Iklan Atas

Blogger Jateng

Taman Kesedihan | Cerpen D. Hardi


Senja ini kuputuskan untuk mengakhiri duka. Cukup sudah bermuram durja. Kan kuenyah kesedihan sejauh-jauhnya. Tapi ke mana aku harus membuangnya? Sedari tadi aku hanya berputar-putar kemudi tanpa arah pasti. Sebelum senja berpulang, aku ingin tidur malam ini tanpa bayang kesedihan.

Kantor sudah penuh dengan target, proposal klien, dan tekanan. Empati kalah oleh kesibukan. Pergi ke bioskop sendirian jelas butuh cadangan mental. Aku tak berniat menambah beban jantung dengan makanan cepat saji. Aku akan mati tersedak jika berlama-lama di klub malam. Bosan rasanya bepergian ke mal dengan segala bujuk potongan harga dan kesejukan buatan. Aku pun enggan menumpahkan kesedihan pada satpam kantor karibku yang sudah dijejali dengan kesulitan ekonomi rumah tangganya. Iblis kesedihan tampaknya sudah memeluk sukma.

Akhirnya kulabuhkan kaki di sebuah taman. Rimbun pepohonan memayungi tubuh yang kering terpapar matahari. Udara terasa berbeda. Bunga-bunga bermekaran. Mahkota warnanya mampu menarik mata setiap pengunjung. Harum rerumputan menguar. Letaknya yang persis di tengah kota, serasa menimbun harta karun metropolitan yang tersembunyi dari gegap-gempita serta angkuh beton-beton raksasa. Debur aliran sungai menyiram dahaga. Bunyinya bersahutan memanggil rona keemasan senja. Tempat yang sempurna untuk membuang kesedihan.

Seorang gadis kecil duduk di tengah rerumput hijau. Tangannya sesekali mencelupkan kuas dengan cat warna. Menggores bentuk di sebuah kanvas. Seorang perempuan muda—kemungkinan besar adalah ibunya—hanya memperhatikan dengan saksama. Seolah mengamati bagaimana seorang maestro lukis melahirkan mahakarya. Memindahkan taman ke dalam kanvas dengan sama cantiknya. Ia terlihat bangga.

“Lukisannya bagus. Boleh saya ikut melihat?” kataku seraya duduk di kursi batu tepat tiga langkah dari keduanya.

“Terima kasih. Tentu saja boleh. Sovia senang menggambar. Kali ini ia ingin menggambar segurat taman.”

“Anaknya berbakat, Bu.”

“Beda jauh sama Mamanya,” ujar si ibu tersenyum.

Gadis kecil itu terlihat gembira. Senyumnya tak henti-henti mengembang.

Lepas setengah jam, sang ibu membereskan semua peralatan lukis dan bawaannya menuju mobil di parkiran yang jaraknya tidak begitu jauh. Gadis itu terlihat masih duduk di atas rerumputan. Ketika sang ibu kembali, ia menggendong anaknya dengan hati-hati. Aku luput menyadari jika si gadis kecil telah kehilangan kedua kakinya karena tertutupi terusan.

“Kami permisi dulu, ya,” kata sang ibu.

Mendadak lidahku seperti mati rasa. Ada jeda yang menggema di hati.

‘Taman Kesedihan’.

Aku sendiri yang menamainya demikian. Mitos yang kudengar masih terngiang di kepala: mereka yang bertemu lalu jatuh cinta di taman ini, maka kisah cintanya tak akan berakhir abadi. Namun sebaliknya, jika kekasihmu kau ajak pergi ke taman ini, ikatan rasa itu tak akan pernah mati.

Sejak sore itu ada kerinduan untuk kembali menghabiskan waktu di sana. Tapi hantu kesedihan masih menyambangiku dalam mimpi. Ia mengajakku berjalan di sebuah tempat berdinding curam dengan kelok labirin penuh enigma. Suasana begitu gelap tertutupi kabut. Kami seperti sedang mencari ketidakpastian. Saling mencari satu sama lain. Saling berteriak tanpa suara. Pada akhir langkah berdiri menganga sebuah lubang hitam yang besar di hadapanku. Cukup besar untuk dapat terjerembap masuk. Ia berdiri di dalamnya dengan raut yang bengis. Meliuk-liuk bak ular neraka. Tubuhnya membelah diri menjadi banyak, mengepal sepucuk senjata. Hendak menghisap semua kenangan, melebur luruh di samudera hampa.

*****

“Jadi Mas juga sering kemari?” Seorang Bapak di sampingku membuka senja dengan hangat.

“Baru satu kali. Tapi taman ini seperti magnet. Kangen rasanya menikmati senja sebelum kembali ke dunia nyata. Bapak tahulah, kemacetan, polusi, rutinitas…”

“Kesedihan.”

Aku tertegun. Bangku panjang di bibir pagar pembatas sungai ini bisa terisi lima-enam orang jika duduk berjejer. Namun kini terasa menyempit. Matanya lekat menatap aliran air yang entah akan bermuara ke mana.

“Menurut cerita, orang-orang datang untuk membuang kesedihannya di taman ini. Kesedihan sesungguhnya berasal dari kota. Di luar sana. Lalu mereka menumpahkannya begitu saja. Di sungai ini. Di taman ini. Mungkin dianggapnya sungai ini toilet raksasa yang akan membawa semua kesedihan menghanyut. Dianggapnya kesedihan adalah humus yang diserap akar, menghidupi pepohonan,” sambungnya tertawa kecil penuh arti.

“Apakah Mas juga sedang membuang kesedihan di sini? Tak apa-apa, jujur saja.”

Ingatanku kembali pada gadis kecil dan ibunya. Apakah mereka juga dihantui kesedihan?

“Bagaimana caranya?!”

“Hahaha…ternyata benar.”

Aku merasa bodoh. Mungkin terlalu banyak membaca buku bertema konspirasi.

“Sebetulnya aku tak hendak membuang kesedihan. Aku hanya tak percaya lagi cinta,” kataku terdengar semakin konyol.

Benar saja, ia terbahak-bahak. Tapi ada perasaan lega melihatnya tertawa lepas seperti itu.

“Kalau tak percaya lagi cinta, apa yang Mas percaya di zaman ini? Medsos?” Matanya kukuh mengarah ke riak sungai di hadapannya. Seolah menemukan oase dari parade kemurungan yang sedang berkamuflase. Burung-burung liar beterbangan. Semilir angin meniup dedaunan kiara. Ia mengajakku bertakzim. Beginilah caranya membuang kesedihan, katanya.

Semampai gadis secara perlahan menghampiri dengan rambut terurai. Matanya bulat cemerlang.

“Sudah waktunya kita pulang, Papa,” ucapnya lembut dengan bibir yang merekah. Senyuman itu membuat benda di sekitarku bagai tak bergerak. Surealisme senja tercipta, penuh pesona. Menyentuh alam bawah sadarku yang jauh lewat rona wajahnya. Pertemuan ini, jangan lekas berhenti.

Baru saja kehangatan meriap, sebuah kenyataan kembali menampar. Lelaki tua itu ternyata tak bisa melihat. Si gadis memapahnya pulang, meninggalkan taman dengan sekian rasa yang berkecamuk di dada. Mengutuk kesedihanku yang terdampar sendirian.

Menuai semusim kemarau.

*****

“Saat itu kamu terlihat misterius. Cantik, tapi misterius.”

Matanya yang bulat hanya tersenyum. Aku masih tak percaya perempuan yang kutemui setahun kemarin itu kini telah duduk di hadapanku. Di hari ulang tahunnya.

“Spekulatif adalah ciri khas kaum pria. Tapi aku tak keberatan.”

Sejak pertama kali jumpa aku rela menunggunya berkali-kali di taman. Saat nasib kembali mempertemukan, semua terasa begitu lancar. Ayahnya mengizinkan. Kami semakin akrab. Meski sibuk dengan pekerjaan masing-masing, selalu ada hari untuk menghabiskan waktu berdua. Banyak hal manis sejak pertemuan demi pertemuan yang dapat aku ceritakan. Sosoknya menafikan segala mimpi buruk kesedihan. Semakin berharga seseorang, kadang kita semakin takut untuk kehilangan. Mungkin karena pengaruh mitos itu.

Maka hari ini adalah saat yang tepat untuk melamarnya.

*****

Waktu melesat bagai anak panah.
Betapa kota telah banyak berubah, tiap gedung berlomba-lomba paling jauh menjulang. Teknologi memberi banyak kemudahan, sekaligus kekosongan. Tapi tak ada yang berubah dengan taman ini. Tetap menawan. Kini aku duduk di sebuah bangku di pinggiran sungai menatap senja bersama Sovia, anak gadisku yang sudah beranjak remaja.

“Bagaimana Papa bertemu Mama?” tanya Sovia.

“Ceritanya panjang.”

“Ayolah. Pasti romantis.”

“Awalnya kekecewaan. Papa ingin membuang kesedihan di tempat ini. Takdir lalu mempertemukan Papa dengan Mamamu.”

“Mengapa Papa bersedih?”

“Cuma sentimentil urusan anak muda.”

“Pasti Mama terlihat cantik sampai Papa bisa terpincut.”

“Pertama bertemu, kulihat Mamamu yang berkacamata tebal, duduk manis di bangku taman seorang diri serius membaca The Alchemis’ sambil memegang sekotak susu cokelat.”

“Mama?!”

“Awalnya Papa sedang patah hati. Papa ditolak oleh seorang perempuan yang ternyata tidak mencintai Papa dengan tulus. Ia hanya ingin menghibur ayahnya yang sakit-sakitan. Setahun berhubungan ternyata ia telah membohongi Papa dan perasaannya sendiri. Ia masih mencintai kekasih lamanya. Mamamu meledek Papa, ‘Anda pasti hendak membuang kesedihan’, katanya. Kami sedikit berdebat, kemudian bertemu lagi di tempat yang sama, membicarakan banyak hal. Begitulah, sampai kemudian menikah, melahirkan kamu.”

“Mama bukan sekadar pelarian ‘kan?”

“Tentu saja tidak. Kisah cinta punya jalannya masing-masing, Sovia. Semakin menyelami, Papa semakin melihat kecantikan Mamamu yang sesungguhnya.”

“Mengapa dinamai ‘Taman Kesedihan’?

“Seperti halnya ‘Rumah Sakit’. Taman ini akan memulihkan jiwamu.”

Taman dan senja beradu rupa, laiknya permufakatan abadi bagi jiwa-jiwa penuh romansa. Ia akan meredup seiring lembayung langit yang hendak bertukar warna. Sisa keemasan jatuh di antara celah dahan. Memulangkan jiwa-jiwa sibuk, jiwa yang jengah merajuk.

Begitu manis senyuman itu tergurat. Seperti Mamanya.

Tidak semua hal perlu diceritakan. Semua hal tentang kesedihan, biarlah jadi beban yang terkubur oleh waktu. Oleh empati yang kau sesap sepenuh hati, Sayangku. Hanya kamu yang tahu setiap mimpi burukku. Mimpi dari masa lalu yang gelap. Segelap peristiwa malam itu kala Abah harus mati di tangan orang-orang bersenjata. Ditembus peluru di pedalaman Sumatera. Membuat aku dan Mamak harus menghilang dari dusun, pergi ke ibu kota dengan bekal seadanya. Akhirnya Mamak pun wafat dengan segala sisa perjuangannya membesarkanku seorang diri. Takdir memilihku untuk tetap bertahan di tengah himpitan hidup dan trauma.

Ah! Hanya kamu seorang yang mengerti dan menghapus segala kesedihan. Kini kamu tinggalkan warisan yang paling berharga. Sovia. Akan kujaga ia seperti dulu Mamak menjagaku sampai akhir hayatnya.

Mimpi indah dan tenang-tenanglah di sana, Sayang.

Bojongsoang, 2018