“Keluar kau, Sobari!” seru seorang laki-laki dengan nada berat penuh kemarahan. “Kami polisi. Kau sudah terkepung!”
Suara bentakan keras itu membuat Sobari gemetar dan sesaat berpikir untuk mengambil parang di dapur. Akan tetapi, suara itu kemudian berubah menjadi derak engsel patah dan pintu yang berdebam. Enam sosok lelaki melangkah ke dalam dan mengarahkan senter ke seluruh ruangan.
Ineh terpekik dan membekap kepala anaknya ke dada. Secara naluriah, Sobari melompat dari ranjang dan meraih gelas yang tergeletak di atas meja dan melemparkannya. Gelas itu meluncur deras dalam ruang yang remang-remang, tepat mengenai kepala salah satu dari ke enam pendobrak pintu.
“Anjing kurap! Aku kena!” pemilik suara itu berteriak sambil membungkuk. “Awas, bangsat itu punya senjata!”
Teriakan itu kontan memicu suasana histeris. Sobari mendengar derap sepatu di lantai dan suara lain yang berteriak-teriak panik. Sesaat sebelum berlari ke arah jendela, Sobari melihat Ineh dan anaknya duduk di ranjang, bingung dan ketakutan. Lelaki itu mendorong mereka dari kasur dan menghalaunya ke bawah ranjang. Ia lalu menggaet selembar baju dan melompat ke arah jendela.
Rumput-rumput yang tumbuh di halaman belakang rumah itu terasa dingin bagaikan es. Jantung Sobari berdebar keras saat berlari menjauhinya. Kini setelah ia memutuskan untuk melarikan diri, tak ada lagi jalan kembali. Jika berhenti, polisi-polisi itu pasti akan menembaknya dari belakang, lalu menaruh senjata di tangannya sebagai bukti bahwa ia melakukan perlawanan.
Memikirkan kemungkinan dirinya akan tertangkap atau mati tertembak, membuat perut Sobari mual. Sungguh tak setimpal rasanya diburu karena perbuatannya seminggu yang lalu. Di luar sana, ada banyak kejahatan yang lebih mengerikan dari perbuatan yang membuat gerombolan manusia berpistol itu bernafsu memburunya. Sobari mengumpat dan terus berlari menembus kepekatan malam.
Bulan merendam tubuhnya dalam lautan awan kelabu yang semuram mata ikan mati. Di bawah remang-remang cahaya bulan itu, Sobari menyeberangi sungai kotor yang setinggi pinggang. Ia sadar, jalan raya terdekat berjarak sekitar satu kilometer jauhnya. Angin malam yang dingin menerpa, menguarkan aroma sampah busuk, limbah pabrik, dan tai manusia. Tapi Sobari tak menghentikan langkahnya.
Sesampainya di seberang sungai, Sobari masuk ke sepetak tanah lapang bekas kebun pisang terbengkalai. Di seberang tanah lapang itu, lampu-lampu dari kompleks perumahan elite menyala terang. Permukiman orang-orang kaya itu pastilah memiliki 40 atau 50 rumah seharga miliaran. Dari posisinya sekarang, Sobari melihat bangunan-bangunan megah itu berkilau bak kota terlarang. Pikirnya, jika bisa sampai ke sana, polisi-polisi itu tentu tak akan bisa menangkapnya.
Lelaki itu bisa merasakan dirinya berada dalam kepekatan rerumputan tinggi yang lembap. Ia berusaha mengira-ngira jalan mana yang paling baik untuk menuju ke kompleks perumahan itu. Tetapi malam terlalu gelap dan membatasi penglihatan. Seingatnya, tanah lapang itu menjadi tempat warga menumpuk sampah. Jika mendekam di sana terlalu lama, Sobari khawatir ada orang lain yang akan melihatnya.
Mata Sobari perlahan-lahan menyesuaikan diri. Tampak ban-ban tua, beling berkilau yang tertimpa cahaya bulan, kaleng biskuit, potongan batu bata, pohon tumbang, dan gerumbul semak tinggi yang mirip hantu raksasa. Tiba-tiba semak-semak di belakangnya berdesir dan membuat jantungnya seperti berhenti berdenyut. Dalam kegelapan itu, Sobari merasakan kehadiran seseorang.
“Menyerahlah, Sobari. Aku tak akan menembakmu.” Sosok tegap itu menepuk revolver di tangan kanannya, sambil menjaga lampu senter tetap terang di tangan kiri. “Kita masih bisa bicara. Kau tak perlu lari.”
Sobari bungkam. Ia mengambil posisi memutar dan bersembunyi di belakang sosok yang sudah pasti salah satu dari gerombolan polisi yang tadi memburunya. Jaraknya dan polisi itu berada kurang dari 5 meter jauhnya.
Sobari merunduk di bawah gerumbul semak. Sinar lampu senter itu datang lagi, kali ini menyapu rerumputan dan rumpun pisang. Sobari mengawasi bolak-balik sebongkah batu yang ada di ujung kakinya dan belakang kepala polisi itu.
“Siapa yang akan tahu? Mereka tak akan pernah bisa membuktikan apa pun. Tak akan ada saksi sama sekali. Kau bisa memecahkan kepalanya,” bisik iblis di hati Sobari.
Polisi itu tiba-tiba berbalik. Selama satu detik penuh, ia seolah berhenti dan menatap tepat pada Sobari yang membeku mencengkeram batu. Sobari menahan napas, takut degup jantung di dadanya membocorkan keberadaannya. Tetapi polisi itu menatap kosong, senternya hanya 10 sentimeter dari wajah Sobari.
“Hei, Simbolon,” polisi itu menyentuh radio di bahunya. “Tolong bantu aku mencari di lapangan ini.”
Perlahan-lahan Sobari sadar, polisi itu benar-benar tidak dapat melihatnya.
Entah bagaimana ia menjadi kasat mata seperti angin. Betul-betul keajaiban. Ini adalah kesempatan untuk menghabisinya, membuka peluang untuk melarikan diri. Batu itu tergenggam erat di tangan Sobari. Polisi itu berbalik kembali, memamerkan kepala botaknya sekali lagi sebagai sasaran tak terlindungi. Tapi Sobari tak kunjung mampu melakukannya. Perintah itu berhenti di lengannya.
“Lakukan! Orang ini akan merampas kebebasanmu, dan ia akan melakukannya sebentar lagi. Pecahkan kepalanya! Pecahkan!” jerit iblis di hati Sobari.
Sobari menggeleng keras-keras, mengusir bayangan mengerikan itu dari kepalanya. Ia tak ingin jadi pembunuh. Selagi masih bisa berlari, ia akan berlari. Sobari merayap menjauh, tapi lengannya tak sengaja mengenai sekerat bekas kaleng sarden. Polisi itu mendadak berpaling, mulutnya menggeram, menggertakkan rahang. Ia melihat ke semak-semak yang bergoyang, menyadari sepenuhnya kalau buruannya terlepas lagi.
Sobari hampir tersandung oleh jalinan semak yang merambat. Ia telah melepaskan satu keping kesempatan berharga untuk bebas. Lelaki itu menginjak pecahan botol, permukaan tajamnya hampir menyayat telapak kaki. Ia masih dapat mendengar dengus napas di belakang. Di kepala Sobari, pikiran itu muncul lagi. Ia berbalik dan bersiap melakukan perlawanan. Di tangannya kini tergenggam sebatang balok kayu. Tapi polisi itu menghilang. Tidak ada siapa pun di sana kecuali dirinya dan angin malam yang dingin mencucuk tulang.
Sobari melangkah ke arah jalan, menghirup angin dan bersiap muntah akibat rasa mual yang menyergapnya. Irama napas lelaki itu menghasilkan gumpalan asap hangat yang hilir mudik di depan wajahnya. Ia menengadah dan melihat cahaya menyorot, berselang-seling dari jarak sekitar 20 meter. Perlahan lahan Sobari tersadar, itu adalah lampu senter seregu polisi yang berlari ke arahnya.
“Bangsat haram jadah! Menyerahlah!”
Dada Sobari seperti meledak. Sepasang kaki telanjangnya letih menampar-nampar batu jalan. Ia sudah berhasil sampai ke pintu gerbang perumahan elite itu, tapi para polisi sudah berkerumun di depan gardu satpam. Mereka serentak mengepungnya. Sobari terkulai di pagar besi, tahu dirinya tinggal menghitung detik saja sebelum berakhir di balik jeruji.
Dengan sedih, Sobari menoleh ke belakang. Kini para polisi itu pasti sudah memberi tahu Ineh soal perbuatannya seminggu lalu. Mereka akan menghujaninya dengan surat tuntutan dan mungkin foto-foto korban. Para polisi itu akan membuat Ineh mengerti bahwa ia suami pembohong, penjahat, dan berbahaya. Ia adalah pencoleng minimarket yang menusuk kasirnya hingga sekarat.
Ketika ia mencoba berpikir tentang bagaimana ia akan menjawab dan menjelaskan kepada Ineh, bahwa semua itu karena ia tak tahan mendengar tangis anaknya yang kehabisan susu, rasa pedih luar biasa menyilet bagian dalam tubuhnya. Tak ada gunanya terus berlari. Di antara teriakan para polisi dan cahaya senter, ia terduduk dan mulai menangis. Sejurus kemudian ia menatap langit malam dengan sepasang tangan di atas kepala sebagai tanda menyerah. Sobari memilih kalah. (*)
Posting Komentar untuk "Buron | Cerpen Adam Yudhistira"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar