Iklan Atas

Blogger Jateng

Lembar Uang Terakhir | Cerpen Tati Y Adiwinata



Begitulah manusia, selalu berharap banyak kepada manusia yang lain.

Adakah waktu yang terasa berjalan begitu lambat selain waktu saat ini? Rasa jenuh sering menyergapku semenjak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Terus, sekarang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), aku tak bisa mencari nafkah.

Bagiku, lebih berbahaya jika aku terus-terusan diam di rumah. Mungkin aku akan selamat dari virus korona jika terus diam di rumah, tapi aku tak akan selamat dari kelaparan.

Aku kena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tidak diberi pesangon sama sekali dengan alasan pihak perusahaan merugi dan terancam bangkrut. Imas, istriku, tentu uring-uringan. Aku pun tak bisa menyalahkannya selain diam. Hal ini membuatnya stres. Sebelum ada Covid pun kehidupan ekonomi kami sudah morat-marit, apalagi sekarang.

Aku tak mungkin masuk ke dalam kelompok warga yang menerima bantuan. Jatah makanku di rumah aku kurangi, sekalian saja membayar utang puasa yang bolong-bolong.

Tadi, Imas berbisik, beras dan uangnya habis. Anak-anak belum makan. Dua bulir air menyeruak dari sudut matanya. Aku hanya mengelus tangannya. Dan pergi dengan sebuah harapan. Entah harapan itu akan berakhir di mana.

Sebelum pergi, aku merapal nama Tuhan berkali-kali di dalam hati. Ya Malik, kuatkan aku. Lalu, kulangkahkan kaki, menyerahkan diri kepada nasib yang akan membawaku karena logika sudah tak jalan dengan benar. Akhir-akhir ini, aku sering mendengar suara-suara aneh atau terkadang suara-suara itu beralih ke dalam pikiranku.

Jika Imas stres, aku lima kali lebih stres. Aku takut gila, pasrah adalah cara paling ampuh untuk mengusir biang-biang yang akan membuatku menjadi gila.

Kususuri jalan dengan mata menunduk. Motorku telah lama kugadaikan, apalagi mobilku, sudah lama dijual untuk menutupi sisa-sisa utang bisnisku.

Aku mendongak ke arah langit, bersih berwarna biru sedikit dihiasi awan, jalanan begitu sepi, seperti kota mati. Ada kengerian merasuki hatiku. Ini seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Orang bukan hanya menjaga jarak, mereka mengunci diri didalam rumah. Di bulan Juli ini begitu banyak berita kematian mengetuk pintu. Aku kehilangan banyak sahabat, juga paman.

Sekawanan burung terbang diatas kepalaku, seolah tak sedang terjadi apa-apa.

“Pak, tolong aku!” Samar terdengar suara, mungkin berjarak sekitar lima meter. Seorang perempuan tua tengah duduk diemper sebuah bangunan. Aku memburu dan berhenti dijarak dua meter dengannya.

“Kenapa, Bu?” tanyaku khawatir.

“Aku sudah dua hari tidak makan,” katanya lirih. Dadaku berdebar. Ya Tuhan, cobaan apalagi? Jangan lagi Kau suguhkan kepedihan yang lain.

“Aku tidak memiliki makanan apa pun, Bu,” kataku putus asa. Matanya yang sendu dibalik masker kumalnya seolah menusuk jantungku.

Lalu, aku merogoh saku celana dengan cepat, aku ingat punya uang selembar lagi. Mudah-mudahan saja uang itu bisa menolongnya. Uang terakhir yang aku punya.

“Bu, hanya uang selembar sepuluh ribu. Tapi, semua warung tutup, Bu.”

“Tidak apa, Nak. Aku yakin dijalan besar itu masih ada satu dua toko yang buka. Akan aku belikan roti. Sepuluh ribu akan banyak sekali roti kudapatkan.” Masih dengan suara yang lirih dan mempermainkan perasaanku. Sepuluh ribu paling hanya dapat dua kerat roti kemasan. Perutku bunyi seketika mendengar kata roti.

Aku berikan sisa uang terakhirku. Tuhan jika ini mau-Mu, maka kuatkan hatiku. Kuberikan uang kepadanya. Mata itu menatap penuh binar. Disambar uang itu dengan cepat dan dia terhuyung meninggalkanku tanpa mengucapkan terima kasih. Kini, giliranku terduduk diemper bangunan itu. Dari tadi, aku hanya berjalan.

Sebentar-sebentar mendongak ke langit, lalu mataku menyusuri jalan berharap menemukan logam mulia yang jatuh dari langit. Pikiranku tambah tidak waras.

Aku membuka masker, napasku mulai sesak. Tapi, sebenarnya ada yang lebih sesak. Melihat kejadian barusan, tiba-tiba teringat cerita Sayidina Umar, sahabat Yang Mulia Nabi ketika dia mendapati penduduk yang dipimpinnya tidak makan dan memasak batu. Air matanya menetes. Lalu, Sayidina Umar yang tengah menyamar, memanggul sendiri karung gandum dan memberikan bantuan makanan kepada warganya itu.

Adakah pemimpin seperti itu kini? Aku menyeringai sinis, aku pun belum tentu melakukan hal yang sama. Begitulah manusia, selalu berharap banyak kepada manusia yang lain.

Suara-suara aneh itu mulai merasuki pikiranku. Membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Aku teringat Imas dan anak-anak, mereka tengah menungguku pulang dengan perut keroncongan, sementara aku belum dapat apa-apa.

Langit mulai berubah warna, awan-awan kelabu berarak berkumpul, sebentar lagi hujan. Ke mana aku harus meminta bantuan? Saudara-saudaraku mulai berpaling, sementara teman-temanku sudah lama pergi. Aku tak menyalahkan mereka karena mereka pun dalam situasi yang sama, disergap rasa cemas dan ketakutan. Pandemi ini telah membuat banyak orang mendadak miskin, termasuk aku. Aku tak terbiasa meminta-minta. Aku tidak mau merasa terhina.

Akhirnya, aku berdiri dengan sedikit terhuyung. Tampaknya aku harus pulang, meski dengan tangan kosong.

Aku tidak tahu lagi ke mana aku harus mencari pekerjaan. Semua pintu rumah tertutup.

“Pak, Pak!” Seseorang berteriak di belakangku. Aku menoleh. Wajah itu menongol dari balik kaca mobil.

“Sebentar, Pak, tunggu!” pintanya. Seorang perempuan muda dengan baju gamis yang sangat bagus keluar dari mobil mewah.

“Sebentar! Maaf, Bapak. Aku tengah membagikan bantuan. Maukah Bapak menerimanya?” pintanya. Hatiku bergetar menyebut nama Tuhan. Aku cepat mengangguk, barangkali ini yang dinamakan sebuah pertolongan.

“Sebentar ya, Pak.” Lalu perempuan itu mengeluarkan sebuah dus sedang dari dalam bagasi.

“Ini ada beras, minyak, mi instan, terigu, dan makanan ringan. Doakan kami sehat terus ya, Pak. Bapak juga,” katanya pelan. Aku hanya sanggup mengangguk-angguk dan mengucap syukur dalam hati.

“Dan ini ada sedikit uang juga,” lanjutnya lagi sambil memberikan amplop ke dalam tanganku.

“Terima kasih, Neng, terima kasih,” kataku lirih.

“Aku yang berterima kasih, Pak. Bapak orang pertama yang kami temui, semoga bantuan ini berguna ya buat Bapak,” katanya lagi.

“Bantuan ini dari nenekku, dia ingin tiap hari bersedekah selama pandemi ini, sampai pandemi ini berakhir, katanya banyak sekali suara-suara aneh akhir-akhir ini merasuki pikirannya. Mudah-mudahan dengan bersedekah suara-suara itu akan pergi dari pikirannya,” kata perempuan yang kuyakini cantik di balik maskernya itu menjelaskan.

Aku melihat ke arah mobil, mencari nenek yang dia maksud. Kaca mobil turun dan seraut wajah melihat ke arahku. Aku mengangguk sebagai tanda ucapan terimakasih. Mata itu menatapku tajam. Mata yang tak asing bagiku. Mata yang entah kulihat dimana.

Mobil itu lalu pergi. Tapi, aku masih mengingat mata sendu itu.

Ingatanku beralih ke amplop yang tengah kugenggam. Kubuka amplop dengan tergesa, pandangan kabur seketika, mataku mengabut. Di antara uang sebanyak sepuluh lembar berwarna merah ada terselip uang terakhirku. Selembar sepuluh ribu yang sangat kumal.

Kulemparkan pandangan, aku takut aku hanya bagian dari sebuah konten media. Akhir-akhir ini begitu banyak sedekah dilakukan hanya untuk sebuah konten media semata. Tapi, peduli apa buatku. Toh, yang penting anak istriku bisa makan. (*)

Posting Komentar untuk "Lembar Uang Terakhir | Cerpen Tati Y Adiwinata"