“Sulit tinggal di sini kalau kau tidak punya tujuan.” Ia berdehem. “Ini Jakarta”
Dokni, seorang lelaki yang baru tiba, menatap dengan raut lesu. Ia bertubuh jangkung. Kaos kumal yang ia pakai tidak cocok dengan interior restoran yang mewah.
“Belum tahu apa yang akan kulakukan, Bang,” Dokni grogi.
Melalui kaca jendela yang dirembes rintik hujan terlihat malam telah tiba. Di luar terdengar klakson lusinan kendaraan yang merangsek melawan kemacetan kota. Sawung mengelap bibirnya dengan tisu. Ia berdehem membersihkan sisa serak di kerongkongan.
“Aku tidak punya waktu banyak. Sekarang katakan padaku,” Sawung bersendawa, “Kenapa kau lari ke mari? Ada masalah apa di kampung?”
“Tidak ada, Bang” wajah Dokni pucat.
Sawung menyeringai, “Dok,” ia mengeluarkan rokok dan menyelipkan sebatang di bibir, “politik mengajariku banyak hal,” ia merogoh korek di saku jas. “Ada sesuatu dalam dirimu yang tak bisa membohongiku.”
Dokni tertunduk sayu. Bibirnya bergetar. “Aku menghamili anak Pak Geusyik, Bang,” Jantungnya berdebar-debar. “Maaf, Bang!”
“Untuk apa kau minta maaf padaku?” Sawung tertawa. Di tengah gumul asap, matanya memicing. “Katakan, apa yang kau butuhkan dariku?”
“Kau orang berpengaruh, Bang. Aku perlu perlindungan. Aku tak mau dicambuk.”
Sawung menyeringai. Ada keheningan di antara mereka.
“Berapa kali kau melakukannya?”
Dengan bergetar, ia mengangkat kedua tangannya dengan jemari terbuka kecuali kelingking kanan.
“Sembilan kali?” Sawung terkekeh, “Kau melakukan itu semua sendirian.” Ia menyentil abu rokok ke asbak. “Kau menikmatinya. Dan sekarang kau datang padaku memohon pertolongan.”
Wajah Dokni berubah hambar. Di pikirannya terlintas bayang warga mengeroyok dan memandikannya dengan air got yang pesing. Sebuah kardus bertulisan “saya penzina” akan digantung dilehernya. Kemudian mereka mengaraknya keliling kampung. Lalu ia akan dilapor dan diangkut untuk dicambuk. Bayangan itu membuatnya menggigil. Wajahnya bertambah pucat.
“Aku mohon, Bang! Kemarin di kampung orang-orang mulai melempari rumahku.”
“Tidakkah itu urusanmu?”
“Tolong, Bang!”
“Kau sendiri pernah mengeroyok orang mesum tidak?” Sawung berkata.
Terdiam sejenak, Dokni berkata pelan, “Pernah, Bang”
Sawung tertawa, “Kemunafikan memang menemukan lahan terbaiknya di sana …”
Sembari menghisap rokok, pikiran Sawung melayang. Ia mempertimbangkan agendanya. Ia masih butuh orang untuk kampanye. Ia membayangkan beberapa yang dapat dilakukan Dokni. Sawung menjentikkan abu rokok ke asbak. “Kalau aku membantumu, apa yang akan kau lakukan untukku?”
“Aku mau melakukan apa saja, Bang!”
Saat pertama tiba di Jakarta, Dokni terpukau oleh gedung pencakar langit yang selama ini hanya ia lihat di layar TV. Enam bulan pertama ia tinggal di rumah Sawung di komplek perumahan elit. Ia menjadi tenaga tambahan sebagai tukang bersih rumah sementara dan tukang beli rokok.
Beberapa minggu pertama, ia menikmati Jakarta. Ia berkeliling jalan kaki ke sekitar. Terkesima pada perempuan berpaha mulus yang lalu lalang, ia mulai sering ke mal tanpa membeli apa-apa. Diam-diam ia menikmatinya. Beberapa minggu kemudian, ia melihat perempuan-perempuan berpakaian seperti itu datang ke rumah Sawung. Usai mengantarkan gelas, di balik dapur Dokni mengintip antusias. Mereka minum alkohol bersama. Tidak lama kemudian satu per satu mereka masuk ke dalam kamar Sawung untuk bersenang-senang.
Ketika itu pula Dokni merasa beban di benaknya berkurang, sebab apa yang ia lakukan terhadap Yanti, anak Pak Geusyik, tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang dilakukan oleh Sawung. Kenyataan bahwa Sawung dapat melakukan semua itu dengan gembira dan leluasa, diam-diam membuat Dokni iri. Tidak pernah ia melihat sisi ini dari diri Sawung yang selalu tampil wibawa.
Pada mulanya Dokni memang menikmati kehidupan ibu kota. Seiring berlalu waktu, kejenuhan mulai menyeruak dalam dada. Dan yang paling penting dari itu semua, ia merasa ibu kota rakus mengisap duit di kantongnya. Ia ingin pulang kampung dengan biaya hidup murah, tidak macet. Ia merindukan angin tengah sawah, dan Kedai Kopi Pesal tempat ia biasa berhutang. Ia merasa tempatnya bukan di sini.
Ia mulai membulatkan kalender menghitung hari. Hingga dua belas bulan lima belas hari kemudian, Sawung memanggilnya dan bercerita tentang agenda partai dan rencana kampanye. Ia meminta Dokni membikin persiapan.
Dokni mengurus ukuran spanduk, pawang hujan, biaya yang diperlukan, dan sopir untuk perjalanan kampanye. Semua lebih mudah dari ia bayangkan sebab Sawung juga punya anak buah di Banda dan di kampung-kampung yang ia pelihara dengan rupiah.
Sore itu minggu kedua di bulan Januari. Rombongan mereka tiba di lokasi. Sawung keluar dari mobil dan melambaikan tangan. Ia melihat spanduk dan fotonya tersebar di segala sisi. Beberapa kali muncul di televisi, dan senantiasa mengucapkan selamat berbuka puasa setiap Ramadan di radio, membuatnya yakin bahwa setiap orang kini mengenalnya. Ketenaran membuatnya percaya diri. Sawung naik ke atas panggung. Ia memakai peci putih, jas, dan sehelai kain rida’ melingkar di lehernya. Ia berbicara leluasa dengan kalimat yang sebelumnya telah ia ulang beberapa kali di depan cermin.
“Kita semua perlu mengikuti jalan agama,” ia memegang mikrofon dan berdiri di harapan ribuan pendatang di lapangan. “Kita sudah melihat betapa rusaknya generasi muda karena narkoba dan zina! Semua harus kembali kepada Islam! Hanya itu solusi untuk kita semua! Allahu Akbar!” Ia mengepalkan tangan ke udara. Semua orang tersihir dan terlarut dalam suasana haru “Allahu akbar!” Suara bergemuruh.
Ketika kampanye usai, sebagaimana biasa, Sawung melakukan tur sederhana menjumpai orang-orang kampung di kedai kopi. Salah satunya adalah kampung yang meninggalkan kenangan baginya ketika ia jatuh cinta pertama pada almarhum seorang perempuan muda dan Dokni telah meninggalkan jasa sebagai perantara di antara mereka. Itu terjadi bertahun-tahun lalu sebelum takdir mengantarnya menjadi dirinya yang sekarang.
“Kau lihat orang-orang ini, Dok,” Sawung berbisik. “Mereka semua bisa kita beli dengan segelas kopi,” ia terkekeh. Dokni mengangguk dan tidak pernah menyadari ini.
Melihat Sawung, para orang tua dan anak-anak yang bertelanjang dada dengan bau keringat yang anyir menyesaki kedai kopi. Sawung menyembunyikan kemuakannya dengan senyum khas yang ia punya. Ia berdehem dan meludah.
“Tahun depan, kita akan usahakan sepanjang jalan ini di aspal.”
Sebagian warga berbinar dibalur harapan. Orang-orang memesan makanan dan minuman secara membabibuta dan itu menjadi hari raya kecil bagi mereka. Sawung mentraktir semua sebelum beranjak pergi.
Dokni kini tiba di kampung yang ia rindukan. Ia merasa menjadi orang yang berbeda sekarang dan melihat kenyataan dengan kacamata baru.
Merasa deg-degan dengan reaksi warga, setiap sore di minggu-minggu pertama di kampung, Dokni rajin ke meunasah untuk azan magrib. Dalam benaknya terngiang nasihat Sawung, “Kau hanya butuh mencari celah kosong, lalu mengisinya dengan bermain cantik.”
Di bawah bayang-bayang Sawung, Pak Geusyik juga tak berani berbuat apa-apa. Jauh-jauh hari, demi menutup aib keluarga, anaknya, Yanti, telah ia nikahkan dengan seorang lelaki tua pincang berkelainan mental. “Semua ini pasti ada hikmahnya,” Pak Geusyik berkata getir.
Di Kedai Kopi Pesal, dengan peci tak lepas di kepala, Dokni mulai membual tentang pengalamannya di Jakarta. “Aku tangan kanan Bang Sawung,” Dokni berkata dengan mata berbinar-binar.
Sejak saat itu, warga pun kembali menyapa, dan tersenyum penuh hormat kepadanya. (*)
Posting Komentar untuk "Hipokrit | Cerpen Putra Hidayatullah"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar