Mita terkesiap mendengar suara itu, perlahan dia menolehkan pandang ke sumber suara, namun yang terlihat tetaplah tembok menjulang melembab dan menghijau karena lumut tumbuh subur di sana. Bulu kuduknya mulai merinding, duduknya gelisah dalam kesendiriannya. Tiara yang sedari tadi menemaninya beberapa saat izin untuk ke toilet namun sampai di penghujung penantian, Tiara belum juga kembali.
“Terus ke mana anak itu?” gumamnya seraya bangkit dari duduknya dan melihat arah jarum jam tangannya seakan memastikan waktu saat itu. Gemeretak ranting yang terjatuh ke bumi semakin terasa mistis. Lagi-lagi bulu kuduk Mita berdiri, rasa takut menghantui perasaannya. Suara rintihan itu kembali terdengar dari balik dinding tembok menjulang. Kokohnya dinding itu seakan tak sanggup meredam suara hingga terdengar nyaring menembus susunan bata merah berbalut semen tebal.
Tanpa pikir panjang, Mita segera menghambur ke dalam perpustakaan, namun langkahnya terhenti manakala melihat penjaga perpustakaan terduduk tanpa ekspresi. Pandangannya nanar, kosong tanpa sebuah keceriaan memandang sosok Mita dalam ketakutan. Tapi rautnya begitu datar tidak bersahabat.
“Pak, saya mau masuk untuk mencari buku!” ujar Mita seraya menghampiri meja tamu perpustakaan lantas meraih pulpen yang berada di atas meja itu.
“Tulis nama dan kelasnya!” ujar penjaga perpustakaan itu sambil menyodorkan buku tamu kepada Mita.
“Iya, Pak!” jawab Mita, pandangannya lekat tertuju pada pria setengah baya yang terduduk mematung di depannya.
Mita melangkah menyusuri lajur antara rak satu dan lainnya. Mita bermaksud mencari buku sastra untuk memenuhi tugas Bu Yanti, guru bahasa Indonesia. Namun sesaat Mita berbalik arah kembali ke meja tamu perpustakaan itu.
“Pak kalau buku sastra di rak berapa ya?” tanya Mita seraya menatap tajam pada pria tanpa ekspresi itu.
“Kamu bisa cari di rak 13!” jawab pria itu datar sekali.
“Makasih, Pak!”
“Hmm!”
Mita segera menyusuri lorong-lorong yang terbentuk dari deretan rak buku hingga membentuk seperti labirin. Ternyata tidak mudah menemukan rak 13 itu. Letaknya ada di antara lorong paling ujung antara rak 10 dan rak 9. Mita menoleh ke kanan rak 9, pada sebuah kertas yang sudah lusuh tertulis “Rak 13”. Perlahan langkahnya terayun menuju deretan buku sastra yang terpajang di rak itu.
Entahlah, semakin dekat dengan rak itu, rasa takut menyergap hatinya, bulu kuduknya semakin merinding. Mita menyentah lembut deretan buku yang tersusun rapi di rak itu, di ambilnya sebuah buku yang terletak paling ujung lantas dibaca jilid depannya berjudul: Misteri Terbunuhnya Gadis Berusia 13.
“Kok, cerita misteri sih?” gumamnya seraya meletakkan buku itu di tempat semula, kemudian Mita ambil lagi buku yang lainnya.
“Astagfirullohaladzim… kok judulnya sama sih,” seru Mita kaget luar biasa, buku itu terlempar ke lantai. Mita mundur beberapa langkah hingga nyaris menabrak rak 9 persis berhadapan dengan rak 13.
Beberapa saat keberaniannya timbul di ujung rasa penasarannya. Mita kembali menghampiri rak 13 itu lalu mengambil buku dari ujung yang lain kemudian dibacanya judul buku itu.
“Astaga! Kok semua buku di rak ini memiliki judul yang sama ya? Ada apa ini?” seru Mita, secepat kilat dia berlari menghambur ke arah pintu keluar, pandangannya tetap tertuju pada rak 13 itu. Sontak saja Mita tidak memperhatikan benda yang ada di depannya. Di waktu yang bersamaan Tiara bermaksud menyusul Mita ke dalam perpustakaan itu, tak pelak lagi tubuh Mita menabrak tubuh Tiara yang berada di ambang pintu itu. “Gedubrak,” kedua tubuh gadis itu terjatuh saling menindih.
“Aduh….kamu ini kenapa Mita, lari kayak dikejar setan aja?” ujar Tiara seraya bangkit, wajahnya terlihat memucat. Tiara beberapa kali mengaduh kesakitan, dia memegang sikutnya yang lecet karena benturan.
“Anu….anu!” jawab Mita dengan suara terbata-bata terlihat seperti ketakutan sekali.
“Anu apa Mita?” tanya Tiara, kedua tangannya memegang bahu Mita yang sedang dalam kondisi ketakutan yang amat sangat.
“Tenangkan dulu Mita! Duduklah, ini minumlah dulu!” ujar Tiara seraya mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tasnya dan memberikannya pada sahabatnya itu. Mita tidak serta merta meminum air itu, wajahnya masih memucat, napasnya sesak, keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya. Kini baju seragam pramuka yang dipakainya terlihat membasah.
“Ayo, minumlah Mita, agar kondisimu makin membaik, setelah itu berceritalah padaku! Ada apa di dalam sana sehingga kamu terlihat begitu ketakutan,” ujar Tiara lagi seraya terduduk di samping Mita.
“Iya, makasih Tiara,” jawab Mita sambil meminum air pemberian sahabatnya itu. Entah karena haus atau hal lain air mineral itu nyaris habis setengah bagian.
“Gimana, kamu sudah tenang sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana Mit?” tanya Tiara setengah memaksa Mita untuk bereerita.
“Sesuai rencana, kita akan mencari buku sastra yang ditugaskan Bu Yanti, karena kelamaan menunggu kamu maka aku putuskan masuk duluan,” jelas Mita dengan nada bicara sedikit terbata karena masih dihantui rasa ketakutan hebat.
“Lama gimana? Aku hanya ke toilet tidak lebih dari sepuluh menit,” jawab Tiara seraya mengernyitkan dahinya.
“Akhirnya aku memaksakan diri masuk, sebelumnya aku menulis di buku tamu karena disuruh Pak Badrun,” jelas Mita lagi sambil menatap wajah Tiara yang kebingungan.
“Apa? Pak Badrun? Kamu lupa kalau beliau itu sudah meninggal tiga hari yang lalu?” ujar Tiara lagi.
“Iya, Pak Badrun, bahkan aku menulis di buku tamu yang terletak di atas meja itu!” kata Mita seraya menoleh ke arah meja di pinggir kanan pintu perpustakaan itu.
“Buku apa? Tidak ada buku apa pun di sana,” kilah Tiara seraya menuntun Mita menuju meja itu.
“Jadi tadi itu?”
“Jadi tadi itu hanya halusinasi kamu, Mita!”
“Terus rak 13 itu menyimpan buku dengan judul yang sama ‘Misteri Terbunuhnya Gadis Berusia 13,” jawab Mita meyakinkan sahabatnya tentang rak 13 itu.
“Masa sih? Ayo kita cek lagi kebenarannya,” ajak Tiara seraya membimbing Mita menuju rak 13. Tanpa banyak berkata Mita segera mengikuti kemauan Tiara menuju rak 13. Sasampainya di rak itu, Tiara segera mengecek judul buku yang berderet satu demi satu dengan teliti.
“Halusinasi kamu benar-benar hebat Mita! Buku yang berderet di sini memiliki judul yang berbeda. Coba kamu perhatikan satu demi satu!” ujar Tiara seraya memperlihatkan satu persatu buku yang terletak di rak 13.
“Jadi yang tadi itu….?” kata Mita dalam kebingungan yang amat sangat. Digaruk- garuk kepalanya maski tak terasa gatal.
“Terus suara rintihan itu?” tanya Mita pada Tiara. Pandangannya begitu lekat memandang wajah sahabatnya.
“Kamu juga lupa ya, apa yang dikatakan Pak Dudi guru bahasa Sunda? Menurut cerita masyarakat setempat, beberapa bulan lalu di rumah yang terletak persis di belakang perpustakaan ini ada seorang gadis berusia 13 tahun yang meninggal secara tragis,” jelas Tiara seraya menatap wajah Mita yang masih terlihat kebingungan.
“Jadi semua yang kualami tadi?”
Itu halusinasi terhebat yang pernah aku dengar!” jawab Tiara seraya beranjak meninggalkan Mita yang sedang kebingungan. (*)