Tanpa saya minta, ia mengumbar cerita kepada saya. Ia bilang berasal dari Sukodono, Sidoarjo, mau pergi ke Jogja, menyusul anak gadisnya yang minggat ikut pacarnya. Anak satu-satunya. Ia bilang, sudah hampir sebulan anaknya belum pulang. Bilangnya mau cari kerja di Jogja. Ia ditawari bisnis di Jogja sama pacarnya. Ia bilang seperti menggerutu, semua itu gara-gara hape.
Semenjak dibelikan hape, anaknya ke mana-mana bawa hape, makan bawa hape, ke kamar mandi bawa hape, bahkan tidur pun ngeloni hape. Sebab hape itu pula si anak kenal sama pacarnya yang tinggal di Jogja. Kenalnya lewat pesbuk atau apa namanya. Dan semenjak dapat pacar ganteng dari hape, anaknya selalu melawan kalau dikasih tahu. Disuruh bersih-bersih rumah, malas. Disuruh jaga lapak sayur di pasar, malah ngomel-ngomel. Kalaupun mau jaga, matanya terus melotot lihat hape.
Akibatnya gak ada yang mau mampir beli sayur. Akibatnya sayur-sayur busuk. Dimarahin malah ganti marah. Hapenya diminta malah marah membabibuta, bapaknya gak diajak bicara selama tiga hari, sampai dibela-belain pecah tabungan sama utang-utang duit temannya buat beli hape baru. Setelah beli hape baru malah pergi ke Jogja. Bapaknya ditinggal dhewean di kampung. Kalau ibunya masih ada pasti bakal mati berdiri lihat anak gadisnya dugal seperti itu. Untung ibunya sudah tidak ada.
Setelah terdiam beberapa jenak, dengan ragu-ragu, lelaki tua itu mengeluarkan hape dari saku celana.
Dia tunjukkan hape merek China itu kepada saya. Ia bilang, alamat pacar anaknya yang di Jogja mungkin ada di hape itu. Pasti ada di situ. Soalnya anaknya menyinggung soal pergi ke Jogja sebelum beli hape baru yang duitnya utang-utang itu.
Ia mengaku tak terlalu paham bagaimana menggunakan hape. Ia menyuruh saya menyalakan hape itu, melihat-lihat, dan mencari alamat rumah pacar anaknya. Saya balik tanya, alamat itu disimpan di mana? Dan ia balas, pokoknya alamat itu ada di dalam hape. Ia juga bilang hape itu boleh saya otak-atik.
Sayang, hape yang diserahkan kepada saya itu rupanya hape mati. Saya sampaikan, mungkin baterainya sudah habis dan perlu dicas. Saya tanya, apakah dia membawa kabel cas. Ia bilang tidak tahu apa-apa soal kabel cas. Sejurus kemudian ia seperti mengingat-ingat, lalu ia berujar di rumahnya memang ada kabel kecil pendek yang dibeli bareng hape itu. Tapi ia tak membawanya. Hape ini tidak bisa nyala kalau tidak diisi listrik, kata saya. Ia manggutmanggut, sambil mengawasi hape yang sudah berpindah ke tangannya.
Setelah itu ia diam, tangannya melambailambai ke lubang AC di atas kepalanya. “Anginnya keluar terus dari sini,” gumamnya. Setelah itu ia bersedekap dan memejamkan mata.
Saya yakin ia tidak tidur. Sebab saya melihat air mata meleleh dari dua mata tuanya yang terpejam pura-pura tidur itu. Saya terus memandangi wajah tua yang terpejam di samping saya, dan diam-diam saya mengutuki anak gadisnya. Demi pacar yang baru dikenal lewat hape ia rela meninggalkan orang tua yang waktu kecil sudah merawat dan menceboki. Balas budi macam apa itu?
Karena tidak ada pembicaraan apa pun, saya memilih memejamkan mata. Membayangkan diri saya menjadi lelaki tua yang ditinggal anak gadisnya pergi demi pacarnya. Mungkin itu sangat menyakitkan.
Bus berhenti di Stasiun Madiun, saya turun. Dan lelaki tua itu masih saja memejamkan mata sambil bersedekap tenang. Mulutnya menganga. Saya tidak berusaha membangunkan, sebab takut itu akan menganggunya.
Selepas turun dari bus, tak henti-henti saya membayangkan bagaimana kisah lelaki tua itu selanjutnya. Apakah ia akan sampai di Jogja dan menemukan anaknya dengan bekal hape mati? Ataukah ia bakal tersesat di suatu tempat dan jadi gelandangan? Apakah anak gadisnya masih mau menerima jika lelaki itu menemukannya? Atau barangkali anak gadisnya juga kena tipu oleh pacarnya? Atau barangkali, anak gadisnya cuma mengarang, sebenarnya ia tak pernah punya pacar dan ia tak pergi ke Jogja atau ke mana pun?
Atau bisa jadi, lelaki tua itu cuma mengarang cerita soal anak gadisnya yang pergi ke Jogja mengikuti pacarnya? Tapi bagaimana dengan hape mati itu? Bukankah bisa saja itu hape hasil mencopet atau nemu entah di mana.
Kepala saya pusing memikirkan alternatif cerita penutup untuk lelaki tua dalam bus yang ditinggal anak gadisnya itu. Maka, akhirnya saya memilih untuk mengembalikan cerita itu ke cerita semula: ia memang sedang pergi ke Jogja menyusul anak gadisnya yang durhaka dengan bekal hape mati.
Dan, inilah akhir cerita yang kemudian saya putuskan: lelaki tua itu tak akan pernah berjumpa lagi dengan anak gadisnya, sebab setelah ia bersedekap dan memejamkan mata, ia tak pernah bangun lagi.
Rasanya mati adalah ending yang lebih mudah dan lebih baik baginya, daripada harus menghadapi bermacam kemungkinan dan rasa sakit yang berlarut-larut. (*)