Kutatap ibu sedih. Lebam di pipi kirinya tampak baru. Ibu biasa menyebutnya sebagai “hadiah dari ayah”. Meski berulang kali kukatakan bahwa aku ingin sekali memprotes lelaki itu, tetapi ibu selalu melarangku untuk bicara dengan ayah. Ibu selalu menyuruhku bersabar seperti dirinya. Ibu tersenyum padaku. Kuterima sabun pemberian ibu dan berusaha mengalihkan perhatian dari lebam di pipinya.
Kata-kata ibu terbukti benar. Ketika buih-buih sabun berwarna biru itu memenuhi telapak tanganku, aku menghidu aroma asin laut. Semilir angin meniup anak rambut di keningku. Aku melihat debur ombak berkejaran dalam bak mandi seperti sebuah keajaiban. Aku merasa kegirangan karena akhirnya aku dapat melihat laut.
Sejak saat itu, aku selalu menantikan waktu untuk mandi. Kadang-kadang, aku dapat melihat ikan-ikan yang berenang di antara karang atau peri laut yang melambaikan tangan padaku dari kejauhan. Menurutku, peri laut berniat mengajakku untuk tinggal bersamanya. Aku memang sangat ingin pergi ke laut, tetapi aku telah bersumpah takkan pernah meninggalkan ibu.
Ibulah yang kemudian meninggalkanku untuk selamanya. Suatu siang sepulang sekolah, aku melihat tubuh ibu telah terbujur kaku. Ibu dikelilingi orang-orang yang riuh menangisi kepergiannya. Anehnya, ayah justru tidak meneteskan air mata seperti orang-orang itu. Ia hanya duduk mematung di sisi ibu.
Melihat sikap ayah, aku memutuskan untuk tidak menangis. Kutinggalkan keriuhan itu dan pergi ke kamar mandi. Tiba-tiba, aku ingin mandi dengan sabun mandi berwarna biru pemberian ibu. Aku sangat merindukan ibu. Namun, meski aku menciptakan buih-buih sabun hingga beterbangan ke udara, tidak ada lagi debur laut atau semilir angin. Aku juga tak dapat melihat laut, karang, atau peri. Mungkin arwah ibu telah pergi ke dunia laut. Kukira, ibu telah pergi bersama peri laut. Karena itulah, dunia laut menghilang bersama kepergian ibu.
Setelah ibu pergi, hidupku menjadi muram. Tak ada sesuatu atau seseorang yang bisa membuatku bahagia, baik ayah atau sabun mandi berwarna biru pemberian ibu yang akhirnya kusimpan baik-baik dalam lemari. Aku merasa seperti bunga dandelion. Rapuh. Sewaktu-waktu dapat lenyap tertiup angin. Meski begitu, aku memilih bertahan mengarungi waktu. Hingga ayah juga pergi meninggalkanku karena memilih hidup bersama seorang perempuan yang tak secantik ibu.
Kupikir, keajaiban takkan pernah lagi menghampiri hidupku. Hingga pada suatu pagi, selembar undangan putih bercorak bebungaan terselip dibawah pintu rumahku. Undangan itu berbunyi: undangan untuk mereka yang ingin memusnahkan kenangan.
Aku menduga, undangan itu tak lebih dari pekerjaan orang iseng. Rasanya, tak mungkin ada undangan seperti itu. Kubalikkan lembar undangan dan menemukan denah lokasi yang menunjukkan bahwa pemusnahan akan diselenggarakan di rumah pemusnah kenangan. Setelah memikirkannya berulang kali, aku memutuskan untuk mengabaikan undangan yang berakhir di tong sampah itu. Hingga seminggu kemudian, undangan serupa kembali terselip di bawah pintu. Isi undangan kali ini berbunyi: undangan terakhir bagi mereka yang ingin memusnahkan kenangan.
Kalimat dalam undangan itu terasa mengancam. Datanglah, atau kau akan menyesalinya. Kubawa undangan itu masuk ke dalam rumah dan memikirkannya seharian. Kalimat yang tertulis pada undangan itu terus menari-nari dalam benakku. Hingga akhirnya, kalimat itu terus berdengung di telingaku dan menghantui mimpiku.
Keesokan harinya, kuputuskan untuk memenuhi maksud undangan itu. Kubaca kembali undangan itu dengan cermat, terutama denah jalan agar tidak tersesat. Setelah yakin, aku meninggalkan rumah dan menuju jalan raya. Setibanya di jalan raya, aku menuju stasiun kereta api lalu naik kereta pukul sembilan lewat lima belas menit seperti yang tertera dalam undangan. Kereta api yang kunaiki hanya terdiri dari empat gerbong dan dipadati penumpang. Karena penasaran, aku berniat mencari tahu perihal undangan itu dari para penumpang.
“Permisi… boleh aku bertanya?” sapaku pada seorang gadis seusiaku. Gadis berwajah muram itu duduk di sebelah kiriku. Sepasang matanya tampak bengkak dan memerah. Mungkin gadis itu sedang bersedih.
Gadis itu menolehku padaku. “Ya?”
“Apakah kau naik kereta ini karena menerima undangan untuk memusnahkan kenangan?”
Gadis itu tampak heran. Keheranannya membuatku merasa seperti seseorang yang baru saja mengajukan pertanyaan bodoh.
“Bukan hanya aku, tapi semua orang dalam kereta ini,” jawabnya datar.
Sudah kepalang tanggung. Kuputuskan untuk bertanya lebih lanjut. “Maaf, boleh aku bertanya lagi? Kau tahu maksud dari memusnahkan kenangan?”
Gadis itu memandangku kesal. “Kau memutuskan naik kereta ini karena sudah mengetahuinya, kan?” Ia lalu membisu dan membuang pandangan ke luar jendela.
Aku terdiam. Benarkah apa yang dikatakan oleh gadis itu? Aku memikirkan hal itu selama perjalanan. Kereta api meliuk-liuk di antara bukit-bukit tandus dan hutan yang meranggas. Orang-orang dalam gerbong tak banyak bicara. Semuanya hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga akhirnya, kereta berhenti di sebuah stasiun kecil.
“Kita sudah tiba di tujuan. Semua penumpang diharapkan turun. Kita akan berjalan kaki menuju rumah pemusnah kenangan.” Suara pemberitahuan terdengar lewat pengeras suara.
Aku turun bersama penumpang lain dan berdesakan menuju antrean di depan stasiun. Seorang pengarah memberi aba-aba agar kami berbaris teratur. Kami lalu berjalan kaki menuju tujuan kami, rumah pemusnah kenangan.
Rumah yang kami tuju ternyata berada tak jauh dari stasiun. Sebuah plang kayu bertuliskan “Rumah Pemusnah Kenangan” terpasang di depan rumah berhalaman luas itu. Setiap orang dipanggil memasuki rumah itu secara bergiliran. Aku menunggu giliran dengan perasaan cemas.
“Minara.” Namaku akhirnya dipanggil. Aku melangkah masuk dengan hati berdebar. Ruangan yang nyaris kosong menyambutku. Hanya ada meja hitam dan sebuah kursi kosong di depannya, serta tiga lelaki dengan ekspresi datar yang duduk berbaris seperti hakim pada persidangan di belakang meja itu.
“Duduklah.” Salah seorang dari mereka menyilakanku duduk kursi kosong. Aku duduk berhadap-hadapan dengan mereka.
“Katakan pada kami, kenangan apa yang ingin kau musnahkan selamanya?” Salah seorang dari tiga lelaki itu bertanya padaku.
Aku mengenang ibu, ayah, dan saat-saat kehilangan dunia laut. Ketika aku menatap mata lelaki yang bertanya padaku, kutemukan jawaban yang sesungguhnya. “Segalanya. Aku ingin menghapus segala kenangan tanpa sisa.”
Mereka tampak terkejut mendengar jawabanku. “Segalanya?” Lelaki yang duduk di tengah memastikan jawabanku.
“Ya.” Sekarang aku yakin bahwa aku harus memusnahkan segalanya agar terbebas dari kenangan yang menyesakkan.
“Baiklah, ulurkan tanganmu,” suruh lelaki yang pertama menanyaiku. Kuulurkan tangan kananku. Ketika tanganku menyentuh telapak tangan lelaki itu, kurasakan ketenangan dalam diriku.
“Pejamkan matamu, aku akan menghapus kenangan yang kau miliki.”
Aku memejamkan mata. Satu per satu kenangan masa lalu melintas seperti pemutaran sebuah film. Lebam di wajah ibu, sabun mandi berwarna biru, orang-orang yang menangisi kepergian ibu, wajah ayah, semuanya terasa nyata. Lalu aku melihat dunia laut yang kurindukan. Hamparan pasir, karang, debur ombak, dan peri laut yang melambaikan tangan padaku dari kejauhan. Kali ini, sosok peri laut terlihat lebih dekat. Aku dapat melihat jelas senyum di wajahnya. Aku terkejut dan berteriak. Berhenti! Terlambat. Peri laut lenyap dari kenanganku. Peri laut itu ternyata ibuku.
Posting Komentar untuk "Rumah Pemusnah Kenangan | Cerpen Fitri Manalu"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar