Iklan Atas

Blogger Jateng

Samsara Samsa | Cerpen Kiki Sulistyo



Suatu malam, ketika aku baru selesai membaca Metamorfosis, Gregor Samsa datang dalam wujud kecoak. Bunyi sayapnya mencabik keheningan, mengganggu tatanan ruang. Bagi penderita katsaridaphobia sepertiku, kehadiran seekor kecoak membuat ruangan jadi terasa sempit dan mengancam. Serangga kemerahan yang mengilat itu bisa terbang, bergerak cepat, berisik, gemar menyelinap, dan konon bisa mencium bau ketakutan manusia. Semakin takut kita, semakin didekati olehnya.

Maka, ketika kulihat seekor kecoak terbang dan hinggap persis di atas buku Metamorfosis, aku terlonjak dan segera menjauh. Serangga itu menggerak-gerakkan sungutnya seperti radar yang mencari sinyal. Aku melirik sekitarku, mencari benda yang kira-kira bisa kupakai untuk menumbuknya. Ada sepasang sepatu. Bila kuambil sebelah dan kuhantamkan, kecoak itu mungkin langsung ringsek. Tetapi sampul buku itu akan terkena noda dari isi perut yang terburai. Noda itu pasti terlihat menjijikkan, baik secara material maupun moral; bagaimana mungkin sebuah buku hebat dari seorang penulis hebat dikotori oleh isi perut seekor kecoak? Pikiran tersebut ditambah dengan kenyataan bahwa sepatu itu sering dipakai hingga alasnya pasti kotor membuatku urung bertindak. Aku harus menunggu kecoak itu pindah tempat, ke lantai atau dinding.

Tapi dia tidak pindah-pindah. Dia diam saja seakan-akan merasa nyaman. Aku jadi gusar, dan karena tidak lagi sabar, aku mengusirnya. Pada saat itulah aku dengar seseorang berkata, “Tuan Pengarang, tolong bebaskan saya dari siksaan ini!”

Sidang pembaca yang baik, mungkin Anda membayangkan suara itu datang dari dalam kepalaku. Bahwa aku mungkin punya gejala skizofrenia. Atau mungkin suara itu tidak jelas sumbernya, mengambang di udara seperti wahyu yang gaib. Tidak. Suara itu jelas bersumber dari kecoak di atas buku. Cobalah nyalakan radio, televisi, atau gawai. Anda pasti yakin bahwa suara musik atau pembawa acara yang terdengar memang berasal dari benda-benda itu. Begitulah, aku yakin suara itu memang berasal dari kecoak di atas buku meskipun aku tak bisa melihat mulut serangga itu berkata-kata.

“Tuan Pengarang pasti tahu siapa saya. Tidak ada di dunia ini seorang manusia yang berubah menjadi serangga, kecuali saya,” kata kecoak itu. Tentu. Dialah Gregor Samsa. Meskipun tidak merasa takut, aku juga tak berusaha mendekat. “Saya datang untuk meminta bantuan,” lanjutnya. “Apabila Tuan Pengarang bersedia mendengarkan saya, bukalah mesin tulis Tuan dan duduklah di depannya.”

Seperti mengalami sugesti hipnotik, aku melangkah menuju mesin tulis yang tadi kuletakkan di meja kecil. Kubuka dan kutekan tombol energinya. Layar menyala. Gregor Samsa ada di samping kananku, di atas buku Metamorfosis.

“Saya kira Tuan Pengarang dengan mudah bisa membantu saya. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Tuan selain keberhasilan menulis cerita, bukan?” ujar Gregor Samsa. Dia membalik tubuhnya menghadapku tanpa beranjak dari buku. Sungutnya bergerak-gerak. “Saya akan memberikan gagasan cerita bagi Tuan, dan saya harap Tuan bersedia menuliskannya. Saya tahu Tuan punya kemampuan. Sebelum berdiri di sini, tadi saya bersembunyi di belakang rak. Saya lihat plakat penghargaan di atas rak itu. Dan ketika saya melihat Tuan membaca buku ini, yakinlah saya, Tuan bisa menolong saya jika mau,” katanya lagi. Barangkali karena aku diam saja, dia kembali bertanya, “Apakah Tuan bersedia?”

Aku tak sungguh-sungguh yakin apakah karena penasaran atau karena hal lain, aku mengangguk dan bilang, “Baiklah. Aku bersedia.” Gregor Samsa bergerak sedikit, seperti mengungkapkan rasa senangnya. Sinar lampu neon membuat sayapnya yang terlipat berkilauan. Duri-duri di kakinya kubayangkan menusuk kulitku. Aku sedikit merinding. Gregor Samsa berkata, “Saya akan memberikan paragraf pertama. Selanjutnya saya bakal bercerita dan silakan Tuan mengolahnya. Asalkan sesuai dengan cerita saya.”

Aku tidak pernah menulis cerita di bawah kontrol siapa pun. Meski aku sering mengambil cerita kawan-kawanku yang dikisahkan secara lisan sebagai sumber, bahkan kerap sekadar menceritakan ulang dalam bentuk tulisan dengan sedikit perubahan. Tetapi kali ini aku bilang saja, “Aku siap.” Gregor Samsa berdehem sebentar, lalu memperbaiki posisi berdirinya dan berucap, “Inilah paragraf pertama itu. Tulis: Setelah mati sebagai seekor kecoak, Gregor Samsa terlahir kembali. Beribu-ribu kali. Tetapi sayangnya tetap sebagai seekor kecoak.”

Aku tercenung. “Apakah Kafka telah menulis lanjutan kisah hidupmu?” tanyaku. “Tidak,” jawabnya cepat. “Dia tidak tahu, setelah mati, saya lahir kembali beribu kali. Bahkan sampai dia sendiri mati, saya masih saja lahir di dunia ini.” Gregor Samsa tampak gusar. Dia berputar-putar di atas buku. Lalu katanya, “Sudah, jangan terlalu banyak bertanya. Bukankah tadi Tuan bilang siap? Tulis paragraf itu, lalu dengarkan lanjutan cerita saya.”

Aku ingin bertanya lagi, tapi melihat kegusarannya, aku jadi kecut, maka kutulis paragraf itu dan kubilang, “Oke, oke. Lanjutkan ceritamu.” Gregor Samsa masih gusar, dia bahkan menggerak-gerakkan sayapnya. “Ah, Tuan!” katanya. “Tuan membuat saya lupa apa yang mau saya ceritakan.” Dia terus berputar-putar beberapa saat, sebelum melanjutkan, “Pokoknya ceritanya begini: akhirnya suatu hari Gregor Samsa lahir sebagai manusia. Dia hidup, tumbuh dewasa dan mati sebagai manusia. Tuan Pengarang atur saja bagaimana itu semua terjadi, termasuk apakah setelah mati dia masuk surga atau neraka.”

Sebenarnya itu bukan permintaan yang berat. Aku seorang pengarang. Masalahnya, sekarang aku harus memakai tokoh orang lain, tokoh dari cerita yang ditulis lebih dari seabad lalu. Tetapi, sekali lagi, aku tak menolak permintaan si kecoak.

“Baik,” kataku. “Tapi aku mau bertanya, untuk apa semua ini? Apakah dengan menuliskannya, nasibmu akan berubah?”

“Tentu saja, Tuan Pengarang. Kalau tidak, saya tidak akan repot-repot berhadapan dengan Tuan. Saya tidak takut mati. Tuan dapat menghantamkan sepatu itu ke tubuh saya, toh saya akan lahir kembali. Tapi saya ingin jadi manusia lagi. Kalau Tuan sudah menulis cerita itu, maka apa yang terjadi dalam cerita, akan terjadi juga pada saya di alam nyata.”

“Tapi kenapa aku? Aku bukan Kafka,” sanggahku.

“Tidak perlu Kafka,” ucapnya. “Sejak dia menciptakan saya, saya jadi sosok yang sering dipakai sebagai contoh sisi gelap dunia modern. Saya nyata, mengada, hidup bersama manusia, dan menjadi bagian dari pemikiran mereka. Saya tidak berdaya untuk mengubah nasib sendiri, saya butuh seseorang. Dan karena saya lahir dari seorang pengarang, maka hanya seorang pengarang yang bisa menentukan nasib saya. Selama beribu kali kelahiran, saya tidak pernah bertemu dengan seorang pengarang. Saya lahir kembali di selokan-selokan. Baru kali ini saya lahir di dalam rumah, di dalam kamar mandi Tuan.”

“Ya sudah. Tapi begini, aku tidak punya pengetahuan tentang negara asalmu. Jadi, aku tidak mungkin menempatkanmu di sana. Dalam ceritaku nanti, kau lahir di negaraku, kalau bisa bahkan di kota ini. Bagaimana?”

“Terserah Tuan saja, yang penting saya jadi manusia lagi.”

Aku telah mempelajari teknik menulis cepat dari seorang pengarang muda yang cerita-ceritanya hampir setiap minggu terbit di koran. Aku juga memanfaatkan kisah hidup seorang kawan, yang sering datang ke tempatku, sebagai bahan. Sejak remaja hingga mahasiswa, kawan ini aktif sebagai aktor dan sutradara teater. Namanya cukup dikenal. Tapi setelah menikah, ia meninggalkan dunia seni dan bekerja sebagai salesman. Dengan dua modal itu, aku mulai menulis cerita tentang Gregor Samsa. Tak ada kesulitan berarti, ceritanya sudah tersedia, tinggal aku ganti nama tokohnya. Sebentar saja cerita itu pun hampir rampung. Lantas kubacakan.

“Jadi, kisahnya seperti itu. Gregor Samsa lahir dari keluarga kelas menengah yang taat beragama. Dia tumbuh dengan baik, tak kurang suatu apa. Ketika remaja, dia mulai mengenal dunia seni. Di sekolah dia ikut sanggar teater dan menjadi bintang. Itu terus berlanjut sampai dia kuliah. Kegiatan seni membuat kuliahnya tersendat-sendat. Ini bikin orang tuanya berang…”

“Sebentar, Tuan,” sela Gregor Samsa. “Gagasan itu mengkhawatirkan. Bisakah Tuan membuat cerita yang baik-baik saja?”

“Sebuah cerita butuh konflik!” seruku. “Tak mungkin cerita bisa menarik tanpa adanya konflik.”

Gregor Samsa menjilat-jilat kaki depannya. Dia mungkin sedang berpikir. Tapi segera kulanjutkan kata-kataku, “Tenang saja. Meskipun Samsa ditentang oleh keluarga dan dia tetap teguh dengan pendiriannya, pada akhirnya dia menikah, bekerja, dan hidup bahagia.” Aku terdiam sebentar. Ragu-ragu dengan ceritaku sendiri. “Bagaimana?” tanyaku kemudian.

Gregor Samsa kembali menjilat-jilat kaki depannya. Pada saat itu, suara sepeda motor terdengar di depan rumah. Sorot lampunya menembus kaca dan gorden tipis. Menimbulkan pendar, seperti sinar pencerahan. Gregor Samsa jadi bertambah risau, dia berseru, “Bisakah Tuan tidak menjawab jika orang itu mengetuk pintu? Urusan kita belum selesai. Saya tidak mau kesempatan ini hilang.”

Terlambat. Aku tidak mengunci pintu depan dan orang itu masuk begitu saja. Dia kawanku yang sering datang, jadi tak perlu mengetuk pintu. Melihat orang itu sudah berada di dalam, Gregor Samsa panik. Dia membuka sayapnya, bersiap terbang, “Tuan Pengarang, saya akan menunggu sampai Tuan selesai. Saya harap Tuan tahu kenapa dulu saya berubah jadi kecoak,” ucapnya. Kawan yang tiba-tiba masuk itu melihat Gregor Samsa. Dia tahu aku takut kecoak. Gregor Samsa terbang dan hinggap di dinding. Kawanku memburunya. Dia meraih sebelah sepatu dan segera menghantamkannya ke tubuh Gregor Samsa. Isi perut kecoak itu terburai, tubuhnya merosot dan jatuh ke lantai. Aku termenung. Kawanku yang kisahnya jadi sumber cerita yang baru saja kutulismemang kerap datang. Biasanya dia hanya membicarakan dua hal: kehebatannya di masa lalu dan keluhan atas pekerjaan yang membuatnya tersiksa oleh rasa bosan.

Tanpa menyingkirkan tubuh kecoak, dia duduk di dekatku. Wajahnya kusut dan letih. Kualihkan pandang ke Gregor Samsa; aku rasa kecoak itu belum mati, itu artinya ceritaku harus segera rampung. Aku tatap kawanku sambil merunut ceritaku tadi. Melihat wajah dan mendengar keluhan-keluhannya, tidak mungkin dia hidup bahagia. Aku yakin dia menderita. Setelah kutimbang-timbang, kukira tak ada jalan lain. Aku terpaksa harus menutup ceritaku dengan kalimat yang nyaris sama dengan yang ditulis Franz Kafka lebih dari seabad lalu:

Ketika Gregor Samsa bangun suatu pagi, dia menemukan dirinya telah berubah menjadi seekor kecoak… (*)