“Bawa saja satu potong baju, barangkali kita akan menginap. Kita akan naik kereta!” kata Ibu mengagetkanku.
“Tidak! Ibu tidak akan naik kereta, seperti janji Ibu waktu dulu!” seruku menaikkan intonasi suara. Teriakanku seperti kenek angkutan kota di jam-jam kepulangan anak-anak sekolah.
“Ibu mau pergi berkereta dan kau temani ibu,” jawab Ibu lembut.
“Serius, nih, Bu, kita akan naik kereta?” kataku dengan nada tanya.
“Benar, Ven, ibu tak pernah bohong sama kamu, kan?”
“Ibu sudah persiapan sejak kapan?” aku masih menunjukkan keheranan.
“Dua jam yang lalu,” jawab Ibu.
Kulihat di pangkuannya terdapat tas jinjing berukuran sedang yang biasa dia bawa jika kami menyempatkan diri pergi berdua dan menginap di daerah wisata. Ibu menyukai suasana pegunungan yang berhawa sejuk atau tamasya ke pantai yang penuh gemuruh suara ombak laut.
Ibu memanggil taksi, lalu beberapa menit kemudian kendaraan roda empat itu datang. Kereta akan berangkat dua puluh menit lagi. Untung lalu lintas tak begitu padat. Jalanan kota seakan menjadi sahabat.
Dahulu, Ibu penyuka kereta api untuk sebuah perjalanan pendek 1 jam ke kota yang berjarak 60 km itu dari kota kami. Aku sering diajaknya untuk keperluan membeli barang-barang dagangan. Hampir setiap hari Minggu, Ibu selalu mempergunakan kuda besi itu sebagai salah satu alat transportasi.
Kami mempunyai toko kelontong kecil di depan rumah. Selain menjual barang-barang kebutuhan pokok, Ibu juga menjual batik dan beberapa produksi kerajinan tangan. Ibu-ibu penghuni kompleks perumahan banyak yang menjadi pelanggan. Terkadang Ibu menerima pesanan seragam ibu-ibu pengajian atau arisan. Namun toko tak lagi buka dalam beberapa tahun terakhir.
Tepat pukul lima sore kereta reguler datang dan berangkatlah kami bersama para penumpang yang berjubel. Untuk 60 menit ke depan, aku mesti bersabar dengan ketidaknyamanan didalam kereta ini. Pada dua lembar tiket tertera tulisan bahwa penumpang berdiri atau tanpa tempat duduk. Itu artinya aku tidak boleh protes jika kami tidak mendapatkan kursi. Maka yang terbayang di kepalaku nanti adalah bagaimana caranya supaya aku bisa mencari celah sedikit saja di kursi penumpang lain, agar Ibu mendapat tempat duduk yang nyaman.
Ups! Kata Ibu, tidak boleh banyak mengeluh. Aku hanya membatin, dan kubiarkan kakiku terinjak oleh petugas kontrol karcis. Sesekali troli yang berisi jajanan dan didorong oleh dua orang pelayan meminggirkan posisi dudukku. Aku duduk di lantai beralaskan kertas koran. Ibu kubiarkan duduk di kursi, dekat pintu. Ada seorang penumpang yang berbaik hati dan memberikan tempat duduknya kepada Ibu.
Sya-la-la-la, aku bernyanyi didalam hati. Sesekali memang harus kunikmati kepenatan ini. Ku pangku sebuah buku yang tertunda kubaca. Buku how to setebal 120 halaman, yang akan kuharapkan selesai sekali baca dalam perjalanan ini. Mungkin kecepatanku membaca sama dengan kecepatan penulis buku ini untuk mencari referensi di internet. Uupps! Aku salah, Ibu lebih banyak mengajakku mengobrol didalam kereta dan bacaanku terbengkalai.
“Sudah lama juga, ya, Ven, kita nggak pergi naik kereta berdua seperti ini. Terakhir kali saat kamu kelas 6 SD,” pembicaraan Ibu membuyarkan lamunanku. Kulihat di jendela, kereta baru saja melumat jembatan diatas kali.
“Tiga tahun ada?” tanyaku.
“Iya, sejak peristiwa itu,” jawab Ibu. Hmmm… mungkin ini alasan Ibu mengajakku pergi naik kereta. Dia hanya ingin bernostalgia. Padahal, sudah puluhan kali aku berusaha mematikan rasa ketakutan Ibu, trauma atas kejadian yang pernah menimpanya. Dan sore ini, lalu senja nanti yang beberapa menit lagi ke depan, akan bisa kusaksikan wajah Ibu semringah. Kota Solo berada dibelakang punggungku.
“Bukankah ketakutan itu mesti dihilangkan?” begitu kata Ibu saat kereta kami singgah di Stasiun Klaten. Masih setengah perjalanan.
Kutoleh Ibu yang tidak melihatku. Wajahnya masih menyisakan paras ayu secantik Dewi Shinta dan setegar Srikandhi. Sedikit warna keperakan yang tumbuh dirambut tak digubris olehnya. Buat apa mikirin uban di rambut. Yang penting kan jiwa dan raga yang sehat, katanya suatu saat.
“Venny siap mengantar kapan pun Ibu inginkan pergi ke Yogya dan naik kereta ini,” kataku merayunya.
“Ha-ha-ha… kau seperti mendiang bapakmu, Ven. Sok baik, sok percaya diri untuk bisa membantu orang lain, meringankan beban orang lain,” kata Ibu. Bapak sosok yang aku kagumi, seorang pekerja keras, pengabdi keluarga dan masyarakat. Bapak meninggal saat bertugas melerai sebuah kerusuhan. Bapak seorang anggota polisi dan profesi itu sangat dibanggakan oleh keluarga kecil kami.
Teringat aku akan sosok Bapak yang sangat baik kepada kami berdua. Bapak yang tak pernah membiarkan aku bermain sendirian di halaman rumah saat hujan deras ketika masa kecilku. Yang pada akhirnya malah Bapak yang menemaniku bermain hujan-hujanan sambil menanam pohon buah-buahan dikebun belakang rumah.
Aih, Bapak. Dia yang selalu menanyakan dan mengingatkan cita-citaku sebagai seorang penerbang. Katanya suatu ketika, “Kamu telah mempunyai modal tekad dan postur tubuh yang mendukung cita-citamu.”
Maka ketika saat ini aku menginjak tahun terakhir duduk di bangku SMP, terngiang kembali cita-citaku untuk menjadi pilot. Aku ingin masuk sekolah penerbangan.
Bapak tahu hobiku suka berolahraga. Bapak juga yang mengajakku masuk ke klub basket terkenal di Solo ini ketika usiaku memasuki bangku SMP. Deretan piala dan piagam penghargaan yang menghias di dalam almari khusus semakin membuat Bapak bangga akan prestasi yang aku torehkan. Tidak hanya sebagai juara di beberapa cabang olahraga, tapi juga prestasi di lomba-lomba akademik.
Bapak jugalah yang memperlihatkan sikap pembelaan ketika suatu hari sebuah peristiwa pertengkaran terjadi saat aku duduk di bangku SD. Aku dipukul oleh kawanku sekelas, lalu kawan itu aku balas dengan pukulan yang lebih keras sehingga bibirnya mengeluarkan darah.
Diluar ruangan, Bapak berbisik lirih kepadaku, jika suatu saat nanti ada lagi kawan laki-laki yang menyakiti aku, Bapak menganjurkan agar aku tidak berteman dengannya. “Atau sekalian kamu tantang, Ven. Bikin dia tunduk kepadamu,” seloroh Bapak sambil tertawa. Untungnya aku tidak termakan gurauannya.
*****
SUARA laju kereta diiringi derit bunyi rem membuat aku dan Ibu hening. Beberapa penumpang tidur. Ada yang membaca buku sambil terkantuk-kantuk. Sepasang remaja cekikikan sambil masing-masing menutup mulutnya. Takut gurauan mereka mengganggu penumpang lain.
“Ini sedang musim panenkah?” tanya Ibu. Tahu saja dia, bila kereta melewati persawahan.
“Iya, Bu. Hamparan padi sudah menguning. Siap untuk dipanen,” jawabku.
“Banyak burung pipit, ya, di senja seperti ini?” tanya Ibu lagi.
“Ada beberapa yang Venny lihat,” jawabanku tampaknya memuaskan Ibu.
“Sayang sekali, suaranya tidak terdengar,” Ibu sangat naif. Ah, Ibu, mana mungkin kita bisa mendengar suara burung pipit di tengah deru mesin kereta api dan bunyi gesekan antara roda dan bantalan rel, aku membatin. Seorang penumpang berbicara dengan penumpang lainnya bahwa Stasiun Maguwo akan sampai dalam beberapa menit lagi.
Ibu mendekap erat tas di pangkuannya. Ada getaran yang menghebat dan sangat kentara. Tiba-tiba wajah piasnya memucat. Aku menepuk-nepuk punggung Ibu dan itu membuatnya cukup tenang dalam beberapa menit.
“Kita turun di mana, Bu?” tanyaku.
“Stasiun Lempuyangan,” jawab Ibu tegas.
“Yakin?” tanyaku lagi.
“Berani,” jawab Ibu. Lima menit setelah berhenti di Stasiun Maguwo, akhirnya, sampai juga di Stasiun Lempuyangan.
Kereta berjalan melambat. Ular besi berhenti melakukan perjalanan.
“Akhirnya sampai juga,” teriakan lirih dan hampir berbarengan dengan Ibu. Kugandeng erat tangannya. Lega rasanya bisa menemaninya menginjakkan kaki kembali di stasiun ini sejak kejadian tiga tahun lalu. Peristiwa masa lalu itu adalah kejadian kecelakaan yang menimpa saat tasnya dijambret oleh pencopet yang membawa silet. Ibu sudah berusaha mempertahankan. Lalu benda tajam itu tepat mengenai wajah cantiknya. Dan kedua matanya terluka yang menyebabkan kebutaan total.
Senja di atas kereta kali ini telah mengembalikan cinta Ibu. Kiranya waktu telah berpihak kepadanya. (*)