Begitulah kiranya, sebuah kota dikenal di kampungku, menjadi milik bersama, tak sebatas eksistensi diri sendiri yang membuat engkau semata ada. Sebab, sebuah kota tumbuh jadi harapan untuk dijelang kemudian. Ya, seseorang pergi, cukup berbekal nama sebuah kota di tambah nama seseorang yang lebih dulu ke sana, maka kelak ia akan pulang membawa kota itu di dalam kopernya. Ia membuka koper itu, mungkin di depan kawan lama atau di hadapan anak-anak muda yang mendadak berhenti bergitar di pos ronda sejak hari pertama ia tiba. Dari situ, ia mengeluarkan jalan-jalan berdebu, toko-toko kusam-kelabu.
Ia mengguncang-guncang kopernya, bagai mengeluarkan sebuah rumah yang terjepit, di mana ia pernah menumpang bersama orang pertama yang ia jelang—selalu terkenang. Ia mengambil sapu tangan, melap kopernya pelan-pelan. Lalu ia keluarkan pasar becek ke mana ia setiap malam memungut “ongkos” lapak pedagang baju dan celana, lapak-lapak kayu tua. Entah bagaimana caranya, pada tahun kedelapan hampir separo jadi miliknya—ia rombak jadi kios sederhana. Dari pemungut ongkos, ia pemilik kios; dari kios jadi toko kain cukup besar, terus membesar. Segera ia bergelar haji dan menyumbang kegiatan amal ke kampung, pun di kota rantauan; kampung yang memberinya bekal seekor kerbau, walau mencuri, dan kota yang mengubah nasibnya tak jadi kerbau pedati.
Seseorang lain pulang terengah, “Awak pulang hanya lepas ongkos,” katanya dan yang mendengar paham. “Beri Awak rokok sebatang,” lalu ia bercerita rantaunya keras, hidupnya terbanting dari pintu ke pintu. Ia keluarkan kekalahan berupa kota malam hari disiram gerimis tak henti. Dan ia tak berteduh sampai denting piring warung kaki lima menemaninya menyanyi. Sepanjang malam. Ketika ia buka ranselnya, bagai membuka kotak nyanyi dari cendana: lagu itu wangi bergema. Karena gema suara itu menyimpan semangat hidup yang tak lampus oleh derita, seminggu kemudian ia mantap kembali ke kota yang ia benci dan cintai itu. Beberapa anak seusia memutuskan menyusul, nanti jika padi masak dan mereka beroleh ongkos jalan. Sebab katanya—diiyakan yang lain, “Lebih baik terjaga dengan gitar di tangan, ketimbang di kampung kelewat nyaman di tidurkan seruling….”
Seseorang lain, laki-laki ubanan, mengeluarkan potongan peristiwa tanah seberang dari kain sarungnya. Tanah berbungkal ringgit, impian banyak orang. Tapi Malin Deman penuh uban—kerap dipanggil si Malancau—yang berangkat anak-beranak, tetap kembali (tepatnya, di kembalikan) karena dianggap pendatang haram. Padahal bertahun-tahun ia berusaha secara halal di sana. Maka keraplah ia bercerita yang sudah menjadi rahasia lepau, tapi tetap mencipta keriuhan. Bahwa di kota rantauannya, ia pernah melempar sebuah kapal dengan sisa onde-ondenya yang tak habis terjual. Kapal itu akan memulangkan dirinya dan orang-orang senasib, melintasi selat sempit yang memisahkan daratan serumpun (Malancau menyebut bangsa “serumput” sebab rumput tetangga selalu lebih hijau). Dan sebelum kapal itu dinaiki, ia melemparnya geram. Ajaib, kapal itu karam!
“Apa sayakah yang besar, Saudara?” tanyanya seperti pemain sandiwara yang terancam dilupakan. Mereka yang belum tahu kunci jawaban—serombongan anak muda pemain poker—menjawab, “Wah, onde-onde Pak Malin kebesaran, pantas tak ada yang beli!” Kata yang lain, tenaga si pelemparlah yang besar. Yang lain bilang, kegeraman Pak Malin yang besar, persis pelempar poker “dibom” pemain lawan! (O, maafkan anak-anak muda yang baru mencecahkan pantat di kursi lepau, belum cukup tahu rahasia hidup di rantau).
Maka seorang bujang lapuk yang tahu belaka adat permainan segera menjawab—seolah memberi tahu anak-anak muda yang sehijau daun pisang pembungkus lepat itu untuk tidak ke lewat tegang, “Mulut Malancau yang besar!” katanya. Seketika meledaklah sorak-sorai dan gelak-tawa, bagai riuh sebuah kota menyambut hari raya.
*****
BEGITULAH, kota-kota rantauan merasuk dan berbaur dalam cerita keseharian. Tak hanya lewat keluh-kesah beratnya hidup di negeri orang, juga lewat gelak-tawa yang membuat siapa pun lupa sejenak pada derita. Lewat cara itu kota-kota menyelinap ke setiap kepala di kampungku; anak-anak putus sekolah atau tamat sekolah, sama saja. Di kepala bapak-bapak yang punya dua anak cukup atau setengah lusin anak belum merasa cukup, apa bedanya. Ibu-ibu yang ingin hidup lebih baik, meski pulang dengan nasib tak berubah. Maka jangan heran, tak lama berselang seseorang yang tadi hanya mendengar nama sebuah kota, akan datang menjelang. Bahkan ada yang ikut sejak si pembawa koper kembali ke kota rantauan, di antara kardus dan bingkisan. Mereka yang mem bayangkan akan menyaksikan; yang mendengar jadi orang yang didengarkan. Kota-kota pun tumbuh di antara cerita, harapan, dan impian.
Aku suka mendengarkan; maklumlah, sampai usia selewat remaja, aku belum punya pengalaman rantau. Maka kubangun bayangan kota-kota rantauan di kepala, jauh sejak kanak. Ini membuat aku tahu bahwa nama sebuah kota berpengaruh tak hanya di kepala anak-anak yang ingin mengepak terbang, juga pada mereka yang lebih dulu menghilang. Sebab sejujurnya, kota-kota itulah yang kelak memiliki persinggungan nyata dengan hidup mereka. Banyak kota di dunia ini, tapi bagi orang kampungku hanya ada kota tertentu yang mereka jelang sesuai kemampuan. Tidak lebih. Mereka banyak tak berijazah serta tak punya keahlian khusus, maka mereka sadar menerima posisi sebagai pekerja kasar, bertukang atau bertani, tak jauh beda dengan keadaan di kampung kami. Dan itu artinya, kota-kota rantauan mencerminkan kehidupan asal perantaunya.
Ada pula sebagian kecil merantau karena tugas, yakni tentara yang dinas di berbagai kota. Dan kota itu hanya miliknya. Sebab tak mungkin seseorang tanpa ikatan dinas menyusul. Sulit bagi mereka bersama di lapangan, membangun kota rantauan dari nol. Tapi bagaimanapun, nama-nama kota dinas itu tetap menggemaung di kampungku, terlebih jika kakak-adik-sahabat kita semua terus naik pangkat. Medan, Rengat, Muara Enim, Bang kinang. Juga Jakarta, Jogja, Bandung. Tak lupa Aceh dan Timor Timur. Anas, Si’ap, Ujang, Busral, Syamsu Anwar, Japri, Anwar Muis. Itu sederet nama kota dan perwira tercinta yang membuat cerita tak ada habisnya. Aku sendiri akhirnya menempuh “rantau salek” (rantau yang tak banyak didatangi orang) yakni ke Bali. Meski bukan persis dari kampungku, tetap saja di mana-mana ada “urang awak” —ingatlah lelucon rumah makan Padang di bulan! Sehubungan membaiknya ekonomi dan pendidikan, satu per satu ada yang pergi karena kuliah. Terutama ke Jogja, meski jumlahnya tetap bisa dihitung jari. Mereka sebenarnya sama dengan “perantau dinas”, tapi ada yang langsung membangun kota rantauannya begitu tamat.
Jadi, kota-kota rantauan memiliki sejarah, periode dan akhirnya nasibnya sendiri.
*****
KOTA rantauan yang pernah gemilang di kampungku adalah Tanjungkarang, lewat nama Haji Oyong yang merantau setelah menjual kerbau curian. Ia bertengkar dengan mamaknya, Bagindo Tais, yang suka menggadai pusaka. Oyong nekad mencolong seekor kerbau jantan milik sang mamak. Uangnya dipakai hari itu juga untuk pergi jauh. Bagindo mengamuk, tapi tak berdaya mendengar nama ujung pulau sebagai tujuan sang ponakan. Serasa ujung benua, tak mungkin ia jangkau. Sang mamak berkuasa itu kian tak berdaya mendengar nama siapa yang dijelang Oyong pertama, Mua, anak seorang janda yang hampir pernah membunuhnya. Ya, ada sebuah peristiwa, nyaris berdarah: Mua menghunus parang karena mendapati ibunya diganggu sang Bagindo! Tapi demi Oyong, Mua urung mengayun parang. Maka di padang gembala tempat mereka selalu bersama, Mua berkata kepada sahabatnya itu untuk pergi jauh. “Malu,” katanya. Oyong setuju, dan berjanji akan menyusul. “Muak!” katanya pula.
Jadi, begitulah, bertahun-tahun nama Mua dan Oyong hilang dari gelanggang. Orang menduga pasti begitu jadinya, sebab mereka pergi lantaran kecewa, bisa jadi “merantau Cino”; pantang berbalik pulang! Tapi laut sakti rantau bertuah; bertahun kemudian nama Haji Oyong muncul gemilang dari Tanjungkarang. Ia sukses berdagang kain. Dari pemungut “ongkos” lapak pedagang baju dan celana, ia punya kios sederhana. “Dulu, kios ambo sebesar koper ini,” katanya ketika pulang tak terduga. Ia melap kopernya dengan sapu tangan. Rahasia kiosnya berkembang karena ia rawat selayak merawat kerbau gembalaan. Bedanya, kerbau di kampung bukan miliknya, sehingga ia mesti mencuri; di kota rantauan, kios itu miliknya, bebas ia satukan jadi toko sandang besar. Toko dua pintu, bisik orang-orang.
Sejak itu, Tanjungkarang muncul di kampungku bagai sawah menguning di sebalik gunung. Setiap anak yang menciap-ciap belajar terbang bermimpi melayang ke sana. Ya, kami ibarat burung. Kampung hanya sarang menetas, lalu enyah dari ranting dan dahan. Akhirnya semua tempat di mana pohon hayat itu tumbuh, mesti ditinggalkan. Banyak belum siap, bahkan beberapa di antara kami tak hendak pergi. Tapi, mata-mata menyelidik dan mulut yang mengusik, bagaimana mungkin didiamkan? Dan diam-diam, Tanjungkarang terus diangan, bersama perkasanya nama Haji Oyong. Betapa pentingnya Tanjungkarang, kami cukup percaya kata-kata Ujang Pingai, si ceking yang suka baca koran bekas, “Baru saja kubaca, Elyas Pi al berbelanja kebutuhan pengantinnya ke Tanjungkarang!” Elyas Pical, ahai, itu petinju kita yang sejati! Jika ia berlaga, kami rela mencarter truk ke kota kabupaten menonton siaran langsung karena televisi belum masuk ke kampung kami. Dan Elyas Pical berbelanja ke Tanjungkarang? Kami berdecak kagum mem bayangkan pentingnya kota itu. Lebih dahsyat lagi mendengar lanjutan kalimat Pingai (pasti tak ada di koran), “Kait-berkait dengan kain, Elyas Pical membelinya di toko Haji Oyong!” Decak kagum kami berkali lipat.
Begitulah, Haji Oyong lekat dengan Tanjungkarang; Tanjungkarang muncul dari nama Haji Oyong. Bila nama kota rantauan bisa dipakai bagi gelar kebesaran, Tanjungkarang cocok belaka sebagai gelarnya, menjadi Haji Oyong Tanjungkarang. Jika dalam sejarah orang terkemuka menyandang gelar daerah asalnya—Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Arsyad Al-Banjari, Maulana Maghribi—maka kini terbalik: nama kota rantauanlah gelar se seorang. Seseorang muncul (atau lahir kembali?) di kota rantauan, bukan dari daerah asal. Jadi, perlu bagi kita bercermin pada sejarah, karena bayangan cermin terbalik. Karena itu, seumpama permata, gelar rantauan jangan disimpan. Maksudku, nama perantau yang berkilau, jangan pisahkan dengan kota rantauannya, sebab takdir keduanya melekat erat seperti permata dan jari. Ini penting, misalnya jika suatu waktu kau bertanya alamat si Bidin, kau mesti menyebut yang berkaitan dengan si Bidin. Nama lengkap tentu saja, usia, atau nama mamaknya. Tapi sering itu tak cukup. “Bidin? Banyak bernama Bidin. Ponakan Markilus? Markilus tengkak atau tukang perahu?” Sebenarnya, tinggal kau tambah nama sebuah kota “Markilus Bangko!” niscaya terbukalah rahasia sebuah alamat dan dimudahkanlah kiranya kamu punya urusan.
Begitu pula dalam acara di kampung, nama kota rantauan tak luput disebut. Pembawa Lelang Kue untuk menghimpun dana surau, biasa menyindir, “Dari Tanjungkarang sudah, mana Jambi?” Maka orang yang mengatasnamakan Jambi akan menjadi-jadi. Setelah habis-habisan mengumbar uang, pembawa lelang tinggal bilang, “Wah, sebegitu saja kekuatan Jambi? Bagaimana Tanjungkarang? Lama menghilang, malu dong sama Haji Oyong!” Seseorang akan berteriak dari jendela menyebut Tanjungkarang, ditimpali yang lain, “Dua seringgit dari Kajang!” Pembawa lelang mengulang, “Dua seringgit dari Kajang,” dan menambahkan, “Jangan mau dikalahkan Ringgit!”
Pun sebelum salat Idul Fitri dimulai, nama-nama kota bergema di antara gema takbir. Takmir masjid biasa menghimpun dana—kadang sudah tinggi matahari—lantaran hari suci itu jadi ajang menunjukkan kejayaan kota-kota rantauan. Jika ada reporter TV meliput di kampungku, lalu aku ditanya, “Bagaimana perasaan Anda?” Aku akan meminjam ungkapan Oyong dan Mua, “Malu dan muak!” Tapi itu baru aku rasa pantas sekarang. Dulu, ketika TVRI hitam-putih pun tak ada di kampungku, kata-kata itu kuanggap hanya milik Oyong dan Mua, dua ekor burung tempua yang teraniaya. Dua patah kata sakti itu melontarkan mereka ke jagad rantau nyaris tiada berita, sampai akhirnya Haji Oyong muncul dengan Tanjungkarangnya!
Ada pun Mua, membangun silsilah kota rantauan lain di kampungku. Alkisah, setelah Oyong datang, Mua merasa kurang nyaman sebab bagaimanapun peristiwa ia menghunus parang tetap terbayang. Namun mereka bertahan di rumah kontrakan yang terjepit di sebuah gang. Mua pergi pagi pulang petang, bekerja di bengkel las. Sedang Oyong pergi malam hari menuju pasar, memungut uang kumal, lalu menyerahkan kepada “Abang Bos” yang mengaku pemilik tanah kosong yang disebut pasar malam Kemuning. Boleh dikata mereka jarang bertemu. Jika pun bertemu, tak banyak dipercakapkan, dan itu sungguh canggung.
Akhirnya, suatu hari, Oyong mendapati secarik kertas bertulisan, “Oyon (ini nama Oyong yang asli), awak diajak kawan naik truk malam ini ke Muarobungo, katanya ada kerja di sana.” Oyong tahu, sahabatnya itu sengaja mengurak kebersamaan. Tak lama, Mua berkabar lagi, “Oyon, saya cocok di Muarobungo, menebang kayu dan menakik getah; rasanya lebih dekat dengan pekerjaan di kampung.” Oyong tak perlu membalas, sebab secara harfiah pun, ia tahu Muarobungo memang lebih dekat ke kampung kami, di perbatasan Jambi; sedang Tanjungkarang berbatasan dengan Jawa, pulau seberang. Sejak itu, meski tidak segemilang Tanjungkarang, nama Muarobungo muncul di kampungku, diucapkan agak pelan dan hati-hati, seolah bentuk simpati terhadap nasib Mua yang berliku dan belum pasti. Tapi perlahan namun pasti, Muarobungo mulai ramai didatangi perantau dari kampungku; mereka menjadi penyadap karet, menebang kayu, dan sebagian lagi membuka warung nasi.
Tak jauh dari Muarobungo orang-orang mengikuti jejak Markilus meneruka rantau baru, Bangko. Maka ia dikenal Markilus Bangko. Karena badannya tinggi berdegap sering pula ia disebut Markilus Bangkok! Kedekatan kedua kota rantauan ini tidak hanya dari segi jarak, juga kondisi hidup dan profesi yang mereka jalani.
*****
SEBAGAIMANA Muarobungo dengan tokoh awalnya yang menyimpan sedikit kisah putus asa, Dumai muncul bersama Ismael, laki-laki pendekar yang terluka. Ia dituduh menguras gudang ikan di muara kampung kami. Sakit hati membuatnya mengamuk menggampar pemilik gudang. “Ambo miskin, tapi pantang makan isi gudang harammu!” Ismael menepuk pahanya membuat gerakan silat, sehingga Nuan, si pemilik gudang, tergeragap. Orang-orang tak berani melerai, meski Ismael tahu batas. Orang maklum kemarahan Ismael. Ia miskin dan bekerja tak serajin yang lain, tapi malam hari ia melatih anak-anak muda bersilat di belakang rumahnya. Adapun Nuan, suka membungakan uang kepada orang kampung yang tak punya pilihan. Tapi bagaimanapun, giliran polisi mesti beraksi. Mereka menjemput Ismael dan laki-laki itu merasa tak perlu membuka jurus silat Harimau Tua-nya, cukup bersilat lidah di hadapan mereka. Alhasil, polisi yang menjemput meminta Ismael pergi baik-baik.
Maka, ia pergi ke Dumai, kota panas di tepian Selat Melaka. Dulu aku tak tahu di mana letaknya. Hanya membayangkan perjalanan ke luarga Ismael anak-beranak mendadak pindah ke sana. “Perjalanan sehari semalam melewati kelok naga, masuk lubang kelam, lalu ketemu tanki panjang dan besi berjungkit,” kata ibuku. Ia sendiri mendengar cerita itu dari keluarga Uncu Udin, orang pertama di Dumai. Ke alamat Uncu Udinlah keluarga Ismael menuju. Berturut-turut setelah itu berangkat pula keluarga Pilik menuju alamat Ismael, lalu menyusul Sikis menuju alamat Pilik, dan Iyan menapaki keluarga Sikis. Begitu hubungan perantau, kait-berkait, antar-alamat. Boleh di kata mereka angkatan pertama di Dumai. Setelahnya Dumai jadi kota paling diminati. Alasannya jelas, dalam kondisi apa pun pekerjaan siap menanti: jadi penarik becak atau kuli pelabuhan.
Seiring waktu, aku mulai tahu Dumai, termasuk mengenali nama-nama imajinatif yang diceritakan ibu. Kelok naga kuduga adalah Kelok Sembilan, tikungan tajam di perbatasan Sumbar-Riau; lubang kelam adalah dua sisi bukit yang memagar jalan sebelum Bangkinang. Adapun tanki panjang dan besi berjungkit merujuk pipa minyak dan sumur angguk di ladang tambang, keduanya gampang dijumpai dari jalan Minas, Duri sampai ke Dumai. Bagi perantau kampungku itu tak penting, bagi penduduk setempat juga tidak, sebab tiada mendatangkan apa pun. Tapi Dumai soal lain. Kota ini bukan hanya jalur penghisapan minyak bumi, juga gerbang orang ke seberang. Kota transit dengan menanggung sendiri segala kesulitan dan rasa sakit. Bagi mereka yang tak punya biaya membayar tekong atau tak cukup nyali menjadi pendatang gelap, Dumai tujuan utama dan terakhir. Tapi bagi mereka yang punya nyali, Dumai hanya titik-pijak ke tanah se menanjung.
Ah, semenanjung! Ini rantauan abadi yang terus menggemaung. Sejak dulu orang kampungku “mendarat” di sana, meski kami tak tahu nama kota yang dituju. Kami menyebutnya Malaysia saja. Baru belakangan aku tahu, perantau dari kampungku terbanyak mukim di Kajang, dekat Kualalumpur dan Payajaras di Selangor. Sebagian kecil di Melaka, sebagian lain menjadi penakik getah di Pahang. Malaysia termasuk rantau lama. Pada periode awal, sekitar tahun 70-an, cuma orang-orang tertentu pergi ke sana. Aku hanya mendengar nama Zulkifli dan Marianis yang tak pulang lagi. Memasuki tahun 80-an, berangkat keluarga Subir, Leni, dan Sudin. Nama Malaysia masih sayup-sayup. Barulah tahun 90-an, orang kampungku seperti menyerbu, seiring pacekliknya sawah-ladang. Hasilnya, rumah-rumah baru menggantikan rumah-rumah kayu tua, meski kampung tetap merana. Bersamaan dengan itu pemulangan terjadi silih-berganti. Keluarga Malin Deman termasuk yang “ditendang” dan ia membalas dengan melempar kapal jawatan dengan onde-onde! Lelucon itu bagai isyarat betapa menyeberang ke Malaysia, dari waktu ke waktu, juga tak lebih lelucon ringan. “Ke Malaysia dulu, ah, mau kencing!” kata anak-anak muda pengangguran. Mereka memang gampang pulang-pergi meski tanpa hasil memadai lagi, sehingga Malaysia tidak sesakti sebelumnya, atau tak sebergairah ketika nama kota rantauan lain diucapkan.
*****
MEMANG, pada periode awal dan pertengahan, Malaysia mengalahkan Palembang, bahkan bagi perantau seperti Pak Kudun. Ia yang bekerja di penggergajian kayu Sungai Musi bersama Herman ponakannya, memutuskan pulang, meski gajinya lumayan. Ia beralih rantau, ke seberang. Begitu pun Sungaipenuh, perlahan ditinggalkan pe ladang dari kampungku. Mereka mengikuti jejak Pak Kudun. Padahal, periode 80-an sampai awal 90-an, rantau Sungaipenuh berjaya dengan kulit manisnya. Dan memasuki tahun 90-an pula, sebenarnya Malaysia mulai pudar. Ia menjadi nama umum. Maka muncul rantau alternatif seperti Jambi bagi sopir angkot dan buruh pabrik kayu lapis. Sibolga dan Air Bangis bagi pelaut serta Rumbai bagi pedagang ikan. Penghasilan mereka tak mengejutkan, tapi lebih pasti.
Memasuki tahun 2000-an, nama Malaysia boleh dikata mati suri, bahkan orang lebih suka bekerja membuka kebun sawit di Muko-muko atau Tapan di perbatasan. Anehnya, ini bersamaan redupnya kota-kota rantauan sakti terdahulu. Tanjungkarang dengan Haji Oyongnya tak lagi terbilang, bahkan tak sekalipun lagi ia pulang sebelum akhirnya kami dengar agak terlambat ia sudah meninggal. Orang-orang dari Dumai pulang dalam keadaan lelah. Penakik getah dari Bangko dan sekitarnya, diturunkan bus-bus tua yang segera meninggalkan mereka dengan debu di jalan kampung.
Patah tumbuh hilang berganti, berlaku pada kota rantauan ini. Setelah kota lama hilang atau tak diminati, muncul kota rantauan baru dengan harapan baru, juga generasi baru. Kota Pangkalan Kerinci dan Perawang di Riau, yang sebelumnya tak pernah kami dengar, tiba-tiba muncul mengisi ruang kosong peta rantau. Ini berkat pabrik bubur kertas yang beroperasi di sana. Tapi lebih dari itu, nama keduanya berkilau berkat kakak-beradik yatim-piatu dari kampungku: Afrizal dan Afrizon. Mereka yang lama menghilang, ternyata diam-diam membangun karirnya di dua perusahaan pulp terbesar di Asia Tenggara itu. Mereka memanggil Si’on dan E’ang. Selanjutnya, Si’on memanggil Busra, Busra memanggil Amri, Amri memanggil Mila. Yang lain menyusul tak tertahan. Tapi ini perusahaan, hanya bisa diakses oleh anak-anak muda yang punya ijazah. Lama-lama, karena mereka kian banyak, ijazah pun tak berguna. Yang telanjur datang enggan pulang, lalu melamar pekerjaan ke perusahaan lain, sebagian pindah kota seperti Rengat, Ujung Batu, dan Air Molek.
Proses begini persis dialami mereka di Batam. Mula-mula, satu-dua anak diterima di perusahaan, yang lain menyusul, mengepit ijazah. Sebagian diterima di pabrik dan tinggal di dormitori. Sebagian lain ke luar-masuk pabrik sebab kontrak habis atau tak cocok. Banyak yang bertahan, tapi banyak pula melirik rantau baru. Kandis dekat Pekanbaru muncul sebagai tempat berdagang baju yang dibawa dari Batam. Sebaliknya, yang akan ke Dumai atau Batam, berhenti sampai Duri, memilih membuat batu-bata, sebagian membuka toko sembako. Lalu Tapan dan Muko-muko di selatan terus tumbuh berkat kelapa sawit yang kini mulai panen. Laut di depan kampungku pun menawarkan daratan baru. Naik kapal tak sampai semalam, orang-orang bertemu Pulau Pagai dan Siberut yang sebelumnya tak dilihat.
Semua boleh berubah. Ruang-waktu labirin tipis, gampang ditembus. Tapi, kota-kota rantauan tak mesti jauh di awan, bukan? Begitulah, rantau orang kampungku justru kian dekat, ke tempat-tempat yang semula sudah dilalui, dan hanya dilewati, kini mereka singgahi. Sejauh-jauh pergi mencari penghidupan dan kejayaan, akhirnya di ketiak kampung emas murni itu ditemui. Sehijau-hijau rumput tetangga, lebih hijau-hijau padi, gambir, nilam, dan kulit manis kita semua. Kota-kota rantauan hanyalah tempat transit di mana kita berganti bus, atau memilih tinggal di terminal kota itu selama-lamanya. Lalu membangun harapan dan impian di lorong-lorongnya, bersama orang-orang datang dan pergi. Kota-kota pun ada, tak lagi sunyi, tak sebatas eksistensi diri sendiri—selamat merayakan berkah kolektif ini! (*)
Raudal Tanjung Banua, mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Jogjakarta. Salah satu buku cerpennya berjudul Parang Tak Berulu (GPU, 2005).
Posting Komentar untuk "Kota-kota Rantauan | Cerpen Raudal Tanjung Banua"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar