Tangan Rusli saling mengusap-usap, lalu ditempelkan ke pipinya yang terasa dingin. Di perhatikannya keadaan sekeliling, mengamati wajah para penumpang yang sebagian merupakan orang Indonesia yang seprofesi dengannya. Wajah-wajah yang memendam kerindunan, wajah-wajah yang menyadari makna kata pulang.
Sesekali ia melirik ke jendela, entah menatap barisan awan putih atau sekadar mendapati pantulan dirinya yang tampak samar-samar. Terkadang jendela yang sama juga merefleksikan kelebat bayangan masa lalu. Helaan napas panjang mengawali ritual Rusli akan kenangan-kenangan yang terlintas.
Rusli menerka-nerka bagaimana reaksi warga kampung mengenai kepulangannya. Masih melekat di ingatan Rusli bahwa keputusannya meninggalkan kampung halaman tiga tahun lalu demi merantau ke luar negeri berbuah cibiran orang-orang. Dalam pikiran warga kampung, TKI selalu identik dengan babu atau jongos, profesi rendahan yang dapat mencoreng nama baik kampung itu.
Pikiran warga kampung tidak salah, kenyataan berkata demikian. TKI memang tak jauh-jauh dari pekerjaan kasar macam jongos. Tapi, juga tak ada yang salah hanya karena menjadi seorang TKI. Toh, itu merupakan pekerjaan halal dan tidak merugikan siapa-siapa, jauh lebih baik ketimbang menganggur dan menjadi benalu bagi keluarga.
Rusli bukan tidak tahu, banyak teman-teman seusianya yang pergi ke kota mencari penghidupan layak dengan cara-cara yang tidak baik. Ada yang berprofesi sebagai preman pasar berkedok keamanan, pencopet di terminal, bahkan tukang minta-minta di lampu merah yang berpura-pura pincang atau buta.
Hanya saja, Rusli tak mau membela diri dengan membongkar kejelekan orang lain, terlebih jika itu melibatkan teman-temannya sendiri. Adalah Bapak, sosok yang meyakinkan Rusli agar selalu berbesar hati.
“Tak usah membongkar keburukan orang lain agar kamu terlihat lebih baik di mata warga kampung. Seburuk apa pun kamu di mata orang lain karena sebuah pilihan yang sudah diputuskan, bagi keluarga, kamu adalah yang terbaik,” kata Bapak bijak diiringi wajah teduhnya.
Rusli mengangguk takzim. Beruntung ia bisa memiliki sosok seperti Bapak dalam hidupnya.
Dalam sejarah, Rusli merupakan orang pertama di kampungnya yang berprofesi sebegai TKI. Warga kampung sempat dibuat khawatir, takut seandainya di kemudian hari banyak pemuda yang mengikuti jejak Rusli; pergi jauh meninggalkan kampung halaman hanya demi bekerja sebagai jongos.
Lebih dari itu, sikap antipati warga kampung terhadap profesi tersebut juga dilatarbelakangi oleh maraknya berita mengenai TKI yang disiksa majikan dan berujung kematian.
Lagipula, kalau sekadar jadi jongos, mengapa harus ke luar negeri. Padahal, di kota masih banyak lowongan pekerjaan kasar yang tersedia. Entah sebagai pembantu, tukang kebun, atau porter bandara. Begitulah cibiran yang terus terngiang-ngiang di telinga Rusli, sampai sekarang.
Meski kenyataannya lebih banyak pemuda kampung yang memilih jadi preman, copet, dan tukang minta-minta, pikir Rusli.
“Jauh-jauh ke Korea cuma mau jadi jongos.”
“Kamu itu pengaruh buruk buat anak muda lainnya. Gimana kalau nanti semua pemuda di kampung ini mau jadi TKI demi rupiah yang tidak seberapa?”
“Mending di kampung, ngangon kambing!”
“Rus, Rus, ke Korea itu liburan. Ini kok jadi TKI. Kalau memang terpaksa, lebih baik jadi TKI di Arab, sekalian kamu naik haji.”
“Cari mati kamu, Rus. Jadi TKI itu taruhannya nyawa lho.”
Dua tahun kepergian Rusli, kerja kerasnya menunjukkan hasil. Rusli rutin mengirimi uang ke orang tuanya. Nominal yang lebih dari cukup jika hanya digunakan biaya hidup sehari-hari. Sisanya digunakan untuk berbagai hal; merenovasi rumah, biaya sekolah adik perempuan Rusli, bahkan membeli dua buah sepeda motor.
Rumah gubuk milik keluarga Rusli di kampung tinggal kenangan. Rumah yang sebelumnya didominasi tripleks dan bilik bambu berganti bata merah yang lebih kokoh, beratap genteng yang lebih bagus, dan berhalaman luas yang difungsikan sebagai kebun. Tak ada lagi rutinitas meletakkan panci dan ember di lantai kamar atau ruangan lain karena atap yang bocor kala hujan deras.
Siapa yang tak iri atas semua pencapaian itu. Maka, cibiran-cibiran baru pun bermunculan, terdengar oleh keluarganya, dan disampaikan lagi pada Rusli dalam bentuk pesan singkat. Hal yang dikhawatirkan warga kampung akhirnya terjadi juga, para pemuda mendadak ingin jadi TKI, tetapi tak ada yang mendapat restu. Ironi, banyak yang iri pada hasil akhir, tetapi menolak berproses.
Rusli segera menampik suara-suara sumbang di telinganya. Kepulangannya tidak boleh diisi kegelisahan seperti itu. Mengapa harus repot dengan cibiran orang lain, sementara orang-orang yang mencibir Rusli tidak memiliki tanggung jawab apa-apa atas kehidupan keluarganya di kampung. Bahkan, sewaktu keluarga Rusli sedang mengalami kesusahan, tak sedikit warga kampung yang menutup mata.
Pria itu hanya ingin pulang dengan tenang, bertemu keluarganya, terlebih Bapak. Bapak yang pernah memagut tangannya saat hendak berangkat ke Korea. Bapak yang di pagi buta membantu menyiapkan keperluan Rusli. Bapak yang rela menyelipkan tabungan terakhirnya ke saku Rusli sebagai bekal perjalanan. Bapak yang menjadi segala-galanya bagi Rusli.
Jika bukan malu karena ego kelelakiannya, Rusli bisa saja mendekap tubuh Bapak erat-erat sesaat sebelum keberangkatannya, lalu menangis sesenggukan. Meninggalkan keluarga dan menyeberangi samudra di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun bukanlah perkara mudah. Apalagi mesti hidup tanpa Bapak.
“Kamu sudah dewasa. Dan orang dewasa harus menghadapi hidup dengan caranya sendiri, asal tidak merugikan orang lain. Ingat itu, Rusli,” kata Bapak memberi wejangan terakhir. “Baik-baik di negeri orang, Nak. Jangan berbuat yang tidak-tidak sehingga mencoreng nama baik negeri ini.”
“Iya, Bapak. Doakan Rusli selalu kuat di sana.” Mata Rusli berkaca-kaca, tinggal menunggu waktu sebelum air mata tumpah ruah.
“Selalu, Nak. Selalu ada doa di setiap hela napas Bapak untuk kamu.” Bapak menepuk-nepuk pundak Rusli, penuh kebanggaan.
Tangan Rusli melambai kuat-kuat di iringi derai air mata yang tak tertahankan, mengisyaratkan salam perpisahan yang begitu mendalam. Ia tak peduli orang-orang di sekitar memandanginya sambil menahan tawa, bahkan sebagian cekikikan bak orang gila. Seorang lelaki dewasa melakukan salam perpisahan seperti anak TK adalah tontonan yang mungkin menggelikan, juga tak lumrah.
Bapak bukan sekadar bapak biologis bagi Rusli, tapi lebih dari itu. Pula, bukan sosok otoriter yang setiap kemauannya harus dituruti anaknya. Bapak bisa menjadi teman, sahabat, atau bahkan musuh Rusli di saat-saat tertentu. Misalnya saja perkara shalat Jumat, ibadah rutin pekanan yang kerap mereka laksanakan secara bersama-sama saat Rusli masih menganggur.
Menurut Bapak, pakaian wajib shalat Jumat itu terdiri atas peci, baju koko, dan sarung. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku bagi Rusli. Rusli lebih suka mengenakan kaus dan celana panjang, tanpa peci. Yang terjadi kemudian, Rusli dan Bapak kerap berdebat sebelum berangkat menuju masjid.
“Peci?” Sebuah peci disodorkan Bapak, berbalas gelengan kepala Rusli. Bapak lantas memelototi Rusli.
“Nanti rambut Rusli bisa berantakan kalau pakai peci,” kilah Rusli, menyibak rambutnya dalam adegan lambat.
Rambut Rusli saat itu terbilang gondrong. Dan ia tidak mau tatanan rambutnya rusak karena mengenakan peci.
“Baju koko?”
“Panas, Pak. Enakan pakai kaus.”
“Dasar anak setan. Pakai baju koko kok kepanasan.”
“Bapaknya siapa dulu.” Rusli cengengesan, dan kepalanya langsung dipukul menggunakan peci yang tadi sempat Bapak sodorkan.
“Sarung?” Bapak mulai terdengar kesal.
“Kan sarung di rumah kita cuma satu.”
Bapak mengangguk kesal, sedikit bersungut-sungut, menyadari fakta bahwa mereka hanya memiliki sebuah sarung di rumah. Disentuh dan diperhatikannya sarung semata wayangnya itu. Lusuh dan warnanya sudah pudar.
Rusli dan Bapak lantas berjalan menuju masjid. Keduanya beriringan, bersebelahan, tetapi tak saling bicara seumpama sahabat yang sedang marahan. Bapak enggan bicara karena masih kesal, sementara Rusli bersikap hati-hati, khawatir jika nanti salah bicara lalu kena marah. Sampai di masjid, keduanya mengambil saf berbeda. Bapak berada di saf terdepan, Rusli di saf mana saja asal tidak di sebelah Bapak yang besar kemungkinan membuatnya salah tingkah.
Sampai di sini, kelucuan keduanya belum berakhir. Terlepas siapa pun yang ke luar duluan selesai shalat Jumat, salah seorang di antara mereka pasti menunggui di depan masjid, memastikan sandal mereka tidak hilang atau tertukar dengan jamaah lain seperti yang pernah dialami beberapa waktu lalu. Kemudian, mereka pulang bersama-sama, berbincang akrab setelah Rusli mencium tangan Bapak sebagai tanda hormat.
Pekan berikutnya, siklus serupa bakal terulang. Debat, tidak bicara, berbeda saf, saling tunggu, lalu pulang bersama-sama dan berbincang akrab. Begitulah hubungan Rusli dengan Bapak. Kadang panas, kadang dingin, tak bisa ditebak. Hingga kemudian di shalat Jumat terakhir sebelum keberangkatan Rusli ke Korea, sarung Bapak yang sudah lapuk itu tiba-tiba sobek di bagian tengah.
Rusli merasa lucu sekaligus miris. Lucu karena mendapati Bapak mesti mengenakan celana panjang ke masjid, hal yang seumur hidup hampir tak pernah Bapak lakukan, dan miris karena Bapak tak lagi punya sarung yang layak pakai untuk sementara waktu. Ah, kenangan yang berkelebat kian menguatkan keinginan Rusli agar bisa cepat tiba di rumah.
Turbulensi menyadarkan Rusli dari lamunan panjang. Ia segera mengencangkan sabuk pengaman, menunduk, lantas memeluk benda yang sedari tadi ada di pangkuannya, sebuah sarung untuk Bapak. Pelukan yang erat, seolah sarung itu sangat berharga dan pantas dijaga dengan bertaruh nyawa.
*****
Harum melati dan kamboja menyerbak di antara keramaian. Langkah Rusli hanya tertuju pada satu tujuan; Bapak yang ia rindukan, Bapak yang ingin ia peluk erat-erat dalam jangka waktu yang lama. Yang Rusli cari-cari kemudian ditemukan, dalam hati ia pun bersorak senang. Rusli bergegas, mendekati Bapak, dan tersuruk di pangkuannya.
Hanya tanah dan aroma yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
“Rusli sudah pulang, Pak. Pulang dengan tetap menjaga nama baik negeri ini.” Kerinduan Rusli akhirnya bisa tersampaikan.
Mata Rusli mengatup dalam-dalam. Air mata Rusli telah tandas semalam sebelumnya, tak ada yang tersisa. Ia berjanji untuk tidak menangis di depan Bapak. Pertemuannya dengan Bapak terlalu berharga jika hanya diisi oleh tangisan. Perlahan, Rusli meletakkan sarung itu di atas batu nisan Bapak.
Rusli mengenakan peci, baju koko, beserta sarung. Siang itu ia berangkat shalat Jumat bersama kenangan-kenangan yang Bapak tinggalkan. (*)
Arie Fajar Rofian, pegiat sastra tinggal di Karawang, Jawa Barat.
Posting Komentar untuk "Sarung untuk Bapak | Cerpen Arie Fajar Rofian"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar