Sebuah mobil sedan hitam meluncur pelan mendekati pos satpam, kemudian masuk setelah pagar dibuka. Seorang bersetelan jas hitam perlente dan sepatu mengkilat turun dari kendaraan. Ia melihat bangunan hampir jadi dengan wajah puas lalu memanggil arsitek juga mandor menemani minum di kantor.
Laki-laki itu setia menunggu mata kail disambar ikan. Debu beterbangan dibawa angin kemarau menusuk mata dan membuat sesak. Nitiarjo merutuki nasibnya yang apes belum membawa pulang tangkapan. Suara bising pekerja dari seberang jalan menambah sebal. Sebuah pabrik paralon atau besi tak lama lagi berdiri. Daerah itu dulunya lahan pertanian luas ditanami jagung juga tebu. Namun semua berubah, anak dusun enggan menjadi petani atau repot merawat sawah. Mereka lebih senang bekerja di pabrik.
Nitiarjo menicum bau tahu sekitar lima puluh depa dari tempatnya duduk. Bangunan tua peninggalan Belanda disumpeki pekerja mengangkut kedelai. Ia masih ingat bagaimana lori membawa tanaman tebu dari ladang untuk kemudian ditarik kereta uap dan berhenti di penggilingan. Rel-rel sisa kejayaan pabrik tebu milik kompeni beberapa raib digasak pengumpul besi.
Tak jauh dari sana jembatan besi sering digunakan anak dusun balap liar saban minggu saat puasa. Sungai Utara begitu orang menyebutnya. Tak ada anak kecil mandi atau berenang di sana. Beberapa orang tenggelam, foklor yang dipercaya masyarakat adalah jin sungai sering meminta tumbal atau sajen.
Ia masih mengingat kedatangan Lurah Jono. Nitiarjo duduk di teras menimati rokok kretek hasil lintingan sendiri. Wajah pemimpin itu lebih ramah dari biasanya, kumis baplangnya seolah hilang dan aura tegasnya memudar.
“Semu warga pemilik tanah di seberang sungai sudah setuju menjual tanah mereka untuk dibangun pabrik,” papar Lurah. “Tinggal tanahmu, Nitiarjo. Pak Gunawan berani membeli dua kali lipat dari harga biasanya. Apalagi tanah itu lokasinya srategis dekat jalan besar.”
Istri Nitiarjo datang dari dalam membawa kopi dan singkong goreng untuk mereka. “Saya seorang petani. Kakek dan ayah saya juga demikian, entah bagaimana hidup kami bila tanah itu dijual.”
“Bapak bisa membuka usaha atau membeli tanah lain. Dengan uang segitu cukup untuk membeli lahan di tempat lain yang lebih murah.” imbau Gunawan.
“Saya tidak bisa berdagang, Pak. Saya hidup dan menafkahi keluarga dari tanah leluhur yang subur. Saya ragu bisa menggarap tanah lain sedang tanah warisan telah lama menopang kebutuhan kami sekeluarga.”
Kedua orang itu berpandangan seolah menahan amarah.
“Baiklah, kami akan datang seminggu lagi. Pikirkan baik-baik penawaran kami, Nitiarjo.” pungkasnya.
Dusun mendadak sunyi ketika malam layaknya kota mati. Ramai hanya saat tetangga melangsungkan hajat. Meski begitu beberapa pria dewasa berjaga di pos menikmati kopi dan bergunjing pejabat daerah. Bupati mereka ditangkap KPK, rumahnya digeledah demi mencari barang bukti lain. Berita itu menambah daftar panjang pemimpin sebelumnya yang culas, serakah dan tak peduli nasib mereka.
Nitiarjo jarang ikut kumpulan itu, angin malam membuat perut masuk angin dan meriang. Ia lebih senang mendengar ludruk di radio sambil memejamkan mata. Kabar pemuda dusun berpesta miras oplosan datang dari perangkat itu. Mereka tewas setelah terbakar zat kimia, meregang nyawa untuk selamanya. Salah satu korban selamat dibawa ke rumah sakit. Remaja itu bercerita bagaimana mereka menggelinjang mirip ulat bulu, memuntahkan isi perut dan buta.
Ia sama sekali tak membenci pabrik. Pabrik telah menyumbang pajak untuk membangun jalan dusun yang becek ketika musim hujan. Pabrik pula mengentaskan pemuda dusun dari kegiatan tak berguna, judi, mabuk-mabukan di pos ronda atau menggoda gadis kampung sebelah. Nitiarjo hanya tak sanggup berpisah dengan tanah warisan leluhurnya. Tanah yang dulu direbut susah-payah dari tangan penjajah. Tanah yang bersimbah darah pertempuran para pejuang.
“Mau apa kau kemari!? Aku tak butuh belas kasihan. Sudah dibayar berapa kau sama pengusaha busuk itu?” bentak Nitiarjo.
“Sabar, Jo. Aku kemari bukan untuk debat kusir namun ingin membantu wargaku yang kesusahan. Jika kau marah begini sama saja tak menghargai tamu.”
“Aku tak bisa bermanis-manis dengan lintah darat sepertimu.”
“Hormati aku, jelek tua begini aku lurahmu! Ya sudah jika kau masih emosi aku pulang dulu. Tapi ingat penawaran kami dulu.” tukasnya. Ia diam membiarkan tamunya pergi berlalu dari pintu.
Istrinya meringkuk di kasur dengan selimut. Nitiarjo tak tidur, keluar rumah sambil merokok. Langit angkasa bersih hanya ada beberapa bintang. Bulan bersinar terang tak menunjukan akan redup. Di pos suasana ramai pemuda melihat pertandingan sepak bola, sementara manula menjalankan bidak catur. Tak terlihat lurah mata duitan itu.
Nitiarjo sedikit dongkol menghadapi tabiatnya. Pungli sudah menjadi makanan sehari-hari lurah. Tidak ada uang, urusan mandek tak lancar, bahkan untuk mengurus surat tanda tangan dirinya. Tapi apa mau dikata, orang-orang terlanjur memilih penjahat sebagai pemimpin. Apalagi amplop darinya sudah melenakan warga kampung.
Ia berjalan terus menjelajahi kampung dengan napas hangat setelah mengisap tembakau beberapa jenak. Hawa dingin menjalari kulit meski mengenakan jaket tebal. Sepeda motor masuk area pabrik. Baju dan kopiah itu tak pernah dienyahkan Nitiarjo. Ia tak kaget jika pemilik pabrik mencuci otak pemimpin mereka.
Hitam. Semuanya hangus terbakar, tak bersisa. Gosong, baunya seperti bangkai binatang dilahap bara api. Nitiarjo melihat sawah miliknya seumpama Padang Kurusetra yang nyata. Lututnya bergetar seolah seluruh rusuknya rontok seketika. Ia menangis layaknya bayi merindukan belaian. Tangannya meraup tanah yang tertutup abu dan membalurkan ke wajahnya.
Kejadian itu seperti mimpi buruk yang tak pernah ia kira. Panen kali ini terancam gagal, para buruh tani bakal meminta bayaran dan yang ada di pikiran hanyalah Lurah. Tak ada yang melihat peristiwa itu. Semuanya cepat sekali. Saat itu ia masih bercinta dengan istrinya ketika salah satu warga mengetuk pintu. Nitiarjo terpaksa mengakhiri persenggamaan.
Pria paruh baya itu memakai sarung, bersama istrinya melihat api menjalar dan berusaha memadamkan dengan air sungai. Orang-orang membantu sebisanya agar tak melahap tanah lainnya. Untuk pertama kalinya ia bersedih dan bersusah hati. Meski di masa lalu ia pernah melakukan hal serupa, tak sengaja membakar lahan milik orang.
Ayahnya memberi kado pukulan rotan di punggung. Ibunya tak bisa berbuat apa-apa selain menyiapkan obat untuk lukanya. Nitiarjo tak bisa melupakan kejadian itu hingga kini. Ia hendak membawa abu tebu untuk dibawa pulang. Selain itu kartu nama Gunawan tak sengaja ia temukan. (*)