Iklan Atas

Blogger Jateng

Berburu Genderuwo | Cerpen Deden Hardi


Ramdola menangkapnya. Berita heboh itu nyatanya berhasil menggaet rasa penasaran orang-orang mendatangi warung kopi Mak Sareh. Mereka ingin melihat dengan mata kepala sendiri wujud sejati si makhluk laknat. Mitos yang telah menggegerkan warga sekampung kurun sasi belakangan. Belalak mata-mata itu berebut tempat; seperti apa genderuwo gerangan rupanya.

“Mana sih? Tidak kelihatan ada apa-apanya.”

“Namanya makhluk halus ya tak kasat mata. Tapi ada.”

“Iya, di stoples itu kosong melompong. Tak ada isi.”

“Jangan-jangan nipu.”

“Stres kali.”

Eh dengar-dengar istrinya ngisi. Kok bisa ya, kan…”

Berlagak abai. Pura-pura tak dengar. Padahal ghibah itulah awal musabab ia bersungut-sungut pergi di suatu malam meski cukup lebat hujan mengguyur panas hatinya yang telah bercampur prasangka menuju pondok Ki Mantis guna meneguhkan syak dalam keruhnya benak.

Bagaimana mungkin, dirinya yang pulang kampung hanya dua-tiga kali sekali dalam setengah tahun berlayar tiba-tiba mendapati pengakuan Satim, istrinya, jika ia tengah mengandung buah percintaan mereka yang hanya selintas kepala sepur lewat itu. Apalagi mengingat lima tahun sudah perkawinan berselang tanpa sekali pun isyarat tertanamnya benih di rahim.

Genap tiga bulan selesai masa ekspedisi dari Hong Kong, telah dilihatnya perubahan yang kentara dalam perangai dan bentuk badan Satim. Seolah memberi waktu sang suami menerka-nerka kejutan hidup yang selama ini mereka idamkan, di suatu malam yang sejuk sehabis gerimis melepas rindu, Satim tak menunda lagi kabar itu sampai keesokan hari.

“Aku hamil, Mas. Akhirnya..”

Ramdola diam sesaat. Di antara bimbang dan senang, ia peluk Satim dengan pikiran masih melayang.

“Sudah berapa bulan?”

“Seumuran kamu pergi.”

Tanpa sepengetahuan Satim, Ramdola memang pernah memeriksakan diri ke dokter. Sampai dua kali. Ternyata ia punya masalah kesuburan. Tiada vonis yang lebih buruk bagi seorang lelaki matang selain tertutupnya hasrat beroleh keturunan. Aib itu ditanggungnya sendiri, terpupuk, dan menyemai dalam waktu. Mendengar kalimat Satim, otaknya gaduh. Ia tak ingin memercayai gelapnya bisikan-bisikan di benak yang deras menyudutkan istrinya sendiri.

Tetapi bisikan itu semakin-hari semakin kencang. Penjelasan takdir apa yang bisa mendamaikan pertentangannya dengan ilmu modern selain hal-hal gaib, yang tentu saja tak membutuhkan pertimbangan empiris apa pun, menyorongkan niatnya pada sosok yang pernah ia kenal di masa lalu. Seseorang yang sangat ia percaya.

Sebelum sekarang, Ramdola adalah bujang lugu yang hidup sebagaimana lazimnya pemuda-pemuda seumuran di kampung. Setiap pagi ia membantu Ibu di sawah. Saat siang, giliran bulir-bulir jagung milik Wak Anok harus ia jaga dari ancaman hama. Ritualnya tak jauh dari urusan sawah dan ladang. Hampir tiap malam main gaple hingga larut, tak jarang pula Ramdola iseng-iseng bertaruh. Sesekali menang. Selebihnya pecundang. Upah harian acap menumpang saja hinggap di dompet. Jangankan menabung, mendekati Satim pun tak cukup hanya bermodalkan cinta.

Sampai suatu ketika ia dengar sang kekasih pujaan hendak dilamar seorang pria dari kota, Ramdola gegas mencari jalan pintas terampuh untuk menangkalnya. Solusi yang didapat dari obrolan usil teman segaple mengerucut pada satu nama: Ki Mantis. Orang aneh dari seberang. Mitosnya, ia punya aji-aji manjur pengentas segala perkara asmara dan rezeki. Cocok! Tak berulur-pikir, ia datangi kediaman Ki Mantis di bukit Hamalangin.

“Kau ambil secentong air dari tujuh sumur di tujuh kampung yang berlainan. Lalu guyur ke kepala saat malam Jumat. Sambil baca ini,” tutur Ki Mantis memberi secarik kertas bertuliskan sesuatu. Bibirnya lalu komat-kamit tak keruan.

Rapalkan mantra tujuh puluh kali sebelum mandi. Jangan potong kuku. Jangan dekati jemuran. Tujuh hari mutih. Pantang minum susu. Itu perintahnya.

Saat hendak pamit, Ki Mantis berdeham, “Tuah kedigdayaan seringkali meminta petaka. Cukup sedikit tumbal untuk menolak bala.” Ramdola mengerti. Ia hanya kelupaan. Beberapa lembar uang berpindah tangan.

Tak ada salah mencoba, pikirnya. Angan-angan tinggi mempersunting Satim seraya perbaikan nasib nyatanya lebih keras dari setitik kejernihan nalar. Secepat bajing derap kakinya melangkah liar. Di sepanjang jalan, tak luput mantra-mantra itu mulai ia rajah di luar kepala, sambil membayangkan masa depannya yang indah bersama Satim. Selepas membelah titian arus sungai kecil yang tak kunjung dibuatkan jembatan itu, ia mendengar rambat suara dari kejauhan. Tepatnya di warung Mak Sareh. Lambaian tangan memanggil.

Beberapa orang bercengkerama sembari seruput kopi dan singkong; tradisi orang kampung sehabis lelah bertempur dengan terik. Dari sekian wajah yang dikenal, satu orang menyita perhatian. Sosoknya serasa asing tak asing.

“Tampak semringah rautmu Ramdola. Masih ingat aku?” ujarnya mendekat.

“Jatmika?”

Putra pertama Mak Sareh baru pulang dari rantau rupanya. Sudah sekian tahun berpisah sejak ingatan masa kanak bermain gundu atau boi-boian, ia pergi ke ibu kota ikut pamannya dan belum pernah kembali. Si jago egrang itu kini terlihat resik, cemerlang, dan sukses.

Keduanya langsung asyik mengenang masa lalu. Membicarakan perkembangan desa, keluarga, dan teman-teman yang lain. Membicarakan Satim. Jatmika hafal persis kesukaan Ramdola pada Satim sejak usia masih ingusan. Menanyakan hal itu, wajah Ramdola berubah lesu. Tanpa didesak, ia menceritakan sendiri perihal Satim yang akan dilamar oleh orang lain. Perihal dirinya yang tak jauh akan berakhir sama seperti teman sebaya lainnya di kampung ini, yang tampak tak menjanjikan perubahan apa-apa lagi.

Mendengar keluh-kesah itu, Jatmika menawarkan sesuatu.

“Tak janji, tapi aku bakal tanyakan ke bos, apa ada tempat kosong buat kau bisa bekerja di kapal. Tunggu saja kabar.”

Selang beberapa pekan kemudian berita baik itu datang. Ramdola harus ke ibu kota. Ia diterima bekerja sebagai ABK di sebuah kapal tanker. Pekerjaan yang menuntut kekuatan fisik. Bukan masalah berarti untuk Ramdola. Upahnya sepadan. Penghasilannya berlipat-lipat lebih besar dari sebelumnya. Di laut lepas sewaktu malam bergemintang, ia tercenung di jendela kabin.

“Mungkin inilah jawaban tuah azimat itu.” Pikirannya tertuju pada Ki Mantis, setelah ia tuntas menjalani ritual yang diperintahkan beberapa hari setelah pertemuannya dengan Jatmika.

*****

Sosok itu pula yang harus ia datangi setelah pengakuan Satim belum lama ini. Cukup senang Ki Mantis mendapati Ramdola yang telah berubah semenjak terakhir berkunjung. Awalnya lupa-lupa ingat. Setelah diceritakan, ia tertawa.

“Sudah jadi pegawai kau sekarang.” Ramdola menyeringai satir.

“Kali ini ada peristiwa genting apa sampai kau harus kembali menemuiku?”

Diungkapkanlah kegusaran hati itu. Ramdola ingin diperlihatkan kebenaran mutlak perihal benih siapa sesungguhnya yang tertanam di perut sang istri mengingat lima tahun lamanya ia divonis mandul. Pikiran gelapnya mengatakan dua hal. Jika tidak disebabkan campur tangan makhluk halus yang pernah ia dengar dari mitos orang kampung, berarti Satim sudah main serong!

Ki Mantis mengambil posisi, kemudian komat-kamit di antara kepulan asap kemenyan. Matanya merem melek, sesekali berdeham kecil seperti buang dahak.

“Tak pelak lagi. Ini perbuatan genderuwo!”

“Hah, jadi benar itu benih genderuwo?!”

“Dedemit itu dapat menyentuh, bahkan menyerupai manusia untuk lampiaskan nafsu bejatnya. Makhluk cabul berbulu. Dia pasti menyaru dirimu sebelum kau pergi berlayar. Peniruan yang sempurna.”

“Apakah dia masih ada di sekitar rumahku? Bisakah dia ditangkap, Ki?”

“Biasanya setelah sukses memperdaya satu korban, dia akan mencari korban yang lain. Sebentar.” Ki Mantis komat-kamit lagi. Matanya merem melek. Kemudian memberi titah seperti biasa, “Kau ambil secentong air dari tujuh sumur di tujuh kampung yang berlainan. Lalu guyur ke kepala saat malam Jumat. Sambil baca ini. Penerawanganku memperlihatkan ia tengah bermukim di sisi aliran sungai Cirambuh. Di atas batu kali hitam paling besar. Masukkanlah ke dalam stoples kaca setelah kau rapal aji-aji yang kuberikan. Tandanya berhasil bila kaca itu terasa hangat di telapak.”

“Caranya?”

“Buka penutup stoples, ia akan terisap sendiri laiknya vacuum cleaner.”

Tak berlama-lama, Ramdola undur diri. Kali ini ia tak lupa. Sebuah amplop sudah disiapkan. Namun Ki Mantis berujar, “Bisa ditransfer saja, sekarang?”

*****

Ingin dibantingnya stoples itu sampai hancur. Tapi Ramdola keburu menahan Satim dari tempatnya.

“Sudah gila kamu! Menuduh aku seenaknya?”

Mak Sareh memberitahukan kabar itu pada Satim, sehari setelah Ramdola membuat heboh warungnya. Ramdola yang kedapatan berlaku ganjil di sisi sungai, menjelaskan secuil alasan pada orang-orang perihal tindakannya tersebut. Penjelasan yang hanya menghasilkan pergunjingan.

“Aku tak menuduh. Ini bukan salahmu. Ini kerjaan makhluk brengsek itu. Aku sudah berhasil menangkapnya, sudah selesai.”

“Sama saja! Ternyata kamu tak hanya naif, tapi juga bodoh!”

“Jaga ucapanmu.”

“Mana kewarasanmu, bodoh! Ini darah dagingmu. Kau kira dukun gila itu melebihi kuasa Tuhan?! Eling. Kamu hanya ingin memuaskan imajinasimu sendiri.”

“Semuanya terjadi, Sayang. Semua keinginanku tercapai. Kamu tak mengerti.”

“Dengar. Aku menerimamu dulu karena kutahu perasaanmu tulus. Aku mengenalmu sejak kecil. Aku kira setelah menikahi orang yang kita sayangi, seorang lelaki dapat mengubah perilaku buruknya. Dan itu berlaku untukmu. Aku tahu kebiasaanmu yang suka berjudi. Tapi aku juga tahu kamu orang yang tekun. Pekerja keras. Semua yang didapat sekarang, karena kamu bekerja keras. Takdir-Nyalah yang mempertemukanmu dengan Jatmika. Bukan karena mantra si dukun gila!”

Suasana hening. Kata-kata tenggelam di kepala masing-masing.

“Tapi aku mandul, Satim.” Ramdola akhirnya menyahut, nyaris tak terdengar.

“Apa yang tak mungkin di dunia ini?”

“Semuanya bisa dan harus terjadi karena suratan. Kamu percaya padaku, kan?” tutur Satim merangkul Ramdola.

Ramdola menanar. Dilihatnya kembali stoples itu. Kosong. Tak berasa apa pun di telapak tangannya. Angin dari luar menusuk, seolah berbisik sesuatu. Satim menatap sepenuh harap. Tiba-tiba Ramdola berdiri meraih stoples itu, beringsut pergi.

“Mau kemana?”

“Ke bukit Hamalangin. Ki Mantis. Dia harus membuat isi stoples ini kasatmata. Jika tidak, ini penipuan namanya. Sudah kubayar mahal-mahal!”

Satim mematung, tercengang menatap kelakuan suaminya. (*)

Posting Komentar untuk "Berburu Genderuwo | Cerpen Deden Hardi"