TIBA-TIBA, mobil mewah yang ditumpangi Mak Irah bersama menantunya berhenti tepat di depan gerbang Plaza. Perempuan cantik dengan riasan wajah mencolok itu melirik ke bangku belakang, tempat Mak Irah duduk dengan sepasang mata mengantuk.
“Cepat turun!” sergahnya terdengar menyentak di kuping Mak Irah.
“Apa?” Mak Irah menatap sepasang mata cantik itu tak paham.
Entah sejak kapan mata cantik itu telah berubah bak mata hewan buas yang siap menerkam mangsa.
“Turun, kataku turun! Bukannya sejak kemarin situ ngomong terus kepingin ke Plaza ini? Tempat kenangan situ dengan bapaknya si Ardi?”
“Dia menyebutku situ,” gumam hati Mak Irah.
Seketika, ada yang meleleh jauh di lubuk hatinya yang terdalam. “Dia pun menyebut anakku, suaminya itu; si Ardi?”
“Kaget dengan omonganku? Ya, sejak kemarin, kita tak ada hubungan apa pun! Si Ardi anak kebanggaan situ memilih pelakor berjilbab daripada aku dan Dean.”
“Apa maksudmu, Neng?” Mak Irah mencoba mencerna kata demi kata Donahita.
Perempuan cantik yang suatu hari diperkenalkan bungsunya sebagai pewaris Arghahita Grup.
“Ah, sudahlah, jangan berlagak kaget. Pasti situ lega dan bahagia sekarang. Cita-cita situ punya menantu penghafal Alquran akhirnya terkabul. Cepat turun atau mau aku seret paksa lagi, hah?” Ceracaunya itu tak tertahankan lagi.
Kata demi kata bak serangan mitraliur Israel ke kawasan Palestina. Menghancurkan.
“Oh, eh, tapi di mana Ardi sekarang?”
Donahita tak menyahut, kasar dibukanya pintu kendaraan. Dengan wajah penuh amarah ia jalan memutari kendaraan, menuju pintu sebelah Mak Irah.
Sejak diseret paksa dari kamarnya di basemen, perempuan 60-an itu memang setengah mengantuk. Beberapa malam terakhir ia tak bisa tidur lelap, terganggu oleh musik ingar-bingar dari studio cucunya yang letaknya di sebelah kamarnya. Dean dan kelompok band milenial, konon, sedang fokus latihan untuk mengikuti konser musik se-Nusantara.
“Bikin urusan saja, hiiih, turuuun!” sergah Donahita begitu pintu mobil dibuka kasar sekali, hingga tubuh tua itu nyaris terjatuh.
Mak Irah limbung dan berusaha meminta belas kasihannya.
“Ini sudah sore, Neng,” gagap Mak Irah. “Ke mana Mak harus pergi? Di mana rumah Ardi, Neng Dona…?”
“Diam!” bentaknya sengit sekali. “Jangan pernah menyebut namaku lagi. Awas, ya!”
“Tapi, apa yang harus Mak lakukan di sini, Neng?” Mak Irah mulai menyadari situasi yang harus dihadapinya.
Ia dibuang oleh Donahita karena Ardi telah meninggalkan keluarganya, termasuk emaknya sendiri.
Sesungguhnya, telah sering juga dirinya diperlakukan tak sopan oleh menantunya. Namun, ia tak pernah mengira jika menantunya bisa setega ini.
Donahita meninggalkan perempuan tua itu tanpa berkata-kata lagi. Ia menghindari perhatian satpam di pos, jaraknya beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Bergegas ia kembali ke mobilnya dan segera melajukannya, menjauhi Plaza.
Mak Irah terpaku dengan tubuh gemetar saat matanya tak melihat lagi mobil mewah itu. Beberapa kejap dikitarkannya pandangan ke sekelilingnya. Pintu gerbang, pos satpam, dan Plaza tertua di kotanya.
Di Plaza inilah suatu masa ia dan belahan hatinya sering janjian. Pulang kerja, Abah Eka akan memintanya datang ke sini. Mengajaknya nonton, makan, belanja, atau sekadar cuci mata. Ketika anak-anak hadir pun mereka akan membawa serta berlima menikmati kebersamaan di bawah dingin hawa AC.
Rina dan Rani mengikuti suami masing-masing ke Jerman dan Belanda. Tak lama kemudian, Abah Eka meninggal karena serangan jantung.
Ardi si bungsu memintanya pindah ke rumahnya. Sementara, rumah peninggalan suaminya dijual. Semua hasil penjualan diserahkan kepada Ardi, diikhlaskan oleh Rina dan Rani.
“Kami titip Emak, Dik. Kalau kamu tak mau merawat Emak, segera kabari kami,” begitu pesan si kembar kepada Ardi.
Rasanya, waktu begitu cepat berlalu. Tiga bulan sudah sejak kepergian Abah Eka. Ia menangkap gelagat tak nyaman di rumah mewah menantunya. Donahita mulai memperlihatkan karakternya yang asli.
“Sekarang tidurnya pindah ke sini, paham! Kamar di atas itu kan kamar tamu. Tak pantaslah nenek-nenek tinggal di kamar tamu, ngerti! Lagian mau sampai kapan memangnya?”
Ia tak bisa protes, tahu diri hanya menumpang di rumah megah dan punya belasan kamar.
Sesungguhnya, tak masuk logika apabila kamar di lantai dua itu untuk tamu.
Donahita makin sering bersikap judes, sama sekali tak punya sopan santun. Tak jarang Mak Irah diusirnya dengan kata-kata kasar jika diam-diam keluar kamar, kemudian naik ke lantai atas dan menemukan menantunya sedang menerima teman-temannya.
Maka, di depan teman-teman sosialitanya, Donahita membentaknya.
“Berani keluar kamar juga, ya! Pergi sana jauh-jauh, bikin malu saja!”
“Siapa nenek-nenek kumal itu, Dona?” sayup terdengar ada yang bertanya.
“Pengemis nyasar!”
Ia tergopoh-gopoh berusaha kembali ke kamarnya. Nyaris terjengkang di undakan basemen. Mujurlah ada Mbak Iin, pelayan cucunya, sigap menyangga tubuhnya dan kemudian mengantarkan ke kamarnya dengan selamat.
Ia tak ingin berbagi kegalauan dengan anaknya. Dipendamnya sendiri segala ketaknyamanan dan kepedihan hatinya.
“Mak, mohon ikhlas mendoakan anakmu ini, ya. Sudah saatnya aku mandiri, tak tergantung lagi kepada mertua. Aku merintis usaha, tepatnya yayasan pendidikan dengan Laila.” Ardi berkata ketika Donahita tak di rumah.
“Siapa Laila, Nak?” tanyanya ingin tahu.
“Perempuan solehah, putri Kiai Al Jufri.”
“Kiai Al Jufri pimpinan Pesantren Al Hikmah?”
“Oya, dulu Mak dan Abah suka ngaji di sana. Sudah dulu, ya Mak. Dona sudah pulang tuh!” Ardi bergegas meninggalkan kamarnya.
Mak Irah masih mengingat, sejak itulah mereka sering bertengkar. Teriakan kemarahan dan kebencian menggema dari kamar mereka. Suara lantang menantunya akan dibarengi bunyi pecah-belah atau bantingan pintu. Serasa menggelegar di telinga Mak Irah.
Terakhir kali, dilihatnya anaknya tergopoh-gopoh keluar rumah dengan wajah berdarah-darah. Ia tak sanggup mengejarnya. Hanya memandanginya tak berdaya, tatkala mobil anaknya keluar basemen malam itu.
“Maaf, Nek. Sebenarnya Nenek mau ke mana? Saya perhatikan dari tadi Nenek bengong saja di sini? Apa Nenek terpisah dari anak?” Seorang satpam menghampiri dan menanyainya.
Mak Irah baru tersadar kelakuannya telah menarik perhatian orang.
“Aku…. Ya, sudah waktu Maghrib, Nak?” elaknya berdalih.
“Belum azan, Nek. Sekitar 15 menit lagi. Mau ke mushala, ya Nek?”
“Iya, iya….”
“Mushala di Plaza sudah dibongkar, Nek. Pindah keluar pintu belakang sana, ada mushala baru.”
Mak Irah pamitan, tertatih-tatih melangkah memasuki pintu gerbang Plaza. Cahaya petang keperakan jatuh renyai, menyuruk ke ambang malam. Aura pergantian nuansa seolah merejam dada perempuan tua itu. Mengetuk kisi-kisi batinnya seakan ingin membisikkan, “Waktumu takkan lama lagi, Irah Suhairah!”
Tampak orang-orang semakin banyak memasuki gedung Plaza. Kendaraan pun keluar masuk lahan parkiran bagai takkan berhenti.
Mak Irah baru menyadari, dirinya sama sekali tak membawa apa pun. Bahkan, sekadar dompet berisi sedikit uang dan kartu identitasnya, tidak dibawa. Tak sempat karena gerakan Donahita begitu mendadak, menyeret paksa dari kamarnya menuju kendaraan.
“Hei, hei, mau ke mana, Nek?” Seorang satpam muda menjegal langkahnya, tatkala ia akan memasuki lobi utama.
Mak Irah merandek, menyadari penampilannya hanya bergamis lusuh, berkerudung yang tak kalah lusuh dan kumalnya. Penampilannya yang papa memantul di kaca mengilat di hadapannya.
Duhai, siapa mengira jika ia ibu tiga anak yang keren-keren? Rina dan Rini kembar sukses, perancang busana dan pakar branding. Ardi advokat, menantu ulama mumpuni.
“Mak mau ke mushala, Nak.”
“Jalan ke samping sana tuh! Gak boleh lewat sini!”
“Bukankah lebih dekat kalau lewat sini, Nak?” pintanya bimbang. Ia masih mengingat pintu belakang itu. Sering berdua suaminya shalat di mushala lama.
“Gak bisa, gak bisa! Ini buat orang belanja!” sahutnya galak.
Tertatih-tatih sosok ringkih itu menyusuri jalan, ternyata menaik dan menurun di samping gedung Plaza. Keringat dingin mulai membanjiri sekujur tubuhnya.
“Semangat, jangan pernah menyerah,” gumamnya begitu mendengar azan mulai menggema.
“Sungguhkah aku telah berjalan selama 15 menit? Rasanya telah seabad, kaki-kaki ini terasa semakin berat,” bisiknya membatin.
Akhirnya, sampailah ia di pelataran mushala. Ia pun mengambil wudhu, kemudian dengan tertib mengenakan mukena, ikut berjamaah di shaf belakang.
Begitu nikmat ibadah shalatnya petang ini. Ayat demi ayat serasa meresap dan mengalirkan rasa nyaman ke sekujur tubuhnya.
Tiba-tiba hujan turun deras disertai angin kencang. Jamaah yang berada di pelataran seketika berebutan masuk ke bagian dalam.
“Amaaaan, sudah amaaan!”
“Hujan sudah berhenti!”
“Silakan ikuti satpam masuk Plaza!”
“Mengapa lewat Plaza?”
“Jalan di samping banjiiiir!”
Semua jamaah telah memasuki Plaza. Meninggalkan satu sosok yang dalam posisi masih bersujud di sudut pelataran. Wajahnya tampak bercahaya di bawah lampu teras. Selarik senyum indah meleret di senyum terakhirnya.
Selamat Jalan, Mak Irah. Asal dari Sang Pencipta kembali kepada-Nya.
Nun di suatu tempat, Ardi menangis pilu saat melihat sosok ibunya viral di medsos, diambil dari CCTV mushala. Padahal, ia bersama istrinya, Laila, baru saja meresmikan pesantren lansia yang didedikasikan untuk emak tercinta. (*)
1 komentar untuk "Suatu Petang di Mushala | Cerpen Pipiet Senja"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar