GERIMIS menderas. Bu Lurah mengernyitkan dahi di bawah payung yang robek terkena sabetan golok. Di matanya gubuk-gubuk liar yang menjadi “pasar tiban” itu berderet makin panjang di tepi jalan masuk ke kompleks perumahan dan jalur utama yang membentuk simpang tiga di ujung jalan itu.
Banyak pula penjual sayur di gubuk-gubuk liar itu yang tidak memakai masker, padahal kelurahannya masih berstatus zona merah. Vaksinasi baru menjangkau 30 persen warga. “Akar persoalannya ya gubuk-gubuk liar itu. Kalau tak ada gubuk liar, warga pasti lebih gampang ditertibkan,” pikir Bu Lurah.
Bu Lurah memijat-mijat kepalanya, makin pusing memikirkan persoalan gubuk-gubuk liar yang tak kunjung selesai. Gara-gara terlalu bersemangat hendak menertibkannya, sebuah golok seorang aktivis ormas menghantam payungnya.
“Untung tidak mengenai kepala saya,” kata Bu Lurah.
“Preman itu memang ngawur. Golok tajam disabetkan ke kepala Bu Lurah,” Sekretaris Desa menimpali.
Seorang Babinsa diam terpaku menyimak percakapan itu. Bu Lurah sedikit lega, curhat kejengkelannya ada yang memperhatikan pas pada saat diperlukan. Ia melirik ke atas memeriksa payungnya. Gerimis masuk ke celah robekan payungnya, menimpa rok bawah pakaian dinasnya. Ia menarik rok bawahnya setinggi lutut, dan memutar payungnya sehingga celah robekan itu berada di belakang kepalanya.
“Sekarang sementara sudah aman, Bu. Tersangkanya sudah kita tangkap. Aparat juga sudah menyegel kantornya,” tutur Babinsa.
“Syukurlah…. Tapi, kita harus tetap waspada,” timpal Bu Lurah.
“Tentu saja, Bu. Saya dan aparat keamanan akan terus mengawasi,” jawab Babinsa.
Mulanya Bu Lurah hanya bersitegang dengan para aktivis ormas yang menguasai jalan dan menjadi backing warung-warung liar itu. Konon pemilik warung membayar sewa bulanan kepada ormas tersebut. Untung saja hari sedang gerimis, sehingga ketika seorang aktivis ormas mengayunkan golok sempat ia tangkis dengan payung. Kini aktivis ormas itu sudah diringkus oleh aparat keamanan dan kantornya yang juga berada di deretan bangunan liar itu sudah disegel polisi.
*****
Warga kompleks perumahan menuntut Bu Lurah agar secepatnya menertibkan gubuk-gubuk liar itu, atau memindahkannya ke lahan kosong lima ratus meter di seberang jalan. Warga ingin Bu Lurah memindahkan kesemrawutan di simpang tiga ujung jalan itu. Lahan kosong yang terletak lima ratus meter di luar kompleks perumahan adalah tempat yang paling mungkin untuk menampung para pedagang di “pasar tiban” itu. Tapi, tidak semua pedagang bersedia pindah dengan berbagai alasan.
Mulanya ujung jalan itu bersih dan rapi, tidak pernah terlihat macet. Mulanya hanya ada penjual es cendol dengan gerobak dorong di ujung jalan. Melihat dagangannya laris, kemudian penjual kebab mengikutinya, lalu diikuti penjual martabak, dan gorengan. Entah bagaimana ceritanya, di simpang tiga itu kemudian dibangun warung-warung liar, makin lama makin banyak, dan salah satunya berbendera ormas. Ketika ketua RW perumahan menanyakan pada ketua ormas, jawabnya, “Sudah izin Bu Lurah.”
Bu Lurah merasa namanya dicatut, dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab. Tetapi, ia kesulitan untuk menertibkan pasar tiban yang telanjur ramai. Pasar tiban itu semakin padat dan semrawut, dan pada masa pandemi ini banyak yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Tidak hanya warga perumahan yang terhambat tiap akan keluar kompleks, tapi kendaraan-kendaraan yang melintasi jalur utama juga terganggu oleh banyaknya konsumen pasar dan motor yang parkir sembarangan di depan warung-warung itu, sehingga simpang tiga itu sering macet total dari semua arah.
Pengurus RT dan RW juga sering bertengkar dengan tukang parkir karena sering mengatur motor dan mobil sembarangan di jalan masuk ke kompleks itu.
“Pokoknya pasar itu harus segera dipindah, Bu Lurah,” kata Pak RT, seorang pensiunan tantara, pada suatu rapat di kantor kelurahan.
“Tiap hujan deras sampah-sampah pasar juga pada masuk kompleks. Kotor dan bau,” tambah Pak RW. “Saya kira tepat usul agar pasar itu segera dipindah.”
Kemudian disepakati pasar tiban itu akan dipindah ke tanah kosong di seberang jalan. Tetapi, tampaknya tidak mudah. Sampai berbulan-bulan, bertahun-tahun, pasar tiban itu tak kunjung dipindah, dan simpang tiga itu tetap macet dan semrawut. Ada tarik-ulur kepentingan antara warga dengan ormas dan pejabat kecamatan yang tidak mudah diputuskan.
Letak kompleks perumahan itu memang agak masuk ke dalam, sekitar 100 meter. Sebelum pos satpam, di sisi kanan dan kiri jalan, ada tanah kosong selebar sekitar dua meter yang semula akan dijadikan taman. Tapi, sebelum pembangunan kompleks selesai 100 persen, perusahaan pengembangnya bangkrut karena krisis moneter 1998, dan direkturnya meninggal karena stres berat. Lahan-lahan kompleks yang masih kosong, yang terkesan tidak bertuan, akhirnya dijarah dan dikuasai ormas. Pemda setempat kemudian memang bertindak, tapi lahan yang terlanjur dikuasai ormas menjadi persoalan yang tak kunjung selesai.
Begitu gubuk-gubuk liar itu dibangun, lahan kosong di kanan-kiri jalan desa yang menjadi akses utama simpang tiga itu menjadi rebutan para pedagang liar. Tahu banyak pedagang liar berebut lahan, lagi-lagi ormas itu memanfaatkan kesempatan dengan menguasai dan memberlakukan “pajak gelap” kepada para pedagang. Pemerintah desa yang lambat bertindak hanya gigit jari tahu “pajak” itu masuk ke kantong ormas, dan Bu Lurah harus bertengkar dengan aktivis ormas untuk menertibkan gubuk-gubuk liar itu.
Bu Lurah melipat payung robeknya, karena hujan telah reda dan matahari menyembul dari celah awan hitam. Dengan wajah keruh, ia mengamati gubuk-gubung liar yang berderet di kanan-kiri jalan itu. Selesai menyegel kantor ormas, dan mengamankan “pendekar bergolok”, polisi pun meninggalkan Bu Lurah sendirian. Sekretaris Desa dan Babinsa bersiap minum teh hangat di warung kecil ujung simpang tiga. Tiba-tiba sesosok lelaki berpakaian hitam-hitam mendekati Bu Lurah. Di pinggangnya terselip sebilah golok. Bu Lurah agak curiga.
“Bu Lurah, apa pedagang itu jadi dipindah?” tanya lelaki bergolok itu.
“Anda siapa?” Bu Lurah balik bertanya.
“Gue Kodari, ketua ormas cabang. Masak kagak kenal gue,” jawab lelaki bergolok itu agak ketus sambil mengelus-elus gagang goloknya yang terselip di pinggang.
“Oh, Pak Kodari. Maaf…. Ya, jadi dipindah ke lahan kosong itu. Sudah disetujui Pak Camat,” jawab Bu Lurah, sambil menenangkan diri.
“Gue tadi ketemu Pak Camat. Katanya masih dipertimbangkan. Karena, di lahan kosong itu akan dibangun kompleks ruko.”
“Betul… akan disatukan dengan kompleks ruko itu. Jadi nanti ada pasarnya.”
“Tapi kan masih lama, Bu Lurah. Itu juga baru rencana. Belum tentu jadi. Biarkan mereka berjualan di sini dulu sampai pasarnya jadi.”
“Tidak bisa. Di sini macet. Warga kompleks pada complain ke saya.”
“Warga kompleks yang mana? Paling tiga orang itu, kan?” kata Kodari sambil menunjuk tiga sosok yang berdiri di depan pos satpam
“Dia pengurus RT dan RW, mewakili warga…. Nanti pasarnya dipindah dulu ke sana. Bangun rukonya menyusul belakangan,” jelas Bu Lurah.
Kodari tidak menanggapi. Hanya petentang-petenteng sambil memegang-megang gagang goloknya, kemudian melangkah ke tengah jalan seperti memamerkan kegagahannya. Tiba-tiba hujan deras datang, seperti dituang dari langit, mengguyur Kodari. Mau tak mau dia lari menghindar. Tapi, air hujan sudah terlanjur membasahi tubuhnya. Sesaat dia menatap markasnya yang sudah disegel polisi. Mungkin mau masuk. Tetapi, menyadari kantornya sudah disegel dan diberi garis kuning, kemudian dia berlari ke jalan utama dan menghilang.
Hujan terus menderas. Dengan tubuh setengah basah, dan wajah muram, Bu Lurah membuka kembali payungnya dan ia berlindung di bawah payung yang robek terkena sabetan golok itu. Dalam guyuran hujan gubuk-gubuk liar itu tampak berderet membisu, seakan menagih janji Bu Lurah untuk menertibkannya. Orang-orang yang berteduh di emperan gubuk-gubuk liar itu tampak seperti menggigil kedinginan dan lupa atau tak tahu persoalan yang sedang terjadi.
“Haruskah pemerintah kalah dengan ormas?” gumam Bu Lurah. “Negara kok mau diatur oleh preman. Yang bener aja!”
Dengan berlindung di bawah payung yang robek oleh sabetan golok, Bu Lurah melangkah kembali ke kantornya, meninggalkan Sekretaris Desa dan Babinsa yang masih asyik menikmati teh hangat sambil sesekali mengepulkan asap rokok bercampur serpihan air hujan. (*)
Posting Komentar untuk "Berlindung di Bawah Payung yang Robek | Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar