Malam itu, di hadapan cermin, dia terus membiarkan pikirannya melayang jauh ke suasana yang ia lihat sebelumnya, ketika sepasang matanya melirik padang rumput hijau yang terhampar di belakang kamarnya. Di sana tampak sebuah siluet dari masa yang menarik keinginannya untuk memutuskan tinggal di tempat itu.
Waktu itu ia masih seumuran anak SMP. Banyak hal menarik di tempat itu. Negeri Barbar, begitu orang-orang menyebut. Negeri yang lumayan jauh dari pantai. Namun keindahannya jauh melebihi pemandangan dan suasana pantai ketika matahari bersenyawa dengan warna jingga. Juga burung-burung yang beterbangan kala sore meredup menjemput kembali para nelayan ke peraduan, tempat mereka akan menghitung bulir keringat dari keluasan samudra tanpa tepi.
Negeri Barbar punya keindahan lain. Alam yang bersih, berbagai bunga berjejer rapi di tepi jalan menuju rumah Kiai Halim. Warganya pun ramah. Apalagi ada cerita seorang perempuan seumuran yang berambut merah. Dia sangat senang bila Ramadan hampir tiba. Saat itulah, Negeri Barbar mengadakan syukuran.
Sebagai adik dari seseorang yang menjadi abdi di Negeri Barbar, tepatnya di rumah Kiai Halim, ia senang. Karena, saat itulah ia akan bertemu kembali dengan perempuan berambut merah, anak Kiai Halim. Telah lama dia memuja, walau sebatas saling pandang dari jauh. Bagi dia, sangat tidak mungkin mendekati. Apalagi sampai menjalin hubungan serius dengan perempuan berdarah biru itu. Ia hanya tamu dari sang kakak yang menjadi abdi.
Namun masa itu sudah hambar. Tidak ada lagi yang patut dia banggakan dari Negeri Barbar dan perempuan berambut merah itu, selain puing-puing kenangan yang berserakan di tempat yang sering dia lihat. Semenjak kepergian Kiai Halim, suasana di Negeri Barbar mendadak berubah. Berbagai tanaman yang dulu berjejer rapi di jalan menuju rumah Kiai Halim, kini mati. Penduduk kampung tak lagi ramah. Apalagi setelah kabar yang menghantam dia bahwa perempuan itu telah diusir beberapa warga, karena menyekap seorang lelaki di dalam kamarnya. Sungguh, itu di luar dugaan.
*****
Lelaki itu beranjak keluar, meninggalkan beberapa potong ingatan di sebuah cermin yang sejak tadi menggambarkan wajahnya. Malam itu, dari depan kamar, ia melihat seorang kakek yang setiap kali menjelang sore selalu menaburkan kembang di atas kuburan Kiai Halim yang selalu terlihat basah. Entah air apa dan dari mana. Yang jelas, bukan siraman air hujan.
Tidak mungkin ada hujan pada musim seperti ini. Langit masih seterang kemarin. Tidak ada gumpalan mendung yang mengabarkan hujan akan datang. Namun setiap kali dia melihat tanah kuburan Kiai Halim di samping jalan itu selalu lembap oleh air yang terus mengalir ke samping kuburan. Kadang air itu menggenang di atas gundukan tanah. Kadang mengalir sampai ke jalan-jalan, bahkan ke segala arah.
Lelaki itu kini beranjak dari depan kamar. Dia menghampiri kakek yang masih sibuk menaburkan kembang di atas kuburan Kiai Halim.
“Mengapa Kakek sering sekali ke sini?” tanyanya.
Kakek itu diam sejenak, kemudian bersimpuh di atas rumputan yang basah oleh aliran air dari kuburan Kiai Halim. Buliran air di atas rumput itu tampak seperti butiran-butiran mutiara berserakan ketika sinar rembulan membagikan cahaya pada malam yang begitu sunyi.
“Entahlah, Kakek juga tidak tahu. Namun banyak hal mesti kamu ketahui tentang kuburan ini,” kata kakek itu sambil menundukkan muka ke kuburan Kiai Halim yang sejak tadi dia taburi kembang.
Lelaki itu menghampiri. Ia duduk di samping kakek itu dengan rasa heran. Dahinya mengerut.
“Dulu, saat Kiai Halim masih hidup, negeri itu begitu tenteram. Kehidupan warga tidak seperti sekarang. Namun semenjak ia pergi, kerisauan menebar. Bahkan keturunannya pun dipandang buruk oleh sebagian warga. Apalagi setelah diketahui putri pertama itu menyimpan seorang lelaki di kamarnya. Sungguh, itu membuat orang-orang kabur dari kampung mereka.
Perlu kau tahu, air yang mengalir di kuburan Kiai Halim bukanlah siraman dari para peziarah. Bukan pula siraman air hujan dari langit. Itulah air tangisan.”
“Air tangisan?”
Lelaki itu makin heran mendengar perkataan si kakek.
*****
Ya, itulah air mata kesedihan. Beberapa hari lalu, saya bermimpi melihat almarhum menangis. Ia mengenakan baju putih yang sebagian terselempangkan di satu bahu. Dengan air mata terus berlinang, dia memohon kepada sesosok makhluk yang saya tidak tahu itu siapa. Makhluk itu begitu aneh. Ia seperti semburat cahaya. Mata saya tak bisa melihat jelas sosok makhluk itu.
Berkali-kali ia memohon kepada sosok makhluk aneh itu agar dihidupkan kembali dari kematian. Namun sosok aneh itu tidak mengizinkan ia kembali ke dunia. Sebab, kematian dan kehidupan tidak bisa dipinta siapa pun, apa pun alasannya. “Kematian hanyalah kuasa-Nya,” kata sosok bercahaya itu.
Namun ia tetap memohon dengan segala cara agar kembali dihidupkan. Ia memohon dengan sangat. Kadang ia bersujud di hadapan makhluk aneh itu sambil terus menangis. Namun tetap saja makhluk aneh itu tidak membolehkan.
“Mengapa kau masih memilih hidup di sana daripada tempat yang nyaman di alam ini?” kata makhluk itu sebelum pergi.
Beberapa saat setelah itu, mata saya hanya bisa melihat almarhum Kiai Halim yang terus menangis. Lalu, almarhum menghampiri saya yang melihat dari kejauhan mereka bercakap-cakap. Ia menghampiri saya sambil menangis dan berkata, “Jika kau melihat kuburanku penuh genangan air yang terus mengalir, ketahuilah itu air mata tangisku untuk anak-cucuku dan orang-orang di Negeri Barbar.”
Lalu almarhum menghilang dari pandangan saya.
*****
Usai menuturkan cerita, kakek itu menunduk seraya memejamkan mata. Seakan ia menyimpan kesedihan mendalam.
Malam itu, langit makin gelap. Tak ada bintang. Cahaya bulan pun perlahan meredup.
“Bagaimana kabar putrinya, Kek?”
“Entahlah, saya juga tidak tahu,” ujar kakek itu pelan.
Posting Komentar untuk "Tangisan dari Bawah Tanah | Cerpen Saleojung"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar