Beberapa motor terparkir rapi. Sebuah warung kopi. Dadang tersenyum. Sepuluh jam perjalanan yang cukup melelahkan sudah semestinya dirayakan dengan secangkir kopi. Ia melangkah sambil mengikat rambut panjangnya. Ransel di punggung dan kamera tergantung menyentuh perut yang mulai buncit.
“Mas ini wartawan, ya?” sapa ramah seorang pemuda yang sama-sama sedang menghadap cangkir kopi. Wajahnya segar dan riang. Seperti itu juga paras ibu pemilik warung. Seperti bercahaya.
Dadang menggeleng. Dihirupnya aroma kopi sebelum hati-hati meminumnya. Ia sodorkan bungkusan rokok. Pemuda gundul membalasnya dengan senyuman. Tampak sungkan menarik sebatang rokok.
“Saya cuma kuli, Dik. Kebetulan ada kerjaan di sini.”
“Kuli kok kayak mau pelesiran begini, Mas. Baru kali ini ke Kota Owah?”
Kali ini Dadang mengangguk. Sambil bercakap Dadang sesekali melihat cahaya-cahaya dari bangunan yang terbalut kabut tipis. Begitu rapi. Rumah-rumah berjajar, tenteram, dan lelap. Jalanan lebar. Trotoar terbebas dari sampah. Di pertigaan samar terlihat sebuah patung dalam kucuran air mancur dan lampu warna-warni.
“Memotret pengemis di kota ini?” Ari, begitu nama pemuda gundul yang ternyata tukang ojek, seakan tersentak. Heran.
“Kenapa?” Dadang teringat reaksi istrinya ketika ia mengatakan hal yang sama.
“Heran saja. Kok pas sekali. Ini kan musimnya pengemis di sini. Kok milih kota ini, Mas? Di kota-kota lain juga pasti banyak.”
“Musim pengemis?”
“Lebih tepatnya pesta pengemis.”
“Hahaha! Menarik ini. Pantas Murtopo menyuruhku langsung berangkat.”
“Murtopo? Murtopo yang pelukis itu? Pelukis yang melulu melukis pengemis?”
“Lho?”
“Siapa tak kenal Murtopo di kota ini, Mas. Dia pahlawan bagi kami. Tak ada tokoh yang paling dibanggakan selain Murtopo. Dia mengharumkan nama Kota Owah sampai ke luar negeri. Konon, dia juga yang paling rajin menyumbang untuk pembangunan. Dia panutan di kota ini, Mas. Di sini, ada banyak bayi yang lahir diberi nama Murtopo.”
“Anak saya juga saya namai Murtopo agar bisa tangguh dan ampuh seperti dia.” Timpal ibu pemilik warung kopi yang dari tadi tampak seperti memejamkan mata.
“Sialan Murtopo!” batin Dadang sedikit iri. Diteguknya sisa kopi sampai habis.
“Sumpahnya itu lho, Mas, yang sangat terkenal. Anak-anak kecil juga menghafalnya sambil bermimpi bisa seberani itu.”
“Sumpah? Murtopo punya sumpah?!” Dadang tak jadi menyulut rokok.
“Mas ini benar kawannya? Masa, tidak tahu. Sumpah yang ini,” Ari mendadak berdiri di atas kursi, ibu pemilik warung juga ikut berdiri, mereka mengangkat tangan kiri, serempak berkata. ”Sekali pergi meninggalkan kampung halaman pantang pulang sebelum mati.”
Dadang terbengong-bengong. Sampai dia lupa mengabadikan momen ajaib tersebut. Peristiwa yang mungkin hanya akan terjadi di Kota Owah. Tidak mungkin ada di kota-kota lainnya. Bahkan di seluruh kota negeri adil dan makmur ini.
Di penginapan Dadang tak bisa tidur. Dari jendela kamar di lantai 3 itu, ia mengintip sebagian kota dalam selimut kabut. Di bawah bayang gedung-gedung tinggi yang dihias lampu warna-warni, Kota Owah tampak tenteram dalam benderang lampu-lampu yang tersebar penuh warna. Di sebagian tempat, lampu seperti rumpun-rumpun pelangi. Bentangan jalan tak kalah semarak cahaya. Kota yang megah dalam selimut kabut.
Telepon genggam bergetar, berdering di atas ranjang. Dyah. Istrinya.
“Sudah sampai?”
“Sudah, Sayang. Ini di penginapan.”
“Jangan lama-lama.”
“Lho, baru juga sampai.”
“Ini meronta-ronta terus. Mules-mules. Sepertinya ingin segera lahir.”
“Kata dokter kan seminggu lagi.”
“Dokter kan bukan Tuhan. Aku takut. Aku kangen.”
“Tenang. Sehari juga beres, kok. Ini kerjaan gampang. Besok malam juga pulang.”
*****
Murtopo memang sialan! Umpat Dadang sambil melempar tubuh ke ranjang. Murtopo pahlawan Kota Owah. Dadang terkekeh. Edan. Pelukis sableng itu dipuja-puja di kota yang pantang ia injak lagi. Kemarin Murtopo menelepon ingin bertemu. Lagi kumat gairah melukisnya. Murtopo ingin melukis pengemis di kota kelahirannya untuk melengkapi lukisan-lukisan pengemis yang akan dipamerkan dalam pameran tunggalnya di luar negeri. Baru Dadang mengerti kenapa dia tidak pergi sendiri ke kota ini. Dia termakan sumpah sendiri. Tapi, di sisi lain, ini rezeki bagi Dadang yang kelabakan menghadapi kelahiran anak pertamanya. Sama-sama membutuhkan. Yang jadi sialan itu ya Murtopo ingin hari itu juga Dadang berangkat. Seperti tak peduli cerita Dadang tentang kondisi Dyah yang menanti hari melahirkan. Murtopo memang tak pernah menikah. Mana dia tahu kecemasan calon bapak. Dadang akhirnya menurut setelah segepok uang dilempar Murtopo ke udara. Segepok uang yang lekas ditangkap dan dipeluk oleh Dadang.
Hati Dadang sedikit tenang teringat celoteh Ari tentang musim pengemis, bahkan pesta pengemis, yang sedang berlangsung di kota ini. Hal yang mustahil baginya. Apalagi di kota demikian asri dan menawan. Memang di kota mana pun pengemis selalu hadir seperti warna abadi. Barangkali ini yang membuat Murtopo begitu terobsesi pada pengemis. Tapi, bagaimana mungkin pengemis dipestakan. Dalam pikirannya, terlintas cerita tentang partai pengemis dalam buku-buku silat yang pernah dibacanya. Terkekeh. Lekas meraih kamera, setidaknya kerjaan akan lebih ringan. Sehari juga akan kelar. Tinggal jepret sana jepret sini. Beres. Setelah memeriksa kamera, Dadang lelap berlayar ke alam mimpi. Di jendela yang masih gordennya terbuka, kabut menebal.
Pagi hari, saat matahari menerobos kabut Kota Owah, Dadang sudah siap. Ia ingin lekas menyelesaikan pekerjaannya dan pulang. Mimpi yang menyusup dalam tidurnya begitu buruk. Sangat buruk. Ia bermimpi Dyah melahirkan seorang pengemis.
Berbekal kamera, Dadang berencana menyusuri kota dengan jalan kaki. Kota Owah ini kota kecil. Semalam sebelum mengantar ke penginapan, Ari sempat mengajaknya berputar-putar di sekitar kota. Dadang juga tak lupa minta nomor telepon Ari untuk jaga-jaga.
Di parkiran penginapan, seorang bapak sedang menyapu. Wajahnya bercahaya. Cahaya kegembiraan. Cahaya yang juga dia temukan pada wajah Ari dan ibu pemilik warung kopi. Tergoda untuk mencoba kamera, Dadang mengarahkan lensa untuk membidik. Tiba-tiba bapak itu menoleh, tersenyum. Dadang tak enak hati, segera ia palingkan kamera ke arah jalanan. Membentur baliho gambar caleg. Wajah yang gagah memelas. Sampah! Rutuknya. Kadung dibidik baliho itu diabadikannya juga.
Dari penginapan Dadang menyusuri trotoar ke arah alun-alun. Trotoar yang bersih. Para petugas kebersihan bekerja menyapu daun. Wajah-wajah yang bercahaya. Anak-anak sekolah berjalan riang sambil bercanda. Para pedagang menyiapkan roda dagangan dengan rapi. Bunga-bunga mekar dalam pot-pot besar sepanjang trotoar. Toko-toko terbuka. Senyum mengembang di mana-mana.
Alun-alun begitu hijau. Selalu ada kabut tipis. Hamparan rumput. Pohonan rimbun di setiap sudut. Patung dan air mancur di beberapa tempat. Bangku-bangku. Burung-burung terbang dan hinggap. Kupu-kupu. Nihil. Tak ada pengemis. Mungkin terlalu pagi. Pedagang bubur tampak sibuk melayani pembeli di bawah sebuah baliho raksasa yang memanjang di seberang alun-alun. Baliho caleg. Sampah di kota yang menawan, batin Dadang.
Matahari meninggi. Dadang keluar dari pasar, mengelap keringat dengan kesal, menatap lalu-lalang orang. Sudah dimasukinya pasar itu dari setiap pintu. Yang ditemuinya hanya para penjual dan pembeli yang penuh kegembiraan. Tak ada sosok tubuh lusuh menyedihkan. Dadang mulai sangsi pada kata-kata Ari. Tak disangka pemuda riang berwajah bayi itu nyata seorang pendusta. Musim pengemis mana? Pesta pengemis apa? Sudah beberapa jam. Beberapa tempat ia susuri. Nihil. Tak ada pengemis. Tak ada sama sekali.
Beberapa kali SMS yang masuk dari Dyah mulai membangkitkan panik. Dadang berjalan cepat menuju arah terminal. Kesibukan kendaraan menyambutnya. Orang-orang berwajah cahaya hilir mudik dalam kegiatannya masing-masing. Rasanya setiap orang sedang bekerja. Tak ada yang berpangku tangan. Tak ada yang duduk lusuh menengadahkan tangan menjajakan kemiskinan. Rumah sakit! Dadang bergerak kembali. Memanggil seorang tukang ojek. Semangatnya bergelora lagi. Namun padam kembali begitu menjejak pelataran parkir bangunan putih memanjang dan bertingkat. Deretan kendaraan, jajaran para pedagang yang rapi. Kerumunan para pengunjung. Yang besuk dan pulang. Wajah-wajah yang sedikit murung dan sedih tanpa menanggalkan cahaya ketenteraman dan kebahagiaan.
Mustahil, batin Dadang. Hampir senja Dadang terduduk murung di bangku alun-alun. Setiap penjuru kota telah dijelajah. Tinggal beberapa jam menuju jadwal yang tertera pada tiket pulang yang sudah ia bayar kemarin. Bagaimana mungkin sebuah kota tanpa kehadiran pengemis. Tiba-tiba ia merasa kesal. Kesal dan gagal. Mungkin karena kameranya belum bekerja sama sekali. Hanya berisi satu potret. Potret baliho.
SMS dari Dyah. Mas, aku sudah di rumah sakit. Sendiri. Makin panik. Malah teringat Ari. Lekas mengirim SMS. Pemuda itu mesti mempertanggungjawabkan kata-katanya. Kabut tipis masih membayang di udara. Dadang merasa berada dalam sebuah lingkaran kebohongan. Kebohongan sebuah kota yang demikian tenteram mirip dalam dongeng. Kebohongan dari orang-orang berwajah cahaya. Kebohongan Ari.
Kepanikan membuat Dadang makin kesal. Ia melempar pandang ke atas. Ke arah baliho besar. Kamera yang berjam-jam hanya menggantung mulai dibidikkan dengan marah. Baliho caleg. Dilempar ke arah lain. Sama saja. Gambar-gambar caleg tegak berjajar di udara, dalam berbagai bahan dan ukuran, sepanjang jalan. Jepret. Jepret. Seperti kesurupan Dadang membidik semua gambar caleg yang tampak. Mungkin gara-gara berjam-jam Dadang memandang lurus dan menunduk mencari pengemis tanpa hasil. Kemarahan ia ledakkan pada karnaval gambar caleg yang ternyata begitu meruah di mana-mana. Tanpa sadar ia berjalan mengejar setiap gambar wajah yang lengkap dengan atribut partai. Dadang hampir berlari mengejar setiap gambar. Tak memedulikan dering telepon yang tak henti-henti.
Di depan pagar sebuah gedung ia bersandar kelelahan. Seorang pejalan dengan ramah menawarinya minuman. Dadang melongo mirip orang bego. Dering telepon genggam menyusup dalam kesadarannya.
“Mas Dadang di mana? Saya dari tadi di alun-alun!” suara Ari yang riang.
“Di pesta pengemis!” kesal Dadang menjawab pendek.
“Wah, kalau begitu bisa di mana saja. Mesti ke mana saya menjemput?” Suara Ari bercampur tawa.
“Saya di depan gedung yang tiang benderanya berwarna keemasan, sebesar pohon palem, setinggi kubah masjid.”
“Wah, itu pusat pesta pengemis, Mas. Sebentar saya meluncur.”
Dadang penasaran mengintip ke arah gedung. Terpampang nama dengan huruf-huruf yang megah dan pongah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Owah. Sepi. Satu-satunya bangunan yang tak menerbitkan cahaya kegembiraan. Cahaya khas Kota Owah. Cahaya yang menyebar dan memijar di wajah orang-orang. Cahaya dalam selubung kabut tipis.
Ari datang tepat saat Dadang berbalik. Matanya kontan melotot. Kemarahan meledak.
“Mana musim pengemis? Pesta pengemis? Yang ada hanya gambar-gambar sampah!” bentaknya sambil menuding ke arah baliho sepanjang jalan, lantas dengan kasar menunjukkan potret-potret dalam kamera.
Ari tak melepas senyuman.
“Masa sampah, Mas. Mereka orang-orang yang patut dikasihani, Mas. Mengemis suara dengan menjajakan kegagahan dan kekayaan. Mereka tak punya pekerjaan seperti kami. Mereka mengemis kerja pada kami. Kami di sini, di Kota Owah, kasihan sekali kepada mereka. Sudah semestinya Murtopo melukis mereka. Salam buat Murtopo. Katakan kami ingin seberani dan setangguh Murtopo.”
Dadang tergagap. Limbung. Melihat sekeliling. Menarik napas panjang. Naik motor. Minta diantar ke penginapan.
*****
Malam. Dalam kabut. Dalam Stasiun Owah yang ungu. Dadang duduk murung di peron memangku laptop. Baru saja selesai mengirim e-mail ratusan potret gambar caleg yang tadi ia bidik dengan gila. Kereta datang. Lekas berkemas. Dering telepon. Kabar Dyah melahirkan bayi lelaki dengan selamat. Berbinar. Hampir bersorak. Mengucap syukur. SMS masuk. Murtopo. Berdebar. Pasrah. Dibaca. Uedaaaaan, Dang! Dadang bangkit. Berjalan memasuki kereta dengan wajah yang bercahaya, mirip wajah orang-orang di Kota Owah. Kereta api berangkat meluncur dari pelukan kabut yang tebal. (*)