Ayah membopong Ibu memasuki gang sempit di antara geriap air tambak dan percik cahaya lampu rumah yang berdempetan membentuk pemandangan rumah apung. Akhirnya kami sampai. Kiai Dullah hanya tersenyum tipis sambil memandangi wajah Ibu yang meringis. Dia duduk menyimpuh, menundukkan kepala seperti hendak sujud.
Dia melekatkan bibir yang lebam oleh rokok ke kaki Ibu yang bengkak. Dia isap kuat-kuat bisa ular di kaki Ibu. Ibu meringis. Kiai Dullah menggerak-gerakkan betis dan punggung perlahan, tetapi terasa begitu kuat. Beberapa menit pemandangan itu tak berubah. Wajah Ibu makin pias. Otot-ototnya menegang. Kiai Dullah gemetar dan menerjang-nerjang. Mereka berdua seperti sedang bergulat dengan sesuatu yang teramat berat dan kuat. Bulir-bulir keringat mereka menetes seperti kilauan air tambak terkena pantulan cahaya lampu rumah-rumah.
Setelah beberapa menit yang berat dan penuh keringat, Kiai Dullah melepaskan kaki Ibu. Dia memuntahkan gumpalan darah merah pekat hampir mendekati hitam ke dalam baskom. Darah itu bergelembung dan membentuk gumpalangumpalan kecil yang menguarkan bau amis. Saat Ibu melepaskan lelah, Kiai Dullah segera berkumur air kelapa yang telah terkupas dan dilubangi.
“Tinggal menunggu penyembuhan,” Kiai Dullah berkata lirih sambil memperbaiki duduk persis di samping kaki Ibu yang masih kaku dan menjulur begitu saja tanpa tenaga.
“Tolong perbanyak makan dan istirahat. Bekas luka ini lumuri parutan mentimun.”
Kami menunduk, mengiyakan perkataan Kiai Dullah. Meski tak begitu paham apa yang dia maksudkan, bagi kami kesembuhan Ibu yang utama. Jadi tak perlu bertanya tujuan dan fungsi resep itu. Kami pasrah dan melaksanakan sebaik-baiknya.
*****
Konon, ular yang telah menggigit manusia tak pernah bisa hidup bahagia. Ia akan menangis setiap hari. Bahkan empat puluh hari sebelum ia benar-benar menggigit mangsa.
Sebagai bentuk penyesalan, ia tak pernah beranjak dari tempat saat menggigit mangsa. Berhari-hari ia akan berdiam dengan tubuh tanpa tenaga. Tak makan, tak minum, dan sangat mungkin ia akan mati. Jika orang-orang yang mencari cepat menemukan, ia dalam keadaan mengenaskan. Namun jika tak ada orang yang mencari, ia akan mati kelaparan dan mengenaskan.
Sampai detik ini, tak seekor pun ular yang menggigit manusia selamat dari buruan orangorang kampung. Mereka selalu sigap dan kompak, serimbun dan selebat apa pun semak. Setelah menemukan, mereka menggiring ular itu ke rumah korban dan di sana mereka membantai ular itu hingga mati mengenaskan. Kadang-kadang mereka membakar ular itu karena menganggap akan hidup lagi setelah dilepaskan, separah apa pun kondisinya. Sebagian orang percaya ular punya obat dan cara tersendiri untuk keluar dari jurang maut yang mengerikan. Membakar adalah cara terbaik meyakinkan mereka: ular itu sudah benar-benar binasa.
Namun ini tidak terjadi pada ular yang menggigit Ibu tiga hari lalu. Sudah hampir seluruh warga kampung mencari di tempat kejadian dan beberapa tempat sekitar. Nihil. Semak-semak rimbun telah mereka bersihkan, tetapi tetap nihil. Sejak Ibu digigit hingga saat ini, pencarian tak kunjung berhenti. Mereka tetap berusaha menemukan. Ada keyakinan kuat di masyarakat, jika ular yang menggigit tak bisa ditangkap, luka korban akan parah, bahkan bisa berakibat sangat mengerikan: meninggal dunia.
Menurut penuturan Ibu, ular yang menggigit sebesar lengan orang dewasa, berwarna hitam berbelang kuning. Panjang sekitar satu meter. Ia terjatuh di semak di kiri jalan setelah Ibu kibaskan dengan kuat. Ibu tidak tahu persis saat ular itu menggigit karena saat itu matahari sudah tenggelam dan mega merah di ufuk barat memancar lembut. Ibu hanya memprediksi lewat cahaya senter yang menyorot sekilas. Setelah itu, dia terburu-buru memanggil Ayah yang sedang mencuci rumput di sungai dan terburu berangkat ke pawang ular yang berjarak sekitar 50 kilometer dari rumah.
Orang-orang berspekulasi. Ular itu mungkin sudah sangat tua dan sangat berbahaya. Mungkin jenis ular kaber macan yang sangat berbisa. Namun dari ciri yang Ibu sebutkan, sebagian waswas ia mungkin kaber kokon yang tak kalah berbisa. Orang-orang masih beradu pendapat dan berbagai kemungkinan.
Sementara Ibu meringis kesakitan dan kakinya makin membengkak, orang-orang makin sengit beradu kemungkinan dan menebak jenis ular yang telah mengigit. Setelah berhari-hari mencari dan tak kunjung menemukan ular itu, orang-orang mengajukan kemungkinan lain. Ular pangraksa.
Ular itu sangat jarang keluar. Ia hanya menampakkan diri pada waktu tertentu. Biasanya malam Jumat dan malam Selasa. Oleh karena itulah, orang-orang bersepakat memberi sesajen sebagai makanan setiap ia muncul agar tidak mengganggu warga dan binatang ternak. Warga meyakini ia penjaga keamanan kampung ini sejak ribuan tahun lalu. Sebagai wujud terima kasih, warga berela hati menaruh sesajen di tempat itu seminggu dua kali.
Sampai detik ini, tidak ada yang pernah melihat langsung ular itu. Hanya dari cerita ke cerita. Konon, beberapa orang melihat ia sedang melingkar di semak belukar. Sebagian orang lain melihat ia melilit rumpun bambu yang lebat di sekitar tempat ia muncul. Gerakannya menimbulkan bunyi mengertap dan sesekali berbunyi persis seperti ayam jantan yang berkokok.
Dari cerita itulah, setiap malam Jumat dan Selasa, apabila terdengar seperti kokokan ayam jantan di sekitar tempat itu, orang-orang percaya itulah ular pangraksa yang keluar dari sarang.
Ibu-ibu akan menyuruh anak-anak masuk ke rumah dan ntuk segera tidur. Orang-orang yang nongkrong di warung menjadi kaku dan terdiam lesu. Sampai detik ini tidak seorang pun berani memastikan itu ular yang dimaksud. Mereka memilih aman daripada menuruti rasa penasaran. Memang ada satu-dua orang hendak membuktikan ular itu benar-benar ada. Namun sebelum niat itu terlaksana, nyali mereka menciut karena provokasi tetangga dan teman-teman yang sangat meyakinkan dan menggetarkan nyali.
Soal ular pangraksa sebenarnya tinggal cerita. Sudah lama tak ada kokokan serupa ayam jantan dan tidak ada suara kertap bambu dilintasi ular. Mungkin sudah berbilang tahun. Hingga orangorang lupa mereka punya kewajiban setiap dua malam seminggu. Mereka lebih asyik dengan cerita masing-masing. Sebagian juga sudah tak percaya ular itu sungguh ada.
Penebangan demi penebangan dilakukan. Hampir semua rumpun bambu di tempat yang dikeramatkan sudah habis terjual. Beberapa pohon besar juga mereka tumbangkan. Kenyataannya tidak ada yang ganjil. Semua lancar dan aman. Sebagian bahkan berani mencacimaki keyakinan sesepuh tentang ular itu. Mereka menganggap itu sekadar mitos dan isapan jempol belaka.
Di warung-warung mereka berbicara lebih rasional tentang kondisi ekonomi yang makin menjepit, kondisi politik yang memanas, dan tentu berita-berita yang membuat adrenalin naik tak terkontrol. Tentu mereka tidak paham berita yang benar dan tidak. Terpenting mereka sudah mendengar dan menonton di televisi. Apalagi sebagian yang lebih berpendidikan mengompori.
*****
Kamis sore itu, di tempat yang sudah tak lagi dirindangi rumpun bambu dan tinggal semak-semak kecil, orangorang berkumpul membawa nasi takir yang ditaruh di atas ancak pelepah pisang. Ada empat takir kecil berisi nasi ditumpangi pewarna merah. Di tengahtengah kerumunan digantung kulit kambing yang sudah diisi jerami, sehingga terlihat masih hidup seperti semula.
Mereka mengaji perlahan dan berbarengan. Sesepuh kampung membacakan mantra dan doa sebelum menaruh sesajen itu di berbagai penjuru. Diam-diam mereka sadar, selama ini sudah melupakan kewajiban.
Peristiwa yang menimpa Ibu bukan satu-satunya. Beberapa warga juga sudah digigit ular sebelum Ibu. Namun peristiwa yang menimpa Ibu yang paling ganjil. Tak ada jejak ular ditemukan. Itu membuat masyarakat tersadar, ular pangraksa sudah benar-benar keluar. Ular dengan kombinasi setengah hewan dan setengah makhluk halus. Ular yang dimitoskan dan tidak dianggap benar-benar ada. (*)