Setelah menegur lembut muridnya yang bernama Markiso, Pak Pandiko kembali mengalirkan arus ilmu pengetahuannya yang sempat menggedor-gedor dinding mulut karena sejenak berhenti. Maka diterangkanlah materi ihwal perkembangan awal suatu tumbuhan, yaitu tahap pembelahan sel, morfogenesis, dan diferensiasi seluler. Secara ilmiah, ketat, dan sistematis, Pak Pandiko menerangkan tiga tahap perkembangan awal tumbuhan tersebut kepada para murid-muridnya.
PAK Pandiko sebenarnya paham betul kalau murid-murid tak mengerti apa yang ia jelaskan. Terutama karena banyak istilah ilmiah yang sengaja ia ucapkan. Kediaman dan anggukan murid-muridnya adalah kamuflase ketidakpahaman. Namun, menurut Pak Pandiko, dunia memang sedang berada pada puncak peradaban, di mana cara berpikir manusia di dalamnya senantiasa ilmiah. “Ini harus dipertahankembangkan,” pikir Pak Pandiko. Manusia harus objektif. Begitulah landasan berpikir Pak Pandiko. Landasan ini pula yang ia pegang dalam menuangkan materi di kelas. Soal ketidakpahaman murid-muridnya, bagi Pak Pandiko, hanyalah sebuah proses yang diyakini akan berujung pada terciptanya manusiamanusia logos, manusia yang selalu berpikir dengan nalar, manusia yang berpikir objektif.
“Markiso?”
Pak Pandiko terpaksa kembali berhenti bicara soal materi. Ia melihat, Markiso tak memperhatikannya untuk kedua kalinya.
Markiso gelagapan, membuat kacamatanya berubah letak. Ia sadar kalau tadi dirinya melamun lagi.
“Apa yang kamu lihat di papan tulis itu?” tanya Pak Pandiko.
Markiso membenarkan letak kacamatanya. Lalu menatap Pak Pandiko.
“Apa kamu punya masalah?” tanya Pak Pandiko sekali lagi.
Markiso hanya diam dan menggeleng.
“Lalu kenapa kamu melamun terus?”
Markiso termenung. Tadi dirinya sempat membayangkan kalau di atas papan tulis, gambar burung garuda itu benar-benar hidup. Burung itu melintas melintas di udara. Ia turun menukik mendekati muka sungai yang airnya jernih. Di permukaan air sungai itu sesekali melintas berbagai jenis capung. Di tepi sungai, ada batu. Dia atas batu lembab itu ada banyak kupu-kupu warna kuning. Di pinggir sungai, ada orang memancing. Itu bukanlah corat-coret tentang materi pelajaran belaka, tetapi lebih seperti sulur-sulur akar tanaman. Ia lihat kemudian, warna akarnya berubah agak putih kecokelatan. Sesekali, di sela-sela akar itu ada ikan kecil seperti ikan gupi dan ikan-ikan berwarna perak yang mirip acang-acang. Markiso sukar memberitahu itu semua pemandangan itu kepada Pak Pandiko. Ia takut jadi bahan olok-olok. Akan dianggap aneh.
“Markiso, saya bertanya pada kamu; kenapa kamu melamun terus?”
Markiso gelagapan. Mulutnya tergagap. Markiso gugup. Manik-manik keringat tumbuh di keningnya.
“Jawab, Markiso. Kenapa?”
Terasa betul seperti ada gembok yang mengunci mulut Markiso. Sementara itu, Pak Pandiko berkali-kali bertanya, berharap dirinya mengucapkan sesuatu. Tetapi memang apa pula yang akan dikatakan dirinya. Markiso tak tahu apa yang akan ia ucapkan.
“Maaf, Pak,” akhirnya Markiso berkata.
“Ya, Bapak tahu. Tapi kenapa kamu melamun?”
Tentu Markiso makin bingung hendak menjawab apa. Dan karenanya, Markiso hanya bisa bilang:
“Maaf, Pak. Saya tak akan mengulangi.”
Melihat mata muridnya itu, Pak Pandiko merasa trenyuh. Matanya polos. Meski di sisi lain dirinya cukup sakit hati kalau tidak diperhatikan oleh Markiso, kesabarannya lebih tebal. Oleh karena itu, ia hanya menyarankan Markiso untuk memperhatikan pelajaran lagi.
“Tapi ingat, jangan kamu ulangi. Kamu akan jadi anak ketinggalan zaman kalau tidak memerhatikan pelajaran,” kata Pak Pandiko kepada Markiso.
“Iya Pak.”
Markiso kembali mencopot kacamatanya. Dibersihkannya lagi bagian lensa itu dengan ujung lengan bajunya yang putih, dan karena putih, debu pada lensa membuatnya belepotan warna abu-abu. Debu dari jalan raya di dekat kelas telah membuat pandangannya kabur, pikir Markiso.
Materi tentang tumbuh kembang tanaman pun terus diterangkan Pak Pandiko dengan lancar. Pak Pandiko mulai menerangkan pula jenis-jenis tanaman air dan tanaman yang hidup di daerah tropis. Informasi terkait usia berbagai jenis tanaman, pemanfaatan-pemanfaatan manusia terhadapnya, hewan apa saja yang tergantung pada tanaman tersebut, pengaruh sebuah tanaman terhadap kondisi alam dan manusia, dan lain-lain. Dan, untuk ketiga kalinya…
“Markiso!!!” suara Pak Pandiko menggelegar.
Markiso segera digelandang secara kasar oleh Pak Pandiko. Markiso memelas meminta maaf. Murid murid melongo melihat peristiwa itu. Murid-murid di kelas lain bersorobok di balik kaca jendela.
“Markiso!” sengat Pak Pandiko di ruang perpustakaan yang sepi, “Saya harus sesabar apalagi! Hah?! Kamu sama sekali kurang adab! Sudah saya bilang, dilarang melamun di kelas! Kamu masih saja melamun! Tidak sopan!”
Pak Pandiko memberondongi Markiso dengan kata-kata penuh kesal. Sementara Markiso hanya menenggelamkan mukanya pada kedua lulutnya yang gemetar. Perasaan bingung menyergapnya. Ia sungguh tak mengerti mengapa imajinasi-imajinasi didalam kepalanya begitu liar. Ia merasa, imajinasi tersebut datang tiba-tiba, lalu dengan cepat dan tanpa disadari telah membawanya pada dunia lain, dunia yang bertolak belakang dengan harapan Pak Pandiko.
Setelah dirasa semprotannya cukup membuat jera Markiso, Pak Pandiko akhirnya menghukum muridnya yang suka mengabaikan pelajaran itu dengan tugas. Tugasnya adalah membawa tanaman.
“Kalau tidak didalam air, ya diatas air, kalau tidak ada, ya tanaman lembap saja yang hidup di sekitar sungai. Paham?”
Markiso mengangguk pelan.
Tak lama setelah itu, Pak Pandiko pun lekas menuju kelasnya. Dengan perasaan yang masih menyisakan asap kesal.
Mata Pak Pandiko memandang sekitar sekolah. Dunia dirasakannya telah berubah begitu cepat. Dulu, sekolahnya dikelilingi alam yang indah dengan hawa sejuk. Hamparan sawah yang hijau, selalu menyenangkan perjalanan pulang dan perginya, membuatnya tenang dan sabar dalam mengajar. Tetapi sekarang, yang menyelimuti sekolahnya adalah gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan aspal yang menguapkan hawa panas serta gatal.
Terpekur sejenak akan kenangan masa lalu, akhirnya membuat Pak Pandiko berbalik arah. Pak Pandiko merasa, sikapnya terhadap Markiso terlalu berlebihan. Barangkali Markiso adalah korban dari perasaannya yang sedang tak keruan.
“Nak,” sapa Pak Pandiko lembut kepada Markiso, “Loh, loh, loh, kenapa menangis…?” Pak Pandiko kaget karena Markiso memeluknya tiba-tiba.
“Tugasnya susah, Paaaak. Di dekat rumahku yang baru kini hanya ada selokan! Airnya hitam. Banyak sampah. Bau,” rengek Markiso sambil menepuk dada gurunya itu, “Jangan itu. Ganti saja. Ganti saja, Pak. Aku mohon…”
Tergeruslah hati Pak Pandiko. Ia sekali lagi tersadar kalau pembelajaran kontekstualnya, dimana ia sering membawa muridnya ke alam bebas, juga ikut berubah. Pembelajaran menjadi menyempit serta menuntut modal; kalau harus wisata pendidikan, sekolah membawa muridnya ke kebun binatang, ke museum, ke ruangan tertutup di mana ruang antariksa buatan dapat dinikmati, ke taman buatan, dan kalau belajar di kelas, paling sering melihat-lihat buku.
Dan, bagi Pak Pandiko, tugas Markiso semacam itu di zaman sekarang, cukup berat dirasakan. Barangkali pula, kata hati Pak Pandiko, mungkin alasan mengapa Markiso sering melamun adalah karena ia rindu rumahnya yang dulu, yang dekat dengan sungai, tempat ia biasa membantu orangtuanya mencari ikan dan kijing, tempat ia mandi bersama teman-temannya. Tetapi, jalan tol terpaksa membuat mereka pergi dari tempat yang sudah turun-temurun dihuni itu. Begitulah kabar ketika pertama kali sepasang ibu dan bapak menitipkan Markiso kepadanya. Lagi-lagi, Pak Pandiko menyadari, kalau lingkungan keluarga pun tak luput dari perubahan.
“Kumohon jangan tugas itu, Pak! Kumohon!” Pak Pandiko memeluk lebih erat Markiso.
“Tidak, Nak. Tidak akan.” *
Posting Komentar untuk "Dilarang Melamun di Kelas | Cerpen Andi Wikono"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar