Setiap malam ketika orang-orang terlelap dalam mimpi manisnya di kamp-kamp pengungsian, aku selalu melabuhkan sebuah lipatan angsa kertas berisi harapan. Aku melarutkannya di sebuah parit-parit kecil dengan genangan air berwarna coklat. Kemudian aku berharap angsa-angsa kertas itu akan tiba di rumah Tuhan yang terletak jauh di ujung sana. Aku selalu percaya kalau angsa-angsa kertas yang telah kuguratkan dengan bisikan doa-doa dan harapan-harapan di dalamnya akan menyampaikan salam rindu kepada orang-orang tercinta di dalam hidupku.
Begitulah kebisaan aneh ini sering aku lakukan selama beberapa waktu terakhir—setelah sebuah bencana besar melanda kota ku di pesisir pulau Jawa ini. Aku melakukan hal ini hanya ingin menyapa dan mengirimkan salam rindu pada ayah dan ibu yang kini entah berada di mana. Gempa bumi disusul banjir besar telah membawanya ke suatu tempat yang tak aku ketahui. Memisahkan kami. Bencana alam itu sudah menggulung setiap pintal kenangan di kampung halamanku. Tidak ada lagi yang aku miliki saat ini. Bahkan hangatnya tempat untuk berteduh. Semuanya raib dihancurkan nasib.
Akhirnya aku hidup sebatangkara: sebagai anak-anak korban bencana yang entah memiliki masa depan atau tidak. Maka ketika rasa rindu dan sedih itu datang bersamaan, aku selalu membuat angsa-angsa kertas yang di dalamnya telah kuguratkan harapan dan doa-doaku kepada setiap orang yang aku cintai. Malam ini pun aku kembali menghanyutkan sebuah angsa kertas di sebuah parit kecil di dekat kamp pengungsian. Hati-hati aku menyelinap keluar; membawa angsa-angsa kertas yang di dalamnya sudah aku tulis doa-doa dan harapanku. Aku menghanyutkannya dan memandang angsa-angsa kertasku terseok-seok diseret arus. Sesekali aku memejam mata; berharap angsa kertas itu sampai ke rumah Tuhan.
*****
Kamp-kamp pengungsian tampak murung. Banyak orang yang kehilangan akibat banjir. Pekik tangis seakan menjadi pemanis kamp pengungsian itu. Mungkin juga teriakan tangis itu sudah menggumpal dan memenuhi setiap sudut tempat ini. Aku hanya termenung menyaksikan kepiluan demi kepiluan yang datang silih berganti. Bahkan setiap hari selalu bermunculan wajah-wajah pucat tanpa nyawa, yang menjadi korban bencana. Tubuh-tubuh yang telah koyak atau setengah busuk terlihat sangat mengerikan. Tubuh-tubuh itu mungkin sudah tertimbun lumpur beberapa hari dan pasrah menunggu untuk lekas diselamatkan.
Namun hingga kini aku belum juga bertemu dengan sosok ayah dan ibu. Aku tak tahu apakah mereka masih hidup atau telah membusuk di dalam tumpukan lumpur seperti tubuh-tubuh lainnya. Memang, betapa berat hidup dengan terus memanggul kegelisahan seperti ini. Setiap hari aku seakan hanya menunggu sebuah kabar murung yang mungkin saja datang terlambat. Maka, hanya dengan angsa-angsa kertas itu aku menyampaikan doa-doa dan harapan. Aku menyampaikan semua angan semoga mereka semua masih hidup dan kini sedang memikirkanku.
Siang ini pun—setelah lama menunggu—hal yang aku harapkan tak juga datang. Malah yang datang padaku hari ini adalah kesedihan berupa kenangan atas ayah dan ibu. Mereka seakan hadir waktu aku melihat setumpuk mayat yang bergelimpangan di kamp. Aku seperti melihat sosok ayah dan ibu yang menggelepar tiada daya di sana. Namun ketika aku pastikan lebih lanjut, sosok itu bukan mereka. Tubuhku menjadi lemas. Lamat-lamat air mataku menetes. Aku pun lari ke dalam barak pengungsian; duduk seorang diri; memintal angsa-angsa kertas dan menuliskan doa di dalamnya.
Setelah tujuh angsa kertas itu selesai aku buat. Aku pun bergegas menuju sebuah parit kecil yang setiap waktu tak jemu melabuhkan doa-doaku. Sebelum aku melarutkan angsa-angsa kertas itu, aku memeluknya beberapa menit. Aku kemudian melepaskannya seraya arus air membawanya. Air mataku pun kembali jatuh ketika melihat angsa-angsa kertas itu menjauh membawa doa-doaku.
“Tolong sampaikan pada Tuhan kalau aku begitu sedih dan ingin dipeluknya!”
Aku termenung beberapa saat seraya mengutuk nasib buruk ku. Mengapa aku tak direnggut serta dalam bencana itu? Tiba-tiba dadaku terasa begitu sakit, air mataku semakin deras mengalir.
“Mengapa kau ciptakan kesedihan ini, Tuhan?”
Angsa-angsa kertasku sudah jauh pergi. Namun kesedihan di dalam hatiku tidak mau berlalu. Kesedihan itu bahkan terasa mengental dan memberatkan dada.
*****
Tujuh hari telah berlalu, tetapi keajaiban yang aku tunggu belum juga datang. Di barak pengungsian, kini semakin banyak kesedihan. Wajah-wajah pengungsi tampak lelah dan putus asa. Barangkali mereka juga memiliki nasib yang sama sepertiku—menunggu sesuatu yang tak pasti. Setiap hari semakin banyak wajah-wajah pucat tanpa nyawa yang bergelimpangan. Pekik tangis tak pernah surut mendengung. Bahkan beberapa hari yang lalu ada seorang wanita yang nekat mengakhiri hidup karena tahu seluruh keluarganya telah mati terenggut bencana. Aku pun tak lelah mengirim doa-doa dan harapan dengan angsa-angsa kertas itu.
“Tolong antarkan mereka kembali kepadaku, Tuhan,” kataku sebelum menenggelamkan angsa-angsa kertas itu. “Tolong berikan kedamaian pada setiap orang di sini.”
Angsa-angsa kertas itu aku labuhkan; membiarkannya tersuruk-suruk dibawa air kali. Namun, tanpa sengaja melintas di benakku: Apakah angsa-angsa kertas itu akan sampai ke rumah Tuhan? Apakah angsa-angsa kertas yang membawa doa-doa itu tersesat di jalan? Aku tak tahu. Aku hanya berharap angsa-angsa kertas itu menyampaikan salam rindu dan doa-doaku kepada Tuhan.
*****
Hari terus berganti dan semakin menumpuk kesedihan di barak-barak pengungsian. Sudah tidak terhitung wajah-wajah tanpa nyawa setiap hari ditemukan. Namun aku belum juga menemukan sosok ayah dan ibuku. Apakah mereka masih hidup atau telah membusuk di kubangan lumpur? Air mataku kembali mengalir. Aku kembali membuat angsa-angsa kertas kemudian melabuhkannya di sebuah parit kecil dengan arus yang cukup deras. Namun tiba-tiba, sekali lagi melesat di pikiran kalau angsa-angsa kertas yang aku kirim itu tak ada gunanya. Angsa-angsa kertas itu tak akan pernah sampai ke rumah Tuhan. Aku kembali menangis meratapi kebodohan.
“Mungkin, Tuhan tak pernah mendengarkan doa-doaku,” pekikku sesenggukan. “Angsa-angsa kertas itu tak akan pernah sampai ke mana pun.”
Begitulah. Sepanjang hari yang murung itu aku termenung di sebuah pohon yang tak jauh dari kamp pengungsian. Aku meratapi segala kemalangan yang menimpa serta doa-doa yang tanggal entah ke mana. Hujan pun turun perlahan. Aku menatap ke tenda-tenda pengungsian yang telihat suram. Tak putus terdengar dengung sirine ambulan yang membawa mayat-mayat dan korban yang berhasil diselamatkan. Namun, mendadak di balik sebuah gerimis yang turun pelan, aku melihat sepasang sosok yang berjalan sambil bergandengan tangan. Mereka melangkah ke arahku. Sepasang senyum itu merekah indah—menyambutku.
“Kau pasti sudah lama menunggu?” Sahut sepasang sosok itu. “Maafkan kami sudah membuatmu gelisah karena harus menunggu.
Tubuhku bergetar melihat sepasang sosok yang tampak mesra dan hangat itu berdiri di depanku. Aku setengah tak percaya ketika sepasang tangan merangkul dan memelukku. Akhirnya setelah berhari-hari aku menunggu, mereka datang juga.
“Ayah dan ibu memang ke mana saja?” Sahutku berlinang air mata. “Aku merindukan ayah dan ibu.”
“Ayah dan ibu hanya pergi sebentar,” sahut mereka kompak.
Aku menatap wajah mereka yang pucat. Mereka seakan tampak lelah. Sepasang mata mereka tampak putus asa. Namun, aku masih merasakan kehangatan yang sama ketika berada di dalam pelukan mereka. Aku kembali menangis.
“Kau tidak perlu menangis?” Sahut ibu tersenyum riang. “Kau hanya perlu belajar mengikhlaskan?”
“Maksudnya?” Aku menatap wajah ayah dan ibu. Mereka sama sekali tak menjawab.
Mereka mengajakku ke sebuah tempat yang cukup jauh. Namun, aku tahu ke mana mereka membawaku. Mereka membawaku kembali pulang ke sebuah tempat di mana kami dahulu tinggal.
“Tuhan tak pernah meninggalkanmu,” sahut ayah ketika kami sampai di sebuah puing-puing rumah yang terendam lumpur. “Tuhan selalu mendengar doa-doamu.”
Hujan mendadak menjadi deras ketika sepasang sosok itu tanpa aku duga menghilang. Aku pun tergeregap. Kini di hadapanku malah ada ratusan angsa kertas yang terbangan penuh cahaya. Angsa-angsa dengan cahaya keperakan itu melayang dan hinggap pada puing-puing kayu yang roboh. Angsa-angsa kertas itu juga membawa seonggok tubuh tanpa nyawa yang tampak pucat dan koyak berlumuran lumpur. Aku mengenal wajah-wajah itu. Wajah itu adalah milik ayah dan ibu yang aku rindukan. Tiba-tiba aku ingin menangis. Namun entah mengapa air mataku tak dapat keluar. (*)
Posting Komentar untuk "Angsa-angsa Kertas | Cerpen Risda Nur Widia"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar