Iklan Atas

Blogger Jateng

Proyek Pencabut Nyawa | Cerpen Restu Ashari Putra


Hamid sudah lama sekali mengurung dirinya di dalam kamar. Ia merasa harus menyelesaikan proyek menulis buku yang sudah lama terabaikan. Tenggat waktu proyek buku yang ia terima selama 30 hari tinggal tersisa tiga hari lagi.

Inilah satu-satunya pekerjaan dan pertama ia terima setelah satu bulan ini menganggur mengandalkan sisa tabungan yang mulai menipis. Kelaparan di dalam kamar pengap. Untungnya ibu kos tidak mengejar-ngejarnya untuk melunasi sisa sewa yang sudah dibayar setengah tahun. Uang yang ia dapat dari hasil kerja serabutan mengerjakan sejumlah proyek.

Kok bisa ia dapat proyek pekerjaan yang super mewah seperti menulis itu? Adalah teman kuliahnya, Hamdan, yang membawa Hamid ke dalam proyek menulis buku itu. Hamdan tahu sejak lama Hamid meninggalkan bakatnya menulis itu demi mendapatkan uang lebih cepat.

Ketika Hamid butuh uang dan tawaran datang dengan jumlah menggiurkan, tak ada lagi alasannya menolak. Ia langsung menyanggupi dengan daya yang ia punya: sedikit riset, imajinasi, laptop pinjaman, dan satu lengan yang ia punya.

Sejak kecelakaan 10 tahun lalu, Hamid harus kehilangan lengan sebelahnya. Kecelakaan yang membuatnya sempat putus asa. Wajahnya rusak dan lengan kirinya patah.

Setelah tubuh dirasa membaik dan bisa diajak beraktivitas, ia berkelana menghabiskan masa buruknya ke berbagai tempat. Melakukan pekerjaan apa saja. Ijazah sarjananya tak berguna, alih-alih ia sudah ogah mengandalkan ijazahnya itu.

Kini di kamar kontrakan yang pengap ini, ia hanya menatap satu kalimat dengan kursor berkedip-kedip meminta proyek menulis diselesaikan.

Proyek menulis buku ini selalu membuatnya sakit kepala. Ia selalu bergumam bahwa proyek ini adalah kejahatan paling brengsek yang bisa menyeretnya ke kehidupan lebih buruk. Itulah risiko terbesarnya.

Namun, uang 100 juta membuatnya mau tak mau mesti membuang ketakutan itu jauh-jauh. Ia tak peduli dengan segala risiko bahkan ketika ancaman pembunuhan datang padanya.

Berhari-hari ia harus merakit fakta-fakta dan mengarang cerita seorang penguasa yang kini mencalonkan diri kembali sebagai presiden adalah pendukung gerakan partai setan yang membuat pengikutnya meringkuk dalam penjara. Apakah Hamid bakal ikut juga ke penjara?

Ia meremas kepalanya. Tenggat waktu yang mendesak tak membuatnya bisa melanjutkan satu kata pun. Di kepalanya hanya terbayang uang 100 juta dan tiket pesawat luar negeri yang akan ia kunjungi seusai menyelesaikan proyek buku ini.

Di satu siang terik, Hamid sudah merasa gerah. Ia butuh satu teguk kopi. Sudah lima hari ia tidak mengopi. Uang di sakunya terus dihemat untuk bisa hidup setidaknya tiga hari ke depan. Tidak ada uang DP dari proyek buku ini.

Dari arah gedung yang lain, suara handy talky tampak mengganggu seseorang. Lubang peneropong berusaha difokuskan ke sebuah pintu kamar. Lelaki dengan ikat tali warna hitam bertuliskan ‘Tuhan Harga Mati’ itu terus-menerus diganggu suara-suara dari jauh: pastikan orang itu mati, kau akan kami bebaskan. H harus lenyap. Seseorang menyebut inisial sebuah nama.

Hamid membuka pintu kamar. Ia sudah tak sabar harus menghilangkan sakit kepalanya dengan aroma kopi. Pekerjaan ini teramat brengsek! Gumamnya.

Hingga tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Bergetar dari saku celana. Dilihatnya layar ponsel. Hamdan memanggil. Hamid heran.

Diangkatnya ponsel itu, lalu terdengar suara Hamdan. Ketika suara ‘Halo’ terucap dari mulut Hamdan, tiba-tiba suara terdengar suara mengerang. Seperti menahan sakit. Suara itu membuat Hamid bergidik.

“Halo, Hamdan, ada apa? Ada apa, Hamdan? Kau kenapa?”

“Hamid, cepat sembunyi! Segera lari dari tempatmu. Ada yang menembakku,” Hamid tidak mengerti apa yang terjadi.

Dari tempat yang jauh, Hamdan terus memberi perintah seraya rubuh di tempatnya berdiri.

“Akkhh, Hamid, cepat kau lari dari situ!”

Gila, ada apa ini? Hamid mematung lama. Ia berpikir keras. Ada apa sebenarnya? Pikirannya kacau. Udara siang jadi makin terik dan membakar. Apa yang ia pikirkan belakangan ini benar terjadi. Risiko yang sudah ia bayangkan sebelumnya.

*****

“Jadi, ini adalah cara agar presiden jatuh dari kekuasaannya?” Hamid menyeruput kopi panas yang baru saja dipesannya.

“Ya, tentu. Kau tahulah bagaimana seharusnya propaganda itu bekerja. Proyek ini sebagaimana proyek bawah tanah ditargetkan menyasar kepada orang-orang yang apatis dengan negara ini. Kita tidak bisa mematahkan keberhasilannya, maka kita hancurkan sosoknya.”

“Waduh, waduh, sulit buat menolak, tapi berat juga untuk diterima.”

“Sudahlah, kau tidak perlu banyak berpikir. Semua bakal aman. Tidak ada yang tahu dan mengenalmu kok. Sengaja aku memilih kau untuk mengerjakan proyek ini karena kau orang baru.”

“Okelah. Terus, apa yang mesti aku lakukan?”

“Yang paling utama, kau harus segera pindah dari kontrakanmu dan cari tempat kos kecil di tempat yang tak biasa.”

“Oh ya, ngomong-ngomong ke mana saja kau baru sekarang muncul di hadapanku?”

Hahaha, panjang ceritanya. Nanti saja. Aku mesti bertemu kolega lagi di tempat lain.”

Hamdan beranjak dari tempat duduknya. Kedai kopi ini benar-benar tidak ada pelanggan lagi selain aku dan dia. Hamdan rupanya paling tahu kapan kedai ini sepi dari pengunjung.

“Jangan lupa, besok lusa kabari aku tempat kosmu yang baru. Data-data yang kau perlukan akan aku bawa ke kosmu. Nanti aku ceritakan lagi soal proyek ini.”

“Baiklah.”

Kepala Hamid masih dipenuhi banyak pertanyaan soal pekerjaannya ini. Termasuk risiko yang bakal ia terima dari proyek ini. Adakah yang lebih berbahaya dari jiwa yang terancam.

Pertemuan itulah yang membuatnya selalu merasa ada moncong senjata mengintainya. Hamid termasuk lelaki lurus yang tak mengenal dunia politik. Namun, ia tahu ancaman apa yang mesti dihadapi dari penguasa yang dengan kuat mencengkeram kursi kekuasaannya.

Dan mengerjakan proyek ini seperti menggali liang kubur bagi kematiannya. Kecuali dewi fortuna berkata lain.

“Darah kita ini berharga jika pun mati, Hamid. Seberapa lama kau menderita dengan kemiskinan karena ulah kekuasaan yang tidak kau sadari itu, Hamid? Aku berjuang demi rakyatku ini. Segalanya mesti kita lakukan. Mereka harus dijatuhkan, Hamid.”

Suatu ketika, Hamdan dengan menggebunya berkata padaku saat pertama kali ia bertemu denganku setelah sekian lama menghilang.

Dan kini aku mesti bersiap untuk sesuatu hal yang mungkin terjadi.

*****

“Siapa yang menyebar selebaran itu?”

“Info awal sudah kami dapatkan. Saya kira kita sudah tidak asing lagi siapa yang selama ini selalu bikin kacau.”

“Dia lagi. Habisi sajalah.”

“Jangan. Itu bisa menjatuhkan presiden. Terlalu kasat mata untuk menghabisi dia. Biarkanlah dia menghirup udara segar negeri ini. Biar dia tahu jasa kita selama ini. Negeri ini dibangun oleh siapa,”

“Betul, betul. Dasar orang tak tahu balas jasa. Jadi, bagaimana caramu?”

“Yang perlu kita habisi adalah orang-orang di bawahnya. Aktor intelektual hanya perlu menghirup dinginnya penjara. Namun, para eksekutor harus mencium liang kubur.”

“Siapa yang kau maksud eksekutor?”

Maka disusunlah cara menyingkirkan musuh-musuh negara itu. 

Bedebah itu harus disingkirkan karena melawan hukum-hukum Tuhan yang berlaku di negeri ini. Mereka harus musnah. Hanya kami yang bisa memusnahkannya. Kami menjalankan tugas demi sesuatu yang kekal.
*****

Dari tempat yang jauh, seseorang membereskan senjata. Bagi Penembak Serius sepertinya, pekerjaan itu adalah misi jihad membela penguasa yang menegakkan hukum-hukum Tuhan di negara ini. Mereka yang menentangnya memang harus disikat.

Dari jarak tak diduga, tampak iring-iringan kepala negara berjalan pelan melewati kerumunan rakyat yang menyambutnya. Namun, bukan itu target yang diintainya. Diisapnya dalam-dalam sebatang rokok yang tinggal sebatang itu.

“Musuh negara adalah musuh Tuhan.”

Ia mulai menghitung mundur. Memastikan target yang dilihatnya sudah benar-benar ada dalam bidikannya. Tinggal sedikit lagi ia menarik pelatuknya.

Dari jendela kamar yang paling tidak diketahui. Dari gedung megah itu ia melihat betapa para konglomerat kapitalis itu berlomba-lomba menembus langit membangun gedung-gedung menjulang.

*****

Hamid masih mematung lama. Ia ingin pergi menyelamatkan Hamdan tapi ia tak tahu di mana posisinya saat ini.

“Hamid, cepat pergi!”

Suara Hamdan terngiang lagi. Ia sudah berjalan beberapa langkah dari pintu kamarnya di lantai dua. Ia seharusnya tahu uang 100 juta tidak ada apa-apanya daripada menantang maut di tangan penguasa itu.

Hamid melangkah kembali masuk ke kamarnya. Ia memang harus pergi. Ia memercayai Hamdan.

Kakinya sampai di depan pintu. Tangannya merogoh saku celana dan membuka kunci pintu. Hingga tiba-tiba terdengar desing peluru dari kejauhan. Itu suara-suara ramai orang dari pasar tak jauh dari tempat kosnya. Suara-suara teriakan histeris makin jelas terdengar. Orang-orang berlarian.

“Presiden tertembak, presiden tertembak…”

Hah, apa? Ada presiden datang di dekat sini?

“Presiden tewas terbunuh…”

Suara-suara itu makin jelas terdengar. Presiden tertembak?

Dari tempat yang jauh, Penembak Misterius membereskan kembali alatnya. Ia sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Musuh negara harus ditumpas.

Hamid berusaha menelepon kembali Hamdan. Nomornya tidak aktif. Aduh, ada apa ini sebenarnya?

Penembak misterius itu melepas jaket hitamnya. Ia mengganti kostumnya seperti orang kebanyakan. Ia kenakan kemeja, sedikit parfum disemprotkan ke badannya. Tugas selesai.

Baru saja ia ingin melepas ikat hitam di kepalanya. Ponselnya berdering. Dilihatnya sebuah pesan pendek.

Hamdan, ponselmu tidak aktif. Aku meneleponmu berkali-kali. Temui aku di kedai kopi biasa.

Ia melepas ikat hitam di kepalanya lalu melipatnya sampai tulisan ‘Tuhan Harga Mati’ yang tertera di atasnya tak kelihatan lagi.

“Aku harus segera temui Hamid,” ujarnya lirih.(*)