, bagaimana mungkin seorang asing, yang bukan teman, bukan pula kerabat, tiba-tiba mengetuk pintu dan mengatakan ingin bersilaturahim. Pada Minggu, pukul 07.00. Pada hari seharusnya saya bisa berbaring santai, membaca buku, atau menyantap gorengan sambil menonton TV. Namun, karena silaturahim adalah perkara baik yang dianjurkan agama, saya tidak berani menolak. Saya juga mengingatkan diri saya untuk tidak berburuk sangka pada orang. Sebab, nanti, setelah dia menceritakan sesuatu, mungkin saya akan bisa memahami mengapa dia melakukan itu.

Dia meleterkan, namanya Supri, berasal dari dusun Pandansari, sebuah dusun kecil di pedalaman Madiun. Sudah sebulan ini dia keluyuran ke rumah orang-orang yang tidak dikenalnya, di sekitaran Surabaya Timur. Dia bilang, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dalam kurun setahun ini, setiap hari dia harus berkenalan dengan paling tidak satu orang baru. Rumah kami adalah rumah ketujuh belas yang sudah dia datangi dalam sebulan ini.

Dia memulai pengembaraannya itu dari daerah sini, dan rencananya akan berlanjut ke barat dan terus ke barat, dari bulan ke bulan. Mendadak, perjalanan ke barat yang dia singgung itu mengingatkan saya pada Sun Wu Kong si pencari kitab suci. Ada-ada saja, pikir saya.

Dia bercerita panjang bahwa pertualangannya untuk bertemu dengan orang-orang baru itu adalah pengalaman paling mendebarkan sepanjang hidupnya. Dia menyarankan saya untuk mencobanya. Terima kasih, saya bilang. Watak orang macam-macam. Ada yang baru ketemu langsung akrab. Ada yang baru lihat wajah langsung berburuk sangka. Bertamu juga begitu, ada yang menerimanya dengan baik, membikinkan teh dan mengajaknya makan. Ada juga yang tak mau membuka pintu, padahal orangnya ada di dalam dan sudah mengintip dari balik gorden. Bahkan ada juga yang menggusah sebelum mempersilakannya masuk. Supri bilang, dia sudah menyiapkan mental banyak-banyak untuk menghadapi aneka watak orang-orang baru. Dan orang yang mempersilakannya masuk, lalu membuatkan teh untuknya, biasanya adalah orang-orang terbaik yang pernah dia temui.

Setelah Supri bercerita begitu, saya langsung minta tolong istri saya untuk membikinkan teh hangat. Ada tamu, kata saya. Dan rupanya, istri saya keluar tidak cuma dengan teh hangat, tapi juga stoples isi kerupuk. Saya mempersilakan Supri. Setelah menyeruput tehnya sekali, tanpa ragu-ragu ia mengutarakan keinginannya untuk menginap di rumah kami. Satu malam saja, pintanya. Tentu saja saya kaget. Bagaimana mungkin orang yang belum genap 1 jam mengenalkan namanya padamu, bilang mau menginap di rumahmu. Bagaimana kalau dia berniat jahat, mau menggondol harta bendamu, mau merusak rumah tanggamu, atau malah mau membunuh keluargamu. Siapa yang berani menjamin kalau orang bernama Supri ini bukan psikopat? Dan siapa pula yang tahu kalau sebenarnya namanya bukan Supri, dan seluruh omongannya itu bualan belaka?

Namun, anehnya, yang keluar dari mulut saya adalah, “Boleh, silakan, kami ada satu kamar kosong, kamar tamu.”

Tentu saja Supri tersenyum bungah. Dia memuja-muji saya bahwa negara ini mungkin akan sangat makmur dan damai kalau semua penduduknya seperti saya. Berbaik hati dan tidak mengedepankan buruk sangka. Supri tidak tahu, beberapa detik setelah mempersilakannya menginap, saya dihinggapi sesal dan cemas yang lumayan tajam dan mengganggu. Rasanya seperti ditempeli benalu. Seharusnya saya bilang ke istri saya dulu, pikir saya.

Pagi itu kami mengobrol sampai matahari meninggi, sampai saya lupa kalau saya sudah janji mau mengantarkan istri pergi ke pasar. Saya lantas mengantar Supri ke kamar tamu yang kebetulan letaknya tepat di sebelah ruangan tempat kami mengobrol. Di belakang, istri saya memasang muka masam, “Siapa, sih?”

“Teman lama,” kata saya berbohong.

“Sudah balik?” sungut istri saya.

“Lagi istirahat di kamar tamu,” jawab saya sedatar mungkin.

Istri saya mencureng, “Menginap?”

“Halah, cuma semalam.”

Selanjutnya istri saya tidak menampakkan wajah keberatan, tapi juga tidak tampak senang. Dia menagih janji saya untuk mengantarnya pergi ke pasar. Saya jadi semakin waswas harus meninggalkan rumah dan seisinya pada seseorang yang saya kenal belum genap 3 jam. Saya berusaha tidak menampilkan tampang cemas itu pada istri saya.

Kepada Supri saya malah menampakkan kesan karib, “Pri, saya tinggal ke pasar dulu, antar Nyonya!” seru saya dari luar kamar. Supri melongok dari balik pintu dengan tampang naifnya. Hati-hati, katanya, lalu dia tersenyum pada istri saya yang membebek di belakang saya. Istri saya membalas senyum.

Di atas motor, istri saya mulai bertanya-tanya lagi, “Saya kok baru tahu kamu punya teman yang namanya Supri. Wajahnya juga enggak pernah lihat.”

“Teman di pondok,” jawab saya, “sekarang dia jadi guru SD, kebetulan ada pelatihan kurikulum di Surabaya, saya suruh dia mampir, nginap barang sehari,” saya mengarang lagi.

“Orang mana memangnya?”

“Madiun.”

Obrolan kami tentang Supri pun tidak berlanjut. Selama istri saya belanja, saya cuma duduk mencakung di atas motor, diliputi berbagai kekhawatiran dan bayangan buruk. Berkelebat di kepala saya, sesampai kami di rumah, pintu rumah kami sudah ngablak. Baju-baju kami dalam lemari sudah amburadul. Lantas, barang-barang berharga milik kami, termasuk perhiasan istri saya yang disimpan dalam laci lemari, semua sudah raib.

Semakin lama istri saya berbelanja, kecemasan itu semakin memuncak. Hingga ketika istri saya muncul dari balik kerumunan orang, saya mengempas napas lega dan segera menyalakan motor, lalu ngebut balik ke rumah. “Pelan-pelan saja, jangan ngebut,” suara istri saya hampir tidak terdengar.

Sepanjang jalan, terus-menerus saya membayangkan pintu rumah yang terbuka lebar, perkakas-perkakas yang berantakan, serta barang-barang yang lenyap. Namun, rupanya itu semua cuma kekhawatiran saya. Begitu sampai di rumah, semuanya masih aman terkendali. Malah kami mendapati Supri sedang berdiri di dapur, sedang mencuci piring.

“Kamu ngapain?” tanya saya.

“Enggak ngapa-ngapain,” jawabnya walau jelas-jelas di hadapannya piring penuh busa bertumpuk menunggu dibilas.

Istri saya mengerutkan dahi. “Tidak usah repot-repot,” ujarnya. Namun, kepada saya, istri saya berbisik, “Temanmu itu lancang.”

Saya terdiam, dan berpikir bahwa kata istri saya ada benarnya. Menyentuh perkakas orang tanpa izin adalah lancang meski maksudnya baik. Kami terpaksa bersibuk-sibuk membereskan belanjaan di dapur sambil menungguinya selesai mencuci.

Setelah tumpukan piring menjadi bersih, saya mengajak Supri kembali duduk-duduk di ruang tamu. Jika tidak, saya takut dia akan mulai membereskan tumpukan pakaian kotor di kamar mandi. Saya tak mau pakaian-pakaian dalam kami disentuh orang.

Di ruang tamu ada rak buku yang agak berdebu. Meski tidak sampai dapat disebut perpustakaan, koleksinya diam-diam cukup saya banggakan. Saya sarankan Supri untuk menyibukkan diri dengan buku-buku itu ketimbang mengurus pekerjaan rumah. Tamu tak boleh repot-repot, ucap saya berbasa-basi.

Supri langsung sibuk dengan buku-buku di ruang tamu. Sementara itu, saya kembali ke dapur membantu istri saya memasak. Siang hari kami mengajaknya makan dan dia mulai menampakkan kesan sebagai seorang tamu yang manis. Dia menawarkan bantuan untuk mencuci piring lagi, tapi istri saya menolak. Ada baiknya, kau tidur siang dulu, nanti sore boleh kalau mau bantu-bantu siram kembang di pekarangan, kata saya. Dengan raut bahagia Supri memohon diri masuk kamar. Pukul empat sore dia muncul dari balik pintu. Pergi ke kamar mandi, lalu keluar ke pekarangan. Menyiram kembang sampai jelang petang.

Ketika langit beranjak gelap, saya berdoa supaya malam berlalu dengan cepat. Malam itu, sambil menonton televisi, istri saya menyuguhkan teh hangat sekali lagi, lalu Supri mulai berceloteh. Katanya, tak lama lagi negara ini akan membusuk, lalu musnah.

“Kenapa bisa begitu,” tanya saya.

“Karena segala sesuatu yang ada di dalam negara ini juga mulai membusuk, terutama politiknya,” sahut Supri. “Politik yang busuk itu seperti racun yang masuk ke aliran darah. Budaya dimasuki, sosial dimasuki, agama dimasuki, semua dimasuki. Dan karena sudah busuk sejak awal, apa yang dimasuki pun ketularan busuk,” sambungnya.

Saya mengerutkan dahi, menduga-duga bahwa orang bernama Supri ini, kalau tidak bodoh, ia sok pintar. Bahasa tuturnya bertabur metafora, tapi saya kesulitan memahami arahnya. Atau, jangan-jangan saya yang bodoh, pikir saya lagi.

Supri mengobrolkan apa saja yang bisa dan ingin dia obrolkan, sampai lama-lama saya bosan mendengarnya. Ketika saya menguap, pura-pura tentu, Supri menyarankan saya untuk istirahat. Dengan senang hati saya mohon diri. Tak berselang lama, Supri pun masuk ke kamarnya. Sampai pagi tiba.

Setelah mandi, tepat pukul tujuh, Supri berpamitan. Dia bilang sangat berterima kasih, jarang-jarang orang baru kenal mau berbaik hati mengizinkan menginap. Suatu saat mungkin dia akan mampir lagi ke rumah kami—yang sudah jadi saudara barunya. Dengan senang hati, kata saya tidak tulus. Supri pun pergi dan serta-merta saya merasa begitu lega. Seperti terbebas dari parasit. Istri saya menjawil dan bertanya, “Apa maksudnya orang baru kenal?”

“Baru kenal sama kamu maksudnya,” jawab saya.

Untuk memastikan Supri pergi tanpa membawa barang-barang kami, saya pun memeriksa kamar tamu, juga barang-barang di dalam lemari di kamar saya. Semuanya aman, semua masih pada tempatnya. Tebersit sesal karena sudah menaruh syak padanya.

Beberapa hari kemudian, saya sedang bersantai di ruang tamu. Teringat pada buku yang belum sempat saya selesaikan, saya melirik ke meja. Tidak ada. Saya sisir seisi rak, tetap tidak ketemu. Begitu juga beberapa buku lain, termasuk buku-buku langka yang saya beli dengan harga lumayan tinggi.

Saya mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat. Mungkin buku-buku itu dipinjam teman saya? Ah, tapi sudah lama mereka tidak bertandang. Saya bertanya kepada istri saya, ia pun menggeleng.

“Mungkin dipinjam temanmu,” katanya.

“Teman mana? Kan sudah lama tidak ada yang datang,” balas saya.

“Yang kemarin itu menginap?”

Saya melirik lagi ke rak buku. Seketika wajah naif Supri memenuhi kepala saya. Menertawakan saya.(*)

Posting Komentar untuk "Benalu | Cerpen Mashdar Zainal"