Iklan Atas

Blogger Jateng

Tikus Raskin | Cerpen Catur Pelita


Musim baratan tiba. Masa-masa paceklik untuk para nelayan. Ombak dan angin kencang menyurutkan niat melaut. Hanya beberapa nelayan yang nekat berangkat, bertaruh nyawa demi mencari pendapatan. Meski terkadang setelah bertaruh nyawa, hasil yang didapat tak setara.

Bahkan mereka terkadang terpaksa pulang dengan tangan hampa. Beruntung jika mendapat tangkapan ikan sebiji barang dua biji bisa untuk lauk. Jika sedang apes, tak seekor ikan pun menyangkut pada jaring. Jika begini kenyataannya, para nelayan hanya dapat mengeluh. Untuk nelayan yang taat sembahyang, mereka berpikir jika rezeki kuasa Tuhan.

*****

Warman dan Mono terlihat semringah, senang dan bungah ketika mendapat raskin. Pagi berembun uap laut itu bersama puluhan warga nelayan miskin di kelurahan Ujung Laut mereka mengambil beras raskin di balai desa. Masing-masing KK mendapat jatah 5 kilogram.

Pada wajah mereka setitik sinar berbinar. Musim baratan. Nelayan tak berani melaut.

Tak ada ikan yang ditangkap berarti tak ada pendapatan. Beruntung nelayan yang punya keahlian selain mencari ikan. Istilahnya mereka bisa kerja di darat. Entah nukang kayu, ikut proyek, atau sekadar kuli panggul. Namun untuk mencari kerja tak semudah membalik telapak tangan. Juga tak semua nelayan mampu kerja di darat. Kebiasaan bekerja di laut, membuat mereka merasa lebih asik kerja di laut daripada di darat. Sebagaian besar mereka hanya memiliki keahlian menangkap ikan. Ibaratnya kerja di laut tinggal menebar jaring, tanpa perlu memanen ikan. Padahal untuk pergi ke laut, mereka juga butuh solar asupan perahu dan bekal nasi atau roti untuk penguat energi si nelayan.

Ketika musim baratan tiba untuk makan sehari-hari, sebagian besar nelayan menjagakan tabungan, pinjaman tengkulak, atau ngutang di warung. Mendapat beras raskin mereka bisa sedikit bernapas lega.

“Pemerintah mengerti kesulitan kita,” gumam Kang Warman sembil menyeruput kopi pahit di warung Yu Jenah, janda beranak lima, yang suaminya, seorang nelayan hilang ditelan gelombang lautan musim baratan. “Setiap musim paceklik kita mendapat bantuan raskin.”

“Seandainya tak hanya setahun sekali. Paceklik kan berbulan-bulan,” keluh Lik Baidi sambil mengambil sepotong combro. Warung Yu Jenah, di bibir laut, menjadi tempat nongkrong nelayan usai melaut. Sekadar ngopi, menikmati gorengan dan ngobrol tentang hal-hal sehari-hari. Persoalan kehidupan yang tak lepas dari masalah ekonomi, urusan perut, hingga masalah politik urusan rebutan kedudukan dan jabatan.

“Jangan mengeluh, bersyukurlah. Dapat beras lima kilo. Lumayan. Bisa untuk lima hari kan?”

“Anak Sampeyan cuma satu, Kang, Man. Anakku banyak. Belum keponakan yang numpang.”

“Salahnya sendiri sih Kang. Punya anak banyak….”

“Bikinnya enak lhah Kang. Numan…”

Mereka tertawa senang. Yu Jenah memilih meracik segelas kopi saat tetamu warung datang. Kali ini anak-anak muda yang mampir warung setelah asik berfoto-foto di bibir pantai.

*****

Beras raskin kali ini mutunya bagus. Biasanya beras patah, kuning, banyak kerikil! Tapi siang itu seorang Sholikul menemui Warman dan mengadu…

“Dapat berapa kilo raskin, Kang Man?”

Yo, 5 kilo. Sama kan?”

“Ya, Lik. Tapi Si Seno nimbang beras katanya kurang 5 ons. Pardi kurang 3 ons. Bangor kurang 4 ons. Sampeyan?”

“Aku tak nimbang, Kang. Ibune langsung ngambil untuk ngliwet.”

“Ini tak adil Kang, kecurangan. Korupsi. Kok tega-teganya beras raskin di korupsi. Kita ke kelurahan Kang. Mustam si wartawan yang kebetulan satu RT sama kita akan menuliskan beritanya di koran!”

Berita tentang raskin yang berkurang bobotnya termuat di koran lokal. Si wartawan memberi kesaksian bahwa saat diadakan penimbangan ulang disaksikan warga dan aparat kelurahan memang bobot raskin berkurang antara 1- 5 ons.

Keesokan harinya pejabat datang dan memberi klarifikasi . “Bobot beras berkurang karena beras mengalami penyusutan. Beras masih dalam keadaan belum kering benar ketika dimasukkan ke dalam karung. Sesuatu yang wajar.”

Sebagian warga mengangguk. Sebagian warga tak mudah percaya. “Kami tak mudah percaya, dikelabui begitu saja. “

“Ini korupsi. Ada tikus dalam raskin. Jika satu sak berkurang 2 ons saja berapa jika beras jumlahnya puluhan ton? Berapa puluh juta rupiah uang yang masuk dalam kantung pejabat bermuka tikus?”

*****

Pak RT mendampingi warga yang masih kurang puas mendengar keterangan pejabat, menuju balai desa. Bukan bertujuan demo, hanya meminta klarifikasi dari kepala desa sebagai penyalur beras raskin. Kepala desa hanya bisa menyatakan jika seperti biasanya ia hanya menyetorkan daftar jumlah warga yang berprofesi nelayan. Kemudian dinas sosial yang menyelenggarakan pembelian beras sebagai bantuan. Tentu saja dengan anggaran yang sudah dicanangkan oleh APBD.

“Tentang beli berasnya di mana, harganya berapa, bagaimana mutunya, itu bukan kewenangan saya…”

“Dibanding beras raskin khusus bantuan untuk nelayan periode tahun lalu, mutu beras raskin tahun ini, sekarang ini, mutu beras lebih bagus, Pak Lurah.”

“Tahun lalu butir beras raskin banyak yang pecah, kuning, bahkan banyak kutu. Saking buruknya si beras, ada warga enggak mau makan.”

“Mending diberikan pada ayam atau kalkun.”

“Terpaksa dikonsumsi juga sih. Daripada kelaparan.”

“Menghargai oranglah, emang zaman penjajahan!”

“Kabarnya sih beras dari bulog bagus, terus ditukar sama oknum dibelikan beras yang mutu buruk.”

“Lagi-lagi korupsi.”

“Perilaku si oknum serupa bangsat! Bakal penghuni neraka tuh!”

“Orang makan orang. Raksasa zaman sekarang ya orang seperti ini. Memakan jatah orang.”

*****

Keesokan harinya, pada sebuah koran lokal tersiar berita seputar beras raskin nelayan yang isinya tak sesuai timbangan.

Bupati terpilih dengan wajah polosnya memberi keputusan. “Sudah dibilang ini hanya masalah kecil, tak perlu dibesar-besarkan. Sebagai warga negara yang baik kita harus menjunjung asas praduga tak bersalah. Saya mendapat informasi dari pihak terkait, bahwa setelah diadakan penyelidikan oleh tim terkait beras mengalami perbedaan bobot karena adanya penyusutan…”

“Kalau bobot susut mengapa dalam setiap karung ada bekas jahitan ulang?” si wartawan tak puas.

“Apa kita harus menanyakannya pada rumput bergoyang?” bisik warga saat membaca berita tersebut di papan koran balai desa.

“Bukan, Kang, tapi pada penjahit yang menjahit ulang karung,” sahut carik

“Gak. Kita bertanya saja pada…. penjahit kut*ng!” ceracau seorang penulis cerpen yang kebetulan sedang turut rapat. 


Kartika Catur Pelita, buku fiksinya “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta”. Bergiat di Akedemi Menulis Jepara (AMJ).

Posting Komentar untuk "Tikus Raskin | Cerpen Catur Pelita"