“Pagi, Pak Kadis…,” sapa mereka beberapa hari terakhir setiap melihatnya memanaskan mesin mobil.
Meski agak risih karena ia belum benar-benar resmi dilantik, nyatanya Resman diam-diam senang dengan panggilan itu dan membalas sapaan mereka tanpa protes.
“Pagi,” sahutnya.
Selama bertugas sebagai pegawai negeri, Resman Waskiat banyak menghabiskan umurnya sebagai guru. Disamping itu, berkat pengalamannya sebagai wartawan, ia dipercaya untuk memotret kegiatan-kegiatan pemerintah kota, terutama yang dihadiri oleh wali kota atau kepala-kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Bersamaan dengan itu, ia juga menulis rilis pers tentang kegiatan dan kebijakan pemerintah kota dan menyebarkannya kepada wartawan. Atas tugas ganda itu, jadwal mengajarnya pun disesuaikan dengan agenda pemerintah kota yang harus ia dokumentasikan. Untuk tugas sampingan itu, ia mendapatkan penghasilan tambahan di luar gajinya. Yang pasti, selama masa itu, tak sekali pun ia masuk koran. Namun, sekarang, walau masih sekadar desas-desus akan diangkat menjadi kepala dinas, namanya bolak-balik tercatut dalam koran.
Dulu, ketika masih seorang wartawan, Resman paling gemar memberitakan kenakalan pejabat-pejabat di kota itu. Berita-berita yang ia tulis selalu bikin gempar. Suatu ketika, ia memergoki sekretaris daerah keluar dari kamar hotel bersama seorang perempuan muda. Tak goyah ia disuap dengan sepeda motor baru, kabar itu pun terbit, Pejabat yang bersangkutan pun mundur dari jabatannya.
Meski demikian, banyak juga pejabat yang tetap tak tergoyahkan dari posisinya meski sudah berkali-kali keburukannya diberitakan. Mereka adalah orang-orang yang rutin sungkem kepada wali kota. Bagi banyak orang, mereka yang tak tergoyahkan itu adalah orang yang dermawan. Mereka selalu membuat orang-orang gembira begitu keluar dari ruangan mereka. Bukan satu-dua orang pula yang telah menjadi sejahtera mereka buat. Beberapa rekan Resman, termasuk koresponden media nasional yang selalu tampil necis dengan baju seragam kebanggaannya, tak tanggung-tanggung harta bendanya. Mereka punya ponsel canggih, kamera mahal, mobil, bahkan rumah. Beberapa di antara mereka juga bisa berangkat ke Makkah. Semua itu berkat sangu dan proyek yang mereka terima secara rutin dari pejabat-pejabat itu.
Resman memang tak sempat lama menjadi wartawan. Cuma lima tahun. Pekerjaan itu dijalaninya sambil kuliah, saat ia sedang idealis-idealisnya. Alasan utama ia berhenti karena ingin menjadi realistis. Upahnya sebagai wartawan waktu itu memang sangat pas-pasan, walaupun jika dibanding teman-temannya masih lebih tinggi. Namun, dari segi pendapatan, Resman justru paling miskin di antara kawan-kawannya. Sementara mereka makmur dengan uang amplop, Resman hidup prihatin karena cuma mengandalkan gaji.
Sekarang, Resman hidup sejahtera. Ia punya istri dan dua anak yang sehat dan gemuk. Mobilnya dua. Yang satu dipakainya untuk ke kantor, yang satu lagi untuk jalan-jalan. Rumahnya juga dua; satu ditempatinya bersama keluarganya, satu lagi dibelinya diam-diam atas nama perempuan simpanannya.
Karier Resman di birokrasi memang bisa dibilang melaju kencang. Sembilan tahun menjadi guru merangkap juru liput kegiatan pemerintah kota, ia lantas ditunjuk menjadi kepala sekolah sebuah SMP negeri di kota itu. Pernah suatu waktu, sekolahnya ramai didatangi wartawan karena penerimaan siswanya melebihi kuota rombongan belajar yang telah ditentukan. Koran-koran membuat istilah “siswa siluman” untuk menyebut siswa yang diterima lewat jalur ilegal itu. Resman dengan cerdik menyampaikan dalih kepada wali kota bahwa itu terpaksa dilakukannya karena masyarakat mendesak memasukkan anak-anak mereka ke sekolah itu. Meski berita itu menyebar ke mana-mana, Resman tetap aman di posisinya tanpa perlu repot-repot memberi amplop kepada wartawan.
Baru empat tahun merasakan enaknya kursi kepala sekolah, Resman didudukkan di tempat yang lebih enak lagi, yakni kepala bidang pendidikan dasar. Resman diangkat karena dianggap pintar, cepat tanggap, dan—sebagaimana sudah menjadi rahasia umum di lingkungan kantornya—akrab dengan wali kota. Di posisi inilah ia benar-benar menguras tenaga untuk menumpuk kekayaan. Semua kepala SD dan SMP diwajibkannya menyerahkan setoran secara rutin. Ada setoran bulanan yang ia sebut sebagai uang pulsa, ada setoran semesteran yang disebut uang liburan, dan ada pula setoran tahunan yang bernama uang tanda terima kasih. Di luar itu, masih ada setoran jabatan yang bisa ia kutip sesukanya. Ia tahu kepala-kepala sekolah itu tak akan merugi karena mereka juga mengutip dari siswa-siswa mereka.
Lima tahun menjadi kepala bidang, kini hari-hari Resman diriuhkan dengan kabar bahwa ia akan diangkat menjadi kepala dinas, menyusul mandeknya setoran kadis yang lama kepada wali kota. Entah dari mana mulanya kabar itu bisa bocor. Resman sendiri belum pernah membeberkan kepada siapa pun sejak surat penunjukan itu ia terima.
Sementara hari-hari pengangkatannya semakin dekat, yang Resman rasakan justru sakit kepala yang terus kambuh beberapa hari belakangan. Sebentar sakit kepala itu hilang, sebentar kemudian muncul lagi, seperti gelombang air laut yang menepi ke pantai.
Merintih menahan sakit kepalanya, Resman teringat percakapan dengan kawannya saat masih bertugas meliput. Sore itu hujan deras. Resman dan kawannya berteduh di pinggir jalan, di bawah atap warung pangkas Madura yang sudah tutup. Sementara itu, berita yang telah terkumpul belum selesai mereka tulis.
“Yang melekat pada pejabat itu dua: kebodohan dan dosa,” kata kawannya.
“Menurutmu, mana yang lebih dulu: kebodohan atau dosa?”
“Kebodohan dulu. Karena kebodohan makanya dia berbuat dosa untuk menutupinya,” begitu menurut kawannya.
“Terbalik kau! Berbuat dosa dulu, baru jadi bodoh. Karena berdosa makanya pejabat itu jadi bodoh. Semakin berdosa, akan semakin bodoh ia,” bantah Resman.
“Kau yang terbalik! Kalau dia tidak bodoh, tentu dia tidak akan berbuat dosa. Dia tidak akan melakukan hal-hal yang mengarah ke dosa, menghasilkan dosa, bahkan menyentuh dosa.”
“Jadi, kau percaya kalau pejabat yang berbuat dosa itu bodoh? Kau percaya bahwa mereka berbuat dosa karena kebodohannya?”
“Ya, bukankah itu interpretasi kebodohan yang sesungguhnya? Bahwa bodoh akan menghasilkan perbuatan yang salah, sedangkan pintar akan menghasilkan perbuatan yang benar?”
Resman tertawa mengejek, tak mau kalah berdebat. “Justru,” katanya, “karena mereka tidak bodoh, dengan kata lain, karena mereka pintar makanya mereka bisa berbuat dosa. Kau tahu, untuk berbuat dosa itu butuh kepintaran, bukan kebodohan. Orang bodoh tak akan bisa berbuat dosa.”
Lamunan Resman buyar saat teleponnya berdering.
“Sudah diputuskan tawaran saya?” tanya seseorang dari ujung telepon.
“Sudah, Pak. Tapi, uang saya belum cukup. Sekolah-sekolah belum pada nyetor. Alasan mereka dana BOS sudah tipis karena dipakai untuk keperluan buku-buku siswa.”
“Suruh mereka batalkan pesanan buku itu. Kau ini gimana, kok bodoh amat! Tak bisa kau jadi kadis kalau begini! Cari uang 500 juta saja sebulan tak dapat-dapat!”
“Siap, Pak. Saya upayakan.”
“Cepat! Waktumu sampai besok. Banyak yang ngantre posisi itu! Mereka semua sudah siapkan uangnya. Aku pilih kau karena aku kasihan lihat kau. Kau bilang kau pengin jadi kadis makanya aku tawari kau. Kalau kau tak sanggup, terpaksa nanti kukasih sama orang.”
“Siap, Pak.”
Resman bingung. Semakin hari ia menjadi semakin bodoh. Semakin ia membutuhkan uang, semakin ia jauh dari pintar. Pada saat-saat seperti ini ia harusnya lebih pintar, bahkan harus sangat pintar, bukan jadi bodoh seperti yang pernah dikatakan kawannya itu.
Ia memutar otak. Lantas muncul ide di kepalanya. Beberapa kepala sekolah akan berakhir masa jabatannya. Ini kesempatan emas, pikirnya. Mereka bisa ia kutipi Rp 20 juta per orang jika ingin tetap bertahan sebagai kepala sekolah. Bukannya ia tak tahu bahwa yang berhak mengutip uang itu bukan dia melainkan wali kota. Tapi, setelah ia pikirkan, itu urusan belakangan. Kepala-kepala sekolah itu akan mengira bahwa wali kota memerintahkan ia untuk mengutip.
Ada 12 kepala sekolah yang akan berakhir masa jabatannya bulan depan. Dari situ ia akan mendapat Rp 240 juta. Uang itu cukup sebagai syarat yang diminta wali kota jika digabung dengan Rp 300 juta yang ia kumpulkan selama sepuluh tahun terakhir. Sebagian kecil akan ia siapkan untuk membungkam wartawan dan orang-orang LSM, yang sehari-hari bertandang ke kantornya, menanduknya dengan koran yang diselipkan di kantong belakang celana.
*****
Tak seperti biasanya, mereka menolak diberi Rp 500 ribu. Padahal, biasanya disalami Rp 50 ribu saja pun mereka sudah senang. Mereka ada yang meminta Rp 5 juta, ada yang meminta Rp 10 juta. Rata-rata meminta diatas Rp1 juta. Demi kabar soal upeti Rp 20 juta per kepala sekolah itu tidak bocor ke publik, Resman menyanggupi permintaan mereka. Alhasil, uang Rp 240 juta yang sudah ia kumpulkan tinggal tersisa separuhnya.
Para penanduknya bubar. Tinggal Resman seorang di kantornya, sendiri meratapi dirinya, dan bertanya dalam hati. Aku ini bodoh atau pintar?
Keesokan harinya, Resman baru sadar, kawannya tak ada diantara wartawan yang ia suap kemarin. Pada halaman depan koran tempat kawannya bekerja yang tengah ia pegang, tertulis namanya dalam judul ‘Ingin Jadi Kadis, Resman Pungut Rp 20 juta per Kepsek’. (*)
Posting Komentar untuk "Calon Kepala Dinas | Cerpen Abul Muamar"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar