Iklan Atas

Blogger Jateng

Pion Catur | Cerpen Fachru Rozi


Bapak selalu bilang. Tak ada yang lebih berharga di dunia ini kecuali detik yang baru saja lewat. Sebab kita tidak akan bisa kembali ke waktu itu lagi. Jangan sia-siakan sebelum derap waktu terus membawa tubuh kita menjauh meninggalkan sesuatu yang disebut dengan masa lalu. Pada akhirnya semua hanya akan menyisakan sesal yang tak berkesudahan seperti yang dialami dirinya. Menangisi sesuatu yang muskil kembali.

Kurang lebih begitu kata-kata yang sering terlontar dari mulut bapak ketika aku dan dirinya bermain catur di beranda rumah. Lesung pipitnya mulai samar, sebab dilahap usia perlahan tertarik ke belakang ketika aku memperhatikan setiap kata-kata yang ia ucapkan. Sering kali buah catur yang tersusun rapi di atas papan caturnya, hanya menjadi penonton. Itu, ketika aku mulai larut dengan semua ceramah yang diberikan bapak. Bukan sekedar ceramah. Aku lebih suka menyebutnya sebagai pelajaran hidup.

“Aku kalah,” lenguhku pelan ketika tatapanku jatuh ke pion-pion catur itu.

“Berpikir! Setiap masalah selalu punya jalan ke luar,” sergah bapak. Sambil dia menyulut rokok tembakaunya untuk yang ke sekian kali.

“Aku tidak akan menang jika bermain catur melawan Bapak.”

“Hahah…” barisan gigi bapak yang mulai menguning jelas terlihat, “sebelum kau belajar bagaimana untuk menang, kau harus belajar bagaimana caranya untuk belajar.”

Suasana senyap. Dahan-dahan pohon kelapa yang saling bersentuhan di seberang rumah merambat perlahan dalam telinga.

Lipatan-lipatan di keningku semakin tebal. Seisi kepalaku mencoba mencerna setiap kata-kata yang terlontar dari mulut bapak. Selalu saja gagal. Aku cuma bisa menggelengkan kepalaku kemudian menunduk.

“Langkah. Dalam bermain catur kau harus perhatikan langkahmu. Setiap langkah besar selalu berawal dari langkah kecil yang hati-hati. Begitu pula dengan hidup.”

Aku mengangguk tanda mengerti, “Tapi aku tetap saja sudah kalah,” kedua alis mataku hampir bertemu ketika melihat wajah Bapak.

“Maka kau harus mulai dari awal. Kembali ke langkah sebelumnya dan jangan melakukan kesalahan. Bukan seperti hidup, catur hanya sebuah permainan. Selalu memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang salah mengambil langkah.”

Ketika aku bermain catur dengan bapak, begitu banyak nasihat-nasihat kecil yang selalu dia berikan untukku. Perlahan aku mulai mengerti, kalau nasihat-nasihat itu bukan sekadar untuk membimbingku mengalahkannya setiap kali kami bermain catur.

Lebih kepada sebuah pelajaran hidup, bekal yang bakal kusimpan guna menghadapi segala persoalan hidup di kemudian hari. Mulai saat itu, aku semakin gemar bermain catur dengan bapak. Berulang-ulang aku kalah, namun berkali-kali pula aku mencoba kembali dalam permainan. Memperbaiki kesalahan untuk meraih kemenangan.

Semua selalu bermula dari setiap kepulangan bapak ketika senja mulai matang di atas atap rumah. Bulir-bulir keringat yang masih mengalir pelan di pelipisnya adalah nikmat dari Tuhan. Lantas aku sesegera mungkin membawakannya segelas teh manis panas.

Kemudian sebuah papan catur kuletak di atas resbang yang berada di beranda rumah. Sebelum bermain catur aku selalu memijiti punggung bapak. Kata bapak pijitanku enak. Aku paham, sebagai seorang penarik becak, tubuh bapak pasti lebih sering keletihan. Mengejar setoran mulai dari pagi sampai sore. Menggeluti sebuah pekerjaan yang sama sekali tak pernah diinginkannya. Aku mengetahui semua itu dari cerita bapak selama ini.

Bapak sering menceritakan kehidupan masa kecilnya di sela-sela kami bermain catur dan nasihat-nasihat kecil yang dia lontarkan. Bapak bercerita, dia terlahir dari keluarga yang sangat sederhana.

Kakek hanya seorang buruh tani yang sesekali dibantui nenek. Kehidupan mereka serba kekurangan namun bahagia. Bapak sudah terbiasa makan nasi aking dengan lauk kepala ikan asin. Jika ada tambahan tumis kangkung dan sambal belacan. Itu sudah menjadi makanan paling enak bagi bapak dan keluarganya saat itu.

Kalau sudah sore, bapak bakal menyusuri pematang sawah. Dia memunguti beberapa dahan pohon kelapa yang mengering di tanah lalu dirakit menjadi sebuah pesawat terbang sederhana. Bapak bermain di sana sepuasnya sampai maghrib tiba.

Bermula dari situ bapak selalu berandai-andai. Kalau dirinya seorang pilot yang membawa pesawat terbang melintasi pulau, benua dan samudera. Membawa kakek dan nenek ke tempat paling jauh meninggalkan gubuk mereka yang hampir rubuh. Bapak memiliki keinginan menjadi seorang pilot.

Semua keinginan bapak terpaksa sirna. Sebab dia tahu betul bagaimana kondisi keluarganya saat itu. Jangankan untuk membiayai bapak di sekolah penerbangan. Untuk menghidangkan sepiring nasi di balik tudung saji saja, kakek harus luntang-lantung di sawah milik warga. Sebab itu bapak bertekat untuk membuang jauh-jauh semua khayalannya yang sekarang membawanya jatuh ke palung penyesalan paling dalam.

“Menurutmu siapa yang paling hebat di antara semua buah catur ini?” Mulut bapak terus mengeluarkan kepulan asap dari rokok tembakau yang terselip di antara jari manis dan jari kelingkingnya.

“Menteri,” aku coba menjawab.

“Kenapa?”

“Dia bebas mau pergi ke mana pun, langkahnya tak terbatas.”

“Justru itu kelemahannya.”

“Jadi?”

“Benteng! Sebab benteng mampu melindungi raja ketika situasi sedang sulit. Menyembunyikannya di sudut papan catur, jauh dari segala bahaya. Dalam hidup, raja adalah keluarga, sementara kau harus bisa menjadi seperti benteng itu. Perhatikan langkahmu lalu menjadi orang hebat agar kau bisa melindungi keluargamu,” tatar bapak saat itu.

Aku selalu terkesima jika bapak sudah bicara seperti itu. Aku semakin meyakini kalau semua kata-kata yang terlontar dari mulut bapak adalah sebuah pelajaran hidup.

Dia selalu menggambarkan hidup melalui buah-buah catur seturut papannya. Dunia ini seperti papan catur. Terdiri dari sisi gelap dan terang. Manusia adalah buah-buah catur yang harus memperhatikan langkah agar tidak terjerumus, kata bapak setiap kali kami selesai bermain catur.

Garis bibirku melebar. Aku semakin menerawang jauh. Saat ini, semua kenanganku bersama bapak terus berseliweran dalam kepalaku. Aku merindukan bapak. Aku rindu memijit punggung bapak. Aku rindu membawakannya segelas teh manis panas selepas pulang dari menarik becak. Aku rindu mencium aroma kepulan asap rokok tembakau yang berhamburan dari dalam mulut bapak. Aku rindu mendengar semua nasihat-nasihat bapak. Aku rindu bermain catur dengan bapak. Aku merindukan semua tentang bapak sejak lima tahun lalu.

“Aku berjanji akan jadi seperti benteng agar bisa melindungi keluarga, yaitu Bapak.”

“Tidak. Bapak bukan raja. Bapak hanya sebuah pion kecil, terseok-seok menghindari bahaya. Perlahan melangkahi kotak demi kotak untuk sampai ke kotak terakhir lalu menjelma menjadi benteng, adalah kau.”

Perkataan bapak masih lekat dalam kepalaku. Saat itu ketika aku dan bapak bermain catur untuk yang terakhir kali sebelum aku berangkat ke asrama di Ibu Kota.

Aku sudah belajar banyak hal dari bapak. Bahkan sampai sekarang semua perkataannya masih kuingat dengan jelas. Tak ada yang bisa kuberikan untuk bapak saat ini, selain menerapkan semua nasihat-nasihat kecil darinya. Aku selalu mendatangi makamnya dengan menggunakan seragam pilot yang beberapa tahun lalu kuterima dari salah satu maskapai penerbangan terkemuka di tanah air.

Medan, 2017

Posting Komentar untuk "Pion Catur | Cerpen Fachru Rozi"