Iklan Atas

Blogger Jateng

Hikayat Kota Kabut | Cerpen M. Arif Budiman


Sore itu, langit merah magenta. Kota Kabut yang biasanya tenang mendadak kacau setelah tiba-tiba bumi menggigil hebat. Tanah-tanah retak dan amblas. Gedung-gedung runtuh. Rumah-rumah luluh. Pohon-pohon tercerabut dari akarnya. Namun, Tuhan masih menunjukkan kuasa-Nya pada beberapa masjid yang masih berdiri kukuh.

Malam gelap. Segalanya pekat. Bulan merah saga menjadi saksi bagi orang-orang yang didera lara. Rintih mereka menyayat hati. Lolong orang-orang yang terjepit puing-puing bangunan saling bersahutan. Memberi kabar. Bertanya nasib. Bertanya umur dan kematian.

Tengah malam. Di sebuah shelter tak jauh dari puing-puing rumahnya, Sobari menggigil menyaksikan ratusan cahaya putih menyembul dari balik puing-puing. Cahaya-cahaya putih itu berkumpul menjadi satu di atas kubah sebuah masjid. “Apakah mereka ruh orang-orang yang mati tertimbun di bawah sana,” batinnya. Lambat laun ia tak kuasa melihat fenomena itu. Lalu bersembunyi di balik sarungnya yang lusuh.

Esok hari. Jerit tangis kembali membubung di langit Kota Kabut. Orang-orang sibuk mencari sanak famili yang tercerai berai. Tak terkecuali Sobari. Selepas subuh, ia sibuk menyingkirkan puing-puing rumahnya yang ambruk untuk mencari neneknya.

Peluh Sobari beranak-pinak. Hanya berbekal tangan kosong, ia terus menyingkirkan puing-puing rumah. Ia sangat berharap neneknya masih bernapas, meski ia tak begitu yakin. Cukup lama berselang, setelah Sobari menyingkirkan sebuah lemari pakaian, ia menemukan neneknya dalam posisi telungkup di atas sajadah. Kedua tangannya mendekap erat Alquran. Segera Sobari membalikkan tubuh neneknya. Namun sayang, nyawa nenek sudah terlepas dari raganya.

Tangis Sobari pecah. Didekap tubuh neneknya erat-erat. Langit seolah runtuh. Jiwa yang selama ini untuk bersandar telah pergi selama-lamanya.

“Tak perlu larut dalam kesedihan. Kasihan nenekmu,” ujar seorang kawan.

Sobari bersama beberapa orang menggotong jasad neneknya keluar dari puing-puing rumah.

“Apa yang harus aku lakukan?” ucap Sobari, masih tersedu.

“Sebaiknya lekas kita bawa jasad nenekmu ke Masjid Kabir. Biarkan para relawan mendatanya. Kemudian makamkan di pemakaman masal.”

Sobari mengangguk. Ia bersama beberapa orang membawa nenek Sobari menuju masjid.

*****

Aroma kegetiran mengudara di langit Kota Kabut. Sungguh sebuah bencana yang tak dapat disangka-sangka bagi seluruh penduduknya.

Jauh sebelum kejadian itu, Kota Kabut adalah kota yang sedang dilanda euforia. Beragam pesta tiap malam digelar di tempat-tempat keramaian. Lampu-lampu beraneka warna menghiasi tiap sudut kota. Gelak tawa, jerit nakal, sumpah serapah dari mulut-mulut berbusa alkohol menjadi pemandangan yang lazim setiap malamnya.

“Sobari, jangan pernah kau injakkan kakimu di sana. Jika kau melakukannya, niscaya Tuhan akan menghukummu dengan hukuman teramat pedih,” nasihat Nenek Sobari, suatu pagi.

Sobari hanya mengangguk. Tak sekali pun ia membantah perkataan nenek yang sangat ia hormati. Meski di sudut hatinya terselip rasa ingin mengunjungi tempat-tempat itu.

“Sudah tiga malam, aku selalu bermimpi hal yang sama.”

“Mimpi apa, Nek?”

Nenek menarik napas dalam-dalam. “Sudah tiga malam aku melihat langit Kota Kabut mendadak hitam. Gelap pekat. Kemudian hujan turun begitu deras. Air bah mengalir warna merah darah. Kemudian…” Nenek berhenti sejenak. Dahinya berkerut menggelombang. Seolah tengah mengorek-ngorek ingatan mimpinya yang berlipat-lipat.

“Kemudian apa, Nek?” tanya Sobari, penasaran.

“Kemudian bumi bergetar. Tanah-tanah terbelah. Gedung-gedung, rumah-rumah luluh lantak. Jerit tangis dan lolongan orang-orang meminta pertolongan menggema. Tak lama berselang, dari balik tanah-tanah yang rekah dan puing-puing bangunan, puluhan, bahkan ratusan ular bermunculan.”

“Ular?”

“Ya, ular-ular beraneka ukuran. Warna matanya merah menyala.”

“Lalu apa yang terjadi setelah itu, Nek?”

“Entahlah. Mimpiku tak membawaku pada akhir kisahnya. Maka dari itu aku berpesan padamu. Berbuatlah amal kebajikan jika kau ingin selamat dari segala musibah,” pungkas Nenek Sobari.

Sobari hanya terdiam sembari menyelami wajah neneknya yang semakin menua.

*****

Pikiran Sobari berkecamuk di depan pusara neneknya. Ia kini sebatang kara. Ia tak tahu lagi harus ke mana. Rumah yang selama ini ia tempati telah rata dengan tanah. Tak lama kemudian sebuah tangan meremas pundak kirinya.

“Segalanya telah pergi begitu saja. Tanpa pamit, tanpa permisi. Karena Tuhan telah berkehendak demikian. Tak ada yang dapat kita lakukan selain ikhlas.”

Sobari masih menatap nisan neneknya. Ia mafhum siapa yang mengajaknya bicara, sebab suaranya tak asing lagi di telinga. Ialah Paman Kadi. Seorang hakim yang sangat dihormati di kotanya.

“Tak ada lagi tempatku bernaung, Paman.”

“Apa kau tak lagi menganggapku sebagai saudara?”

Sobari memalingkan wajahnya. Ia menatap Paman Kadi dengan tatapan haru.

“Kau boleh tinggal bersamaku. Meski tanah telah menelan separuh rumahku. Masih ada sisa ruang yang dapat kau tempati.”

Sobari membeku. Lidahnya kelu. Perasaannya sejenak mengharu.

“Bagaimana mungkin aku menjadi beban orang yang sama-sama tengah didera musibah. Tidak. Aku tak ingin merepotkan orang lain,” batinnya.

“Terima kasih, Paman. Akan aku pikirkan nanti. Izinkan aku terlebih dahulu mengabdikan sisa hidupku untuk orang lain.”

“Lalu di mana kau akan tinggal?”

“Sementara waktu aku akan tinggal di posko. Di Masjid Kabir. Akan aku hibahkan tenagaku untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.”

“Baik, jika itu memang keputusanmu. Kami, aku, dan bibimu siap menerimamu kapan saja kau datang.”

Paman Kadi pamit pergi. Sementara Sobari masih memegang erat nisan neneknya. Tak ingin lekang.

*****

Hujan tangis di penghujung bulan kemarau tak juga surut pada mata-mata yang tak lelah menjadi saksi tangan-tangan pengais puing-puing rumah. Sementara Sobari tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan itu. Ia membantu semampunya. Menjadi petugas informasi, membagi-bagikan makanan, hingga mengusung keranda jenazah ke pemakaman.

Hari kelima setelah peristiwa mengerikan itu, gerimis mulai datang. Aroma tanah mengudara. Sobari yang sejak tadi duduk di bawah sebuah pohon tak juga beringsut. Ia menikmati gerimis sembari melihat lubang dan ceruk-ceruk yang perlahan terisi air. Tak lama kemudian, seekor ular keluar dari reruntuhan bangunan. Disusul ular-ular yang lain. Melihat keanehan itu, Sobari bergidik. Ia beranjak menuju masjid.

Menjelang tengah malam. Sobari duduk menyendiri di atas reruntuhan sebuah gedung. Matanya menerawang ke langit. Menghunus ke sekumpulan bintang. Sesekali pandangannya terlempar ke tumpukan puing bangunan. Pada saat itulah matanya tertambat pada sepasang cahaya berwarna merah. Cahaya itu seperti sepasang mata. Tak lama kemudian muncul puluhan bahkan ratusan cahaya yang sama dari balik puing dan tanah yang rekah. Cahaya-cahaya merah itu lalu menyerbu sekumpulan cahaya putih yang baru saja menyembul dari balik tanah dan lumpur. Cahaya putih itu persis dengan cahaya yang dilihatnya tempo hari.

Begitu lama pemandangan itu terekam mata Sobari. Namun anehnya, orang-orang yang berada tak jauh dari Sobari tak mengetahui akan hal itu. Setelah beberapa lama Sobari baru menyadari bahwa cahaya merah serupa mata itu tak lain adalah sorot mata ular. Ingatannya langsung terlempar pada cerita nenek sebelum meninggal. “Apakah ini jawaban dari kelanjutan mimpi nenek sebelum meninggal,” batin Sobari. Ia tak mampu berbuat banyak selain menatap pedih atas peristiwa yang sedang terjadi di depan matanya.(*)

Posting Komentar untuk "Hikayat Kota Kabut | Cerpen M. Arif Budiman"