Rumah penduduk sangat jarang dan berjauhan. Sulit sekali mendapatkan air. Untuk membuat sumur harus menggali puluhan meter guna menemukan mata air. Di sanalah mereka bergantian mengambil air untuk memasak dan minum. Mandi dan mencuci mereka lakukan di anak sungai berair keruh jauh di kaki bukit.
Si Monyet tidak terlalu merasa asing dengan kampung ini. Ia merasa entah kapan dan untuk apa pernah singgah dan akrab dengan kampung ini. Seperti de javu. Ia tak mengira dalam pelarian sampai ke kampung ini. Penduduknya memang baik dan ramah, tapi miskin. Mungkin karena miskin itulah mereka baik dan ramah. Mereka tak memiliki apa-apa yang bisa disuguhkan ke para pejalan yang kemalaman, selain senyuman.
“Apa nama kampung ini, Nek?” Si Monyet bertanya kepada pemilik satu-satunya kedai yang dia jumpai di kampung ini.
“Kampung Playon,” sahut si nenek, seraya mengangkat singkong rebus dari tungku di sisi kedai. Meski sangat sepuh si nenek tampak masih kuat dan cekatan. Enteng saja dia mengangkat panci besar dari tungku.
Si Monyet agak terperanjat. Jawaban si nenek seperti menyindir. “Mungkin hanya kebetulan,” pikir si Monyet. Tak mungkin perempuan peyot itu menyindir. “Dari mana dia tahu aku pelarian,” sergah si Monyet seraya menggaruk kepala.
“Kampung tempat singgah dan menetap para pelarian,” tambah si nenek tanpa lepas dari kesibukan.
Kedai kecil ini beratap anyaman rumbia seperti keseluruhan atap rumah di kampung ini. “Kami dulu para pelarian, dan sampai sekarang masih pelarian, tapi sudah dilupakan. Kami menetap di sini karena tak tahu mesti lari ke mana lagi.”
Si Monyet ingin bertanya kenapa mereka jadi pelarian, tapi merasa tak nyaman. Tenggorokannya kering dan dia merasa terjebak di tempat yang salah. Ia khawatir nenek ini sungguh sungguh sedang menyindir. Ia harus hati-hati. Nalurinya berkata untuk sesegera mungkin meninggalkan kampung ini.
“Bukankah Kisanak juga pelarian?”
Pertanyaan si nenek bagai palu menghantam dada dan membuatnya gelisah. Entah berapa lama si Monyet akan singgah di kampung ini. Ia bertekad tak boleh lama-lama. Ia hanya butuh dua-tiga hari untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan diri dari luka goresan di tubuh. Ia harus segera keluar dari kampung ini dan meneruskan pelarian entah ke mana.
*****
Begitu sampai kampung ini menjelang subuh hari kemarin, si Monyet menemukan satu-satunya kedai di tepi desa. Kedai milik nenek yang sudah sangat sepuh yang tampaknya selalu sepi pembeli. Hanya sesekali melayani petani atau pencari kayu bakar atau pejalan yang singgah seperti si Monyet. Hampir tak ada makanan atau jajanan dijual, kecuali teh, kopi, jagung, dan umbi-umbian rebus, serta nasi dengan lauk ala kadarnya, yang seakan mewakili keadaaan kampung ini yang serba terbatas. Si Monyet yakin tak ada peristiwa menarik untuk dicatat di sini.
Si Monyet memesan makan untuk mengisi perut yang keroncongan. Ia berharap pemiliki kedai tak bertanya lebih jauh soal asal-usulnya, apalagi bertanya kenapa ia jadi pelarian. Syukurlah, harapannya terkabul. Si nenek dan suaminya yang sama-sama sepuh sibuk mengupas dan memreteli biji-biji jagung ke wadah anyaman bambu tanpa banyak bersuara, kecuali mendehem dan batuk batuk kecil.
Si Monyet duduk berlama-lama seusai menandaskan makanan, menanti kesempatan bagus untuk bertanya perihal tempat untuk menginap. Pemilik kedai, suami-istri yang telah sepuh itu, menawarkan bilik belakang rumah, dekat kandang kambing.
“Atau Kisanak bisa datang ke kepala dusun. Mungkin beliau bisa menyediakan tempat lebih layak,” kata si pemilik kedai.
Si Monyet memilih bilik belakang rumah mereka. “Lebih sedikit orang tahu keberadaanku lebih baik,” pikir si Monyet. Dia memesan kopi secangkir lagi setelah sepakat soal harga sewa bilik itu. Dia menyesap kopi sambil mengamati betapa misterius kampung ini. Selama enam jam dia duduk di kedai ini, hanya dua orang singgah untuk membeli makanan.
Meski sempit, bilik itu tak terlalu buruk. Ada ambin dengan bantal pipih, meja kecil, dan sebuah jendela. Lumayan buat sekadar istirahat. Si Monyet memeriksa luka goresan di hampir sekujur tubuh. Luka-luka yang tak terlalu dalam dan sebagian mulai mengering, tapi lumayan perih terutama bila terbasuh air. Ia kesulitan memeriksa luka di punggung. Bilik itu tak menyediakan cermin. Ia hanya bisa meraba-raba. Ia merasa gatal di sekeliling luka, tanda luka mulai sembuh.
Ia merasa luka goresan di punggung tak sebanyak di betis dan lengan. Sekarang giliran memijit-mijit betis yang masih kaku. Pantaslah, ia berlari hampir tak pernah berhenti selama sehari semalam. Setelah merasa lumayan enak ia merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Kegelisahan pun mendera demi memikirkan tujuan pelarian yang belum jelas sampai kantuk menaklukkan.
Pagi-pagi ketika sinar matahari menerobos bilik membentuk batang-batang cahaya, seseorang memanggil dari luar. Itu suara ibu sepuh pemilik kedai. Dia tak memanggil Monyet, tentu saja, karena itu bukan namanya.
“Mas Badra,” panggil pemilik kedai.
Itu juga bukan nama sebenarnya. Ia menyebutkan nama yang ia pungut sekenanya saat ditanya perihal nama. Memperkenalkan nama itu semata demi keamanan. Monyet sekadar julukan yang diberikan bibi dan saudara-saudaranya lantaran waktu kecil tingkahnya lucu dan cekatan mirip monyet kecil dalam pertunjukan sirkus. Ia tak keberatan dengan panggilan itu karena tahu mereka tak bermaksud merendahkan. Sebaliknya ia bangga.
Adiknya yang pendiam dan sangat pemalu dipanggil si Moa, lantaran akan selalu menyembunyikan diri di kamar setiap ada orang baru bertandang. Nama dia sebenarnya Darma. Orang tuanya sangat menggemari cerita Raja Angling Darma. Seorang raja yang mampu bercakap-cakap dengan serangga dan hewan-hewan lain. Ingatan itu membuatnya merasa begitu kesepian, tapi tak tahu bagaimana mengobati.
Julukan Monyet seperti isyarat dia lebih menyukai tinggal di antara pepohonan yang banyak tumbuh di kampungnya di tepi hutan. Adiknya pergi meninggalkan kampung di lereng gunung untuk bekerja di kota. Beberapa tahun kemudian kembali untuk memboyong orang tuanya. Sementara si Monyet lebih betah di kampungnya yang sepi dan hanya ditemani suara-suara hewan.
Panggilan di luar terus terdengar dengan jeda lebih lama. Ia segera menyahut dan membuka pintu. Si ibu berdiri di ambang pintu dengan nampan berisi penganan dan kopi. Si Monyet segera meraih nampan berisi kopi dan jagung rebus. Dia genggam jagung rebus yang masih panas dan mengepulkan uap tipis.
Selama lima hari di kampung ini, si Monyet lebih banyak termenung di dalam bilik. Ia hanya keluar untuk menuntaskan kebutuhan tubuh yang tak bisa ditahan: makan dan membuang ampas. Itu dia lakukan setenang mungkin supaya tak ada orang curiga. Ia termenung bukan hanya memikirkan ke mana melanjutkan pelarian, melainkan juga mengingat- ingat kapan dan untuk apa pernah ke kampung ini. Ia gusar karena tak menemukan ingatan. Namun yang jauh lebih menggusarkan adalah peristiwa apa yang membuat dia jadi pelarian.
Seingatnya, sebelum menemukan diri berlari keluar-masuk hutan dan menyeberangi sungai, ia sedang tidur-tiduran di rumahnya di tepi telaga. Tak mendengar suara-suara apa-apa selain kemirisik dedaun diembus angin yang melintas pelahan, dan sesekali kecipak ikan yang melompat dari bawah permukaan air. Ia yakin betul ingatannya tak keliru. Namun, kenapa tiba-tiba jadi pelarian, membawa buntalan berisi satu setel baju dan buku, ke dalam hutan?
Si Monyet untuk sementara pasrah dan mengalah pada ingatan yang serapuh abu kayu sisa pembakaran. Semua berjalan mulus sampai ia berpapasan dengan seorang gadis saat hendak ke sungai di kaki bukit. Gadis itu menatap terang terangan dan melemparkan senyum yang membuatnya takjub dan kikuk. Si Monyet ingin segera berlalu. Namun si gadis memanggil. “Mas Badra, saya tahu Anda pelarian,” kata si gadis. “Saya juga tahu Badra bukan namamu yang sebenarnya.”
Gadis itu membuka ingatannya; ia mengingatkan si Monyet kepada Ratmi, perempuan yang diam-diam mencintainya. Ratmi sering datang membawa gula kopi dan makanan ke rumah yang si Monyet jadikan markas untuk tempat kumpul-kumpul dengan sejumlah teman yang selalu tampak bersemangat mendengar wejangannya. Gula dan kopi dan penganan yang dibawa Ratmi sungguh berguna membantu mereka untuk berdiskusi sampai jauh malam. Mereka mengajari warga di kaki bukit itu untuk menolak menjual tanah.
Ah, si Monyet ingat sekarang. Suatu hari mereka bergandengan tangan menuruni bukit, mengadang truk-truk yang hendak meratakan bukit. Mereka berhasil menghentikan truk-truk itu. Mencegah mereka mengeruk bukit. Percekcokan tak dapat dihindarkan antara teman-teman si Monyet dan para sopir truk. Situasi tak terkendali saat seorang sopir truk menampar salah seorang kawan si Monyet, hingga terjungkal lantaran tak mampu menjaga keseimbangan tubuh berdiri di tanah miring. Tubuhnya menggelinding ke bawah.
Mendadak kemarahan menguasai si Monyet. Ia memungut batu dan menghantamkan ke kepala sopir truk. Si Monyet panik melihat sopir truk terhuyung dan terjengkang. Saat dia ternganga panik, sebuah pukulan mendarat di pelipisnya dan mengempaskan dia. Ia terpelanting dan menggelinding ke bawah. Sebongkah tunggul pohon menyambut kepalanya.
“Aku bisa membawamu keluar dari pelarian ini atau selamanya di kampung pelarian ini,” kata si gadis. (*)