“Celaka!” saya refleks menepok jidat. Saya akan disalah-salahkan oleh panitia lain, bila tahu amplop yang diamanahkan kepada saya tertukar.
Saya mendapatkan tugas membersamai Ustaz Jazuli, selama rehat sebelum beranjak ke mimbar untuk memberikan ceramah dalam rangka tasyakuran rampungnya pembangunan masjid kompleks. Meski saya pada dasarnya lebih senang untuk duduk menikmati sajian dan pengajian, tetapi tidak ada lagi yang dinilai panitia pantas menemani selain saya. Tak apalah, saya juga tak tega kalau Pak Supadi yang usianya sudah 45 tahun harus merangkap banyak hal. Atau saya juga tidak tega menyerahkan tugas sederhana, tapi krusial ini kepada Roni, Brian, Hudi, yang baru saja lulus SMK.
Selain menemani, saya mendapatkan tugas membuat nyaman Ustaz Jazuli. Kesan baik harus saya tampilkan kepadanya karena ini kali pertama Ustaz Jazuli hadir di pengajian kompleks kami.
Kami mengenal Ustaz Jazuli setelah beliau hadir di salah satu stasiun teve. Betapa beruntungnya kami, setelah mengetahui kalau kediamannya hanya berjarak satu setengah jam dengan mobil. Ah, itu sebuah anugerah besar. Apalagi, setelah tahu kalau Ustaz Jazuli bersedia meluangkan waktu ke kompleks kami karena mertuanya yang juga penghuni kompleks sini. Benar-benar anugerah.
Bibir saya masih terkunci. Saya takut bila teman-teman panitia lain tahu dan mendakwa saya hendak menilap amplop yang seharusnya dijadikan uang bensin untuk Ustaz Jazuli. Meskipun saya tidak mengerti berapa jumlah rupiah yang ada di dalam amplop tersebut, saya sangat yakin panitia tidaklah orang yang sembarangan memberi uang bensin. Apalagi, kepada Ustaz Jazuli yang sudah kami rindukan itu.
Pengajian dimulai sedari jam 9 pagi dan selesai menjelang Zuhur. Ustaz Jazuli mengimami jamaah sembahyang di masjid baru kami. Mungkin di titik inilah kealpaan saya tumbuh subur. Sudah saya pisahkan pada mulanya, bahwa amplop yang berisi uang untuk Ustaz Jazuli saya letakkan di saku celana sebelah kiri. Sedangkan, amplop lain dan barang-barang lain saya masukan ke saku kanan.
Usai sembahyang Ustaz Jazuli masih melayani beberapa orang yang mengajak berfoto bersama dan salaman. Hamboro ketua panitia pengajian memberi kode kepada saya yang ada di belakang Ustaz Jazuli untuk menyibak kerumunan orang agar rombongan bisa segera masuk mobil.
“Maaf, Maaf!” saya mencoba menyibak, membuat jalan.
Ustaz Jazuli dan dua orang asistennya berjalan perlahan. Agar perlahan. Dan setelah susah payah, mereka berhasil masuk mobil. Ustaz Jazuli berada di jok belakang seorang diri. Dua asistennya ada di baris depan, dengan salah seorang menjadi juru kemudi.
“Maaf, Bang.. Ini ada sedikit uang transport titipan panitia. Saya mewakili panitia mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kalau banyak kekurangan", saya menyelipkan amplop ke telapak tangan asisten Ustaz Jazuli yang duduk di samping kemudi.
Dia mengangguk, kemudian balik mengucapkan terima kasih dan mohon maaf.
Saya yakin di titik inilah saya keliru meraih amplop. Amplop Ustaz Jazuli yang harusnya ada di saku celana kiri bukan teraih. Saya justru meraih amplop yang ada di saku celana kanan.
Benar-benar. Manusia memang sarang salah dan lupa. Bagaimana bisa saya melakukan kesalahan fatal dan memalukan seperti ini? Keringat yang berkali-kali saya sapu dengan lengan baju koko, terus saja menderas. Seolah sumber keringat itu tak tertutup dan asat.
Hamboro duduk mengipas-kipasi badannya. Penat dan keringat. Beberapa panitia lain juga mulai berbenah, menggulung kabel, merapikan piring yang tadi dipenuhi kudapan, menyapu sisa-sisa kotoran di karpet. Namun, lebih banyak lagi yang hanya ongkang-ongkang kaki, menghabiskan minuman dan kudapan.
“Sanuka, sudah bereskan semuanya?” Hamboro memastikan.
Saya hanya mengangguk. Kemudian, meraih telepon genggam.
“Sibuk betul, mau ke mana?” Hamboro kembali mencecar. Kantor pos sudah tutup, Sabtu cuma setengah hari.
Saya menengok angka jam digital di pojok telepon genggam. Benar sudah hampir setengah dua. Tak ada kantor pos yang masih melayani pengiriman surat kilat. Apalagi, surat yang seharusnya saya kirimkan kepada pabrik terbawa Ustaz Jazuli. Mengingat itu saya malu. Saya malu kalau sampai Ustaz Jazuli membuka amplop itu dan kemudian membaca isinya. Duh, mau saya simpan di mana wajah saya nanti.
Saya seperti sebutir telur bergoyang-goyang di tubir meja. Sebentar lagi jatuh dan pecahlah semua isinya. Saya sudah pasti tak dapat mengajukan lamaran pabrik, sekaligus saya harus malu dan diujar-ujar oleh panitia lain.
“Pamit dulu, ya! Ada janjian sama teman,” saya pamit kepada Hamboro.
“Syukron ya. Ustaz Jazuli sepertinya puas.”
Saya hanya mengangguk. Sedangkan, dalam pikiran saya berputar-putar memikirkan rencana untuk menghubungi salah satu asisten yang tadi menerima amplop. Malu. Ya, saya malu. Tetapi, lebih baik malu di depan manusia daripada harus saya tanggung rasa malu dan dosa sampai di hadapan Yang Mahakuasa. Saya merasakan keringat di hamparan kulit mulai surut, tapi baju koko dan telapak tangan sudah terlanjur lembap.
Saya harus menyerahkan apa yang menjadi amanah saya dan hak Ustaz Jazuli.
Saya menepi dari kerumunan. Tentu akan tidak enak kalau teman-teman memergoki saya. Saya kirim pesan kepada asisten yang tadi menerima amplop saya. Saya berharap agar cepat dibalas, nyatanya pesan balasan baru masuk ke telepon genggam saya lima belas menit.
“Mas, kami ada di Restoran Nasi Kebuli. Kalau masih ada perlu, silakan gabung kami saja,” jawab asisten Ustaz Jazuli lewat pesan pendek.
Saya gegas tancap motor bebek menuju restoran yang disebut. Andai waktu bisa saya putar ulang, tentu kejadian konyol nan bodoh ini takkan terjadi. Andai waktu bisa saya percepat, saya ingin meloncat melewati fase-fase memalukan ini.
*****
“Afwan Ustaz Jazuli, saya Sanuka, panitia pengajian tadi, saya mencium punggung tangan Ustaz Jazuli.” Lama sekali. Saya ingin menuntaskan rasa salah saya di punggung tangan yang harum itu. Keringat yang wangi menyusup ke dalam tubuhku. Seolah mengalirkan rasa tenang. Penuh damai dan keikhlasan.
“Ada apa, Nak? Sampai nyusul?” Ustaz Jazuli bertanya penuh heran.
“Sebenarnya ada yang saya…, kalimat saya terpotong oleh segukan tangis yang terlanjur turun menjadi banjir di pipi saya. Saya benar-benar menyesal. Saya khilaf dan mengapa pula khilaf itu harus terjadi di saat seperti ini.”
“Sudah tenang dulu,” Ustaz Jazuli mengelus punggung saya. Bukannya diam, tangis saya semakin kencang.
Ustaz Jazuli memanggil pramusaji untuk menghidangkan minuman. Kemudian disodorkanlah kepada saya. “Minum dulu. Bismillah. Biar tenang,” kata Ustaz Jazuli begitu teduh.
Saya raih dan tegukan saya begitu buas. Habis saya tandaskan dalam sekali.
“Kamu pasti lapar, makan dulu ini,” Ustaz Jazuli menyodorkan sepiring nasi kebuli dengan potongan iga kambing. “Makan saja, kami sudah makan,” Ustaz Jazuli memerintahkan.
Dua asisten yang sedari tadi memandangi saya mengangguk sebagai izin untuk saya melahap hidangan makan menjelang petang itu. Saya sendok perlahan-lahan. Kenikmatan merasuk. Bumbu yang sedap kemudian daging kambing empuk membuat saya tak begitu repot mengunyah. Ustaz Jazuli membaca buku. Dua asistennya sesekali mengajak saya berbincang.
Setelah tandas, barulah asisten yang menerima amplop tadi berbicara.
“Dik Sanuka, ada apa kok sampai nyusul?”
“Begini Mas, sebelumnya saya mohon maaf kepada Ustaz Jazuli dan mas-mas.
Saya salah. Khilaf. Sebenarnya amplop yang saya berikan tadi tertukar. Saya keliru memberikan,” saya terbata-bata. Keringat saya tidak membanjir. Tapi, gugup kali ini lebih maha. Saya menyodorkan amplop yang benar.
“Oalah, tadi amplopnya kamu kasih ke pengemis deket masjid, kan?” Ustaz Jazuli memandang asistennya. Dijawab dengan anggukan takzim.
Sekarang giliran saya yang kebingungan. Betapa mulia Ustaz Jazuli, bahkan amplop yang menjadi hak atas lelah dan waktu yang diluangkan diberikan kepada kaum papa. Dada saya terenyuh lebih syahdu. Embusan pendingin udara menyapu wajah saya dan merasuk bersama aroma sitrus yang segar.
Dan berkat keteledoran saya, niat baik itu berujung pada sia-sia.
“Tidak apa-apa. Tidak ada yang sia-sia,” seolah mengerti kegundahan saya. Dengan lembut Ustaz Jazuli justru membuat saya kembali gugup.
“Ini titipan panitia untuk Ustaz, saya menyodorkan kembali. Saya yang keliru, Ustaz,” kata saya.
“Bukan. Itu sudah bukan hak saya. Itu untuk Dik Sanuka saja,” Ustaz Jazuli.
Saya terdiam sebentar. Dada saya kembali dirayapi keraguan. Bukan soal uang.
Tapi, apakah amanah saya sudah tertunai atau belum?
“Tapi….”
“Sudah, tidak ada tapi-tapian. Saya harus pulang Dik Sanuka, amplop itu pakai buat Dik Sanuka saja. Hak saya sudah saya ambil,” Ustaz Jazuli kini beranjak dari kursinya. Dua asistennya mengikuti. Saya pun turut.
“Ustaz, saya nanti melaporkannya bagaimana?”
“Kan sudah Ustaz bilang, amplop yang hak Ustaz sudah dikasihkan ke pengemis. Dan, amplop yang ini milik Dik Sanuka.”
Bibir kelu kemudian disusul sendu akibat haru yang membiru.
“Oh iya, Dik Sanuka, daripada melamar menjadi karyawan di pabrik kut*ng, mending uang itu dipakai buat modal usaha. Semoga barokah!”
“Terima kasih Ustaz!” jawab saya.
Ustaz Jazuli dan dua asistennya meninggalkan Restoran Nasi Kebuli, meninggalkan saya dengan amplop yang saya raba-raba cukup tebal. Kesadaran saya mendadak muncul, dari mana Ustaz Jazuli mengetahui saya hendak melamar menjadi karyawan di pabrik kut*ng? Pasti amlop berisi lamaran saya untuk menjadi penjahit di pabrik kutang itu telah dibuka Ustaz Jazuli. Saya malu. Malu betul.
TEGUH AFFANDI, lahir di Blora 26 Juli 1990. Menulis cerpen, esai, dan ulasan buku yang telah tersiar di banyak media massa. Memperoleh PPSDMS Award Kategori Pena Emas, Green Pen Award Perhutani, menjuarai sayembara cerpen Femina dan beberapa kompetisi menulis lainnya. Sekarang berdomisili di Jakarta sebagai editor buku.
Posting Komentar untuk "Amplop Susulan | Cerpen Teguh Affandi"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar