Setiap hari laki-laki tua itu berjalan sendirian menyusuri lorong-lorong. Kadang ia membawa beberapa benda. Kadang membawa balok sebesar pemukul kasti, sesekali minyak tanah dan pernah tanpa sengaja kulihat ia sedang memainkan pemantik api.
Nama laki-laki tua itu, Nek Daud. Mulut Nek Daud bergumam tak pernah berhenti, sekali-sekali terdengar suaranya berselawat, kali yang lain ia bersenandung tak jelas atau mengoceh sendiri. Tak tanggung, suara Nek Daud jelas terdengar sampai ke ujung lorong.
Orang-orang tidak ada yang memperdulikan apa pun yang dilakukan Nek Daud, mereka sudah cukup sibuk dengan urusan masing-masing. Suara Nek Daud dianggap angin belaka. Seminggu tidak terlihat, jalanan terasa sepi. Tapi siapa yang peduli? Lagi pula ia hanya penting pada saat tertentu saja.
Pada siang hari saat anak-anak membandel, mereka tak mau disuruh tidur siang, dan melakukan hal apa saja yang dilarang oleh orang tua mereka. Pada saat itulah Nek Daud menjadi aktor cerita jahat bagi penghuni kampung. Ibu-ibu dengan penuh semangat menjadikan Nek Daud sebagai pemeran utama dalam hikayat orang gila untuk menakuti anak-anak mereka.
Lalu kucoba mengingat-ingat, sejak kapan pula Nek Daud ini menjadi gila?
*****
Dua tahun belakangan Nek Daud sering berjalan sendirian. Sarung bercorak kotak-kotak biru dongker yang mulai kehilangan garis warna meliliti pinggangnya. Pada suatu sore di hari Jumat, saat semua aktivitas bersawah dan melaut diliburkan, hampir saja lumbung penyimpan beras milik Keuchik Nuh terbakar. Untung saja, sebelum kobaran api menjadi besar ada orang yang sempat melihat Nek Daud masuk lumbung padi sambil memantik api dari mancisnya. Api berhasil dipadamkan, sedangkan Nek Daud dipulangkan ke rumah keluarganya.
Masyarakat semakin ramai berdatangan ke lumbung pada Keuchik Nuh. Mereka mulai berbisik-bisik melihat isi ruangan 4×4 meter tersebut. Puluhan beras dengan logo berwarna jingga tersusun rapi, tak jadi hangus dimakan api. Pemandangan ini menjadi bara api baru yang tak terkata.
“Alhamdulillah, Allah masih sayang pada kita. Jika tidak ada yang melihat, beras raskin untuk masyarakat sudah pasti tidak jadi dibagikan bulan depan,” jelas Keuchik Nuh di hadapan warga tiba-tiba.
Setelah kejadian itu, Nek Daud bukannya insaf. Tingkah Nek Daud semakin menjadi-jadi. Sialnya, Setiap kali Nek Daud bertemu pandang dengan Keuchik Nuh, ia seperti melihat iblis. Pernah saat lewat di halaman kantor desa Nek Daud memukul Keuchik Nuh dengan balok seukuran pemukul kasti. Untung saja aparatur kampung dan staf masih mampu mencegah amuk Nek Daud dan Keuchik Nuh dapat diselamatkan. Kalau tidak, barangkali siang itu Keuchik Nuh akan mati. Di kesempatan yang lain, giliran kambing milik sekretaris kampung yang dijerat Nek Daud dengan tali.
Ah ya, dari sana semua kegilaan Nek Daud dimulai.
*****
Awal Juni lalu aku pulang kampung. Niat hati bersama keluarga merayakan Idulfitri. Bertahun-tahun merantau terasa wajah gampong mulai berubah. Alih-alih naik sepeda motor sengaja kupinjam sepeda keponakan untuk berkeliling. Melihat sawah, ladang, ke rumah uwak, menikmati suasana yang begitu mewah ini.
Siang aku mengayuh sepeda melewati sawah, jalan pintas menuju ke rumah. Dan sial, ban sepeda bocor tertusuk kulit keong mas. Terpaksalah sepeda kudorong, sebab kalau memaksa tetap dinaiki tentu akan rusak juga pelak.
Kulihat laki-laki tua duduk di balai-bali depan rumah dekat sawah. Lama kulihat air mukanya. Aku tersirap! Sudah jatuh tertimpa tangga, aku bergumam. Laki-laki tua itu Nek Daud gila! Mau berlari aku sudah tak kuat lagi, kupaksa saja seramah mungkin sambil menyapa.
“Nek…”
Orang gila juga manusia, kalau kita baik-baik mana mungkin dia akan menyerang begitu saja?
“Piyoh dilee keunoe” Nek Daud memaksa sambil tangannya mengaut-ngautku, wajahnya sampai terangguk-angguk. Dia tersenyum!
Daripada dikejar pakai balok atau dibakar, aku berpikir, baik juga jika aku memilih mendekatinya untuk sekadar melepas lelah sambil menumpang berbagi duduk. Saat itu baru kuinsafi, ada borgol di kakinya. Sekali lagi tersirap darahku. Tetapi lari sekarang pun akan kelihatan seperti pecundang. Jadi aku duduk diam di dekatnya. Itulah pertemuan pertamaku yang sebenarnya dengan tokoh terkenal di seluruh kampung. Selama ini hanya terhubung melalui cerita-cerita suram saja.
“Lihatlah, bahkan keluargaku juga memborgolku agar aku tidak bisa ke mana-mana. Menganggapku gila dan menyakitiku,” katanya.
Lalu aku agak mendekat ke arahnya, dia menyambung lagi ceritanya. Dia bersungut-sungut bercerita. Dia berkata, hampir saja dapat membunuh tikus bermata merah jelmaan iblis. Ia juga masih kecewa dan merasa marah pada warga yang tak mempercayainya bahkan sampai menggagalkan rencananya membunuh hewan pengerat tersebut.
“Kau tahu, yang satu itu ada di lumbung padi Keuchik Nuh. Tikusnya banyak sekali, hampir sebesar karung goni. Aku bisa melihatnya Nak, sungguh aku tidak berbohong.”
Aku terdiam mengingat cerita pembakaran lumbung hampir dua tahun yang lalu.
Tiba-tiba dia menempelkan tangannya di telingaku lalu berbisik,
“Mereka semua gila, sengaja membiarkan tikus itu beranak-pinak di kantor desa. Dasar pemuja iblis.”
“Siapa mereka Nek?”
“Keuchik Nuh dan kawan-kawannya!”. (*)