Setiap hari terjadi macet. Di jalan itu berlaku buka-tutup sepanjang lima kilometer. Kota kecil itu menjadi lebih riuh dari biasanya. Bila antrean bergerak dari sebelah kiri, maka antrean di sebelah kanan menunggu, mengular, sampai tak kelihatan ekornya.
Lalu, bila para penjaga memberi tanda dengan mengibarkan bendera dari kejauhan, artinya antrean di sebelah kanan boleh jalan; sedangkan antrean di sebelah kiri giliran menunggu.
Begitulah sepanjang hari, ganti-berganti, dari pagi, siang, sore, sampai malam.
Pada siang hari, ketika mobil-mobil bergerak, banyak yang menggerutu karena debu-debu beterbangan dan bunyi mesin menderu bising. Anak-anak sekolah yang setiap hari menggunakan jalan itu, acap kali menepi di antara mobil-mobil yang mencoba lebih cepat di antara antrean. Anak-anak itu menutup mulut dan mata, menghindari debu, sementara klakson menyalak ke telinga.
Di antara terik matahari, debu bergulung-gulung di udara. Para pekerja terus bergerak. Ada yang mengangkat pasir. Ada yang menggali gundukan tanah. Ada yang memecah batu. Ada yang menggulingkan tong aspal dari truk. Ada yang menuangkan aspal ke jalan yang baru diratakan. Ada yang memperbaiki posisi topi seraya mengisap rokok dan mengepulkan asap dari mulut.
Semua bekerja tak habis-habisnya. Seraya sesekali istirahat di warung Ibu Jenderal.
Kecuali Ibu Jenderal, sudah dua minggu penduduk jalan itu terganggu saat meninggalkan rumah pagi hari dan kembali sore hari. Ibu-ibu yang rajin menyapu rumah dan melap barang pecah-belah putus asa karena debu. Bila penduduk tak ragu menggerutu, Ibu Jenderal justru sering tersenyum. Hingga, sebagian tetangga seperti baru mengenali Ibu Jenderal.
Tapi penduduk segera mengerti, mengapa wajah Ibu Jenderal selalu berseri-seri. Pastilah karena warungnya yang biasa hanya dikunjungi beberapa pembeli itu, kini ramai didatangi pelanggan setiap pagi, siang, dan malam.
Uang Ibu Jenderal pastilah bertambah banyak. Hasil keuntungan menjual kopi, teh manis, pisang goreng, singkong goreng, nasi campur, dan sesekali bihun goreng. Ibu Jenderal pastilah sudah punya ongkos, untuk menjenguk anaknya di rantau. Bukankah itu yang diangankan Ibu Jenderal beberapa tahun terakhir?
Para pekerja merasa tertolong oleh Ibu Jenderal. Mereka terhindar dari kerepotan membeli makanan ke pusat kota kecamatan di utara. Sementara, mereka terjebak di selatan melakukan pengaspalan yang harus segera dirampungkan.
Para pekerja ditugaskan bekerja cepat oleh kepala daerah. Konon seorang jenderal dan rombongannya akan meresmikan sebuah sekolah unggulan di kecamatan sebelah. Mereka pulang akan melalui jalan itu.
“Tapi, kenapa ia dipanggil Ibu Jenderal,” begitulah seorang pekerja suatu ketika memulai perbincangan di antara teman-temannya.
“Aku nggak tahu. Ada penduduk yang membisikkan, dari dulu ibu itu memang ingin anaknya jadi jenderal.”
“Dari dulu?”
“Ya, dari dulu, sejak sekolah lanjutan di sini.”
“Ke mana anaknya? Mati?”
“Hush. Merantau. Ke luar pulau.”
“Sudah tiga puluh tahun belum pernah pulang.”
“Anak tunggal?”
“Iya.”
“Sekolah militer memang lama. Apalagi kalau mau jadi jenderal….”
“Tahu darimana kamu?”
“Yah, dengar-dengar.”
“Gila, bagaimana kalau anaknya pulang, tapi ibunya sudah meninggal?”
“Kita bisa lihat sendiri. Setiap pagi Ibu Jenderal sehat.”
“Tapi sendirian.”
“Kasihan.”
“Ada yang bilang, anaknya sebenarnya cuma jadi… copet!”
“Hussh. Jangan fitnah!”
“Lha, tetangganya yang bilang.”
“Benar-benar kasihan….”
“Kok kasihan?”
“Kalau benar copet? Bisa jadi tak akan pulang karena malu? Penantian Ibu Jenderal sia-sia.”
“Kalau benar jenderal?”
“Kenapa tidak pulang?”
“Sudah kubilang, kalau mau jadi jenderal itu bisa puluhan tahun.”
Ibu Jenderal tak tahu sudah jadi perbincangan para pelanggannya. Ibu Jenderal hanya merasa gembira, bahwa angan-angannya menjenguk anaknya ke rantau akan kesampaian.
Ibu Jenderal menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum gembira menatap debu-debu beterbangan di depan warung. Kalau tak ada pengaspalan, bagaimana ia mendapatkan tambahan uang?
Berapa umurnya kini? Ibu Jenderal tak pernah memikirkan. Sejak lama ia merasa tua, dan sangat berat bangun pagi. Ingin rasanya bermalas-malasan di pembaringan. Tapi, terutama seminggu ini, ia merasa sayang melepaskan rejeki dari pekerja. Bagaimana mungkin ia memubazirkan rejeki, yang bisa digunakan menjenguk anaknya?
Dan dua hari ini, bila pekerja sesekali menanyakan anaknya secara langsung, Ibu Jenderal pun mulai menjawab lebih terbuka.
“Jadi, kapan anak ibu pulang?”
“Bisa saja besok.”
“Maaf, kalau tidak pulang?”
“Hush.”
“Nggak apa-apa. Saya sudah akan menyusulnya kok.”
“Bagaimana ceritanya, kok ibu bisa bercita-cita punya anak jenderal?”
Ibu Jenderal tak langsung menjawab. Tatapannya menerawang ke masa lalu. Mengenangkan peristiwa puluhan tahun lewat. Ketika suatu hari, di depan warungnya itu, jalanan masih berlubang-lubang.
“Bagaimana, Ibu, kalau boleh tahu?”
Perlahan tapi pasti, Ibu Jenderal pun bercerita. Runut. Hati-hati. Kuatir bila ada yang tak tersampaikan. Dan kelihatannya, kisahnya sudah berulang-ulang disusun di benak, hingga lancar melafalkannya.
Suatu kali, katanya, puluhan tahun berselang, ia masih berdua bersama anak tunggalnya itu. Mereka hidup dari warung. Meski tak berlebihan, ia mampu menyekolahkan sang anak.
Pada suatu siang, jalanan di depan warung diramaikan anak-anak sekolah. Mereka mengacung-acungkan bendera sambil bernyanyi-nyanyi. Anak-anak sekolah itu dibawa gurunya menyambut rombongan pejabat. Mobil si pejabat berkaca tertutup. Bergoyang-goyang. Di jalan berlubang-lubang.
“Pak Jenderal lewat! Pak Jenderal lewat!” begitu teriakan riuh anak-anak sekolah itu.
Ibu Jenderal takjub. Untuk pertama kali ia melihat seseorang dapat menggerakkan sekian banyak anak sekolah menyambut di jalanan, ketika orang itu lewat. Padahal, tak sekalipun orang itu memperlihatkan wajah.
“Pak Jenderal lewat! Pak Jenderal lewat!” begitu suara anak-anak itu mengelu-elukan di bawah terik siang.
Mobil si pejabat berkaca tertutup. Bergoyang-goyang. Di jalan berlubang-lubang.
“Pak Jenderal orang hebat, dia pemimpin kita,” kata seorang tetangga beberapa hari kemudian, ketika Ibu Jenderal mencari tahu siapa yang melewati jalanan mereka.
Mendengar jawaban itu, entah mengapa Ibu Jenderal tiba-tiba mendapatkan pencerahan. Dadanya berdebar. Napasnya memburu. Wajahnya memerah. Matanya menyala. Senyumnya mekar. Dan pikirannya bergelora oleh gambaran: bahwa ia hadir ke dunia ini, adalah untuk menjadi ibu seorang jenderal!
Ibu Jenderal. Ibu Jenderal.
Ia tinggalkan si tetangga yang terbengong-bengong menyaksikan wajahnya yang berbinar.
Dan sejak itu, santerlah di antara tetangga, kasak-kusuk tentang angan-angan si ibu yang ingin jadi ibu seorang jenderal. Dan hampir dalam setiap pertemuan dengan siapa saja, si ibu pun tak malu mengungkapkan isi hatinya.
Sebagian tetangga tak keberatan. Sebab siapa pun bebas mengangankan apa saja dalam hidupnya. Tapi sebagian tertawa sopan dan menggeleng-gelengkan kepala. Mereka menganggap hal itu hanya impian kosong. Sebagian lagi mengernyitkan dahi. Lalu acap kali menatap si ibu dengan sosot mata menyelidik. Mereka curiga, si ibu mulai melantur.
Tapi kenyataannya, si ibu tidak melantur. Ia justru benar-benar mengusahakan anaknya berhasil jadi jenderal. Dimulai dengan memberangkatkan anaknya melanjutkan sekolah ke luar pulau, begitu sang anak lulus dari sekolah lanjutan atas.
Ibu Jenderal harus mengeluarkan banyak biaya. Segala perhiasannya sejak muda, raib ke toko emas. Sebagaimana anaknya itu, bertahun-tahun kemudian, lenyap tanpa surat.
Pada awal perantauannya, sang anak rajin berkirim surat. Selanjutnya, tahun demi tahun berlalu, hanya kabar angin yang terdengar, terbawa para tetangga yang pulang dari luar pulau.
“Apa kata mereka, Bu?”
“Ada yang bilang, anak saya sudah jadi jenderal.”
“Wah. Apalagi yang ditunggu? Kunjungi saja, Bu.”
“Tegur, kenapa tak berkabar!”
“Ya, jenderal sekalipun, pasti takut sama ibunya!”
“Itu sih, film Nagabonar!”
“Tapi ada yang bilang, anak saya jadi raja… copet!”
“Itu juga Nagabonar.!”
Para pekerja saling tatap. Dan kemudian saling melengos.
“Panggilan Ibu Jenderal, sebenarnya ejekan!” lanjut Ibu Jenderal. Tatapannya menerawang, ke arah debu-debu beterbangan di depan warung.
Sementara, para pekerja satu demi satu meninggalkan warung. Kembali bekerja. Menuntaskan tugas yang hampir selesai.
Ibu Jenderal juga kembali bekerja. Lebih bersemangat dari biasanya. Setelah banyak bercerita kepada pekerja itu, ia merasa beban di pundaknya lebih ringan.
Terlintas dalam angannya, setelah pengaspalan jalan selesai, seandainya rombongan anaknya yang jenderal itu pulang, ia akan melalui jalanan licin. Tak ada lagi jalanan berlubang, seperti puluhan tahun lewat.
Dan dua minggu kemudian, Ibu Jenderal tersentak dari lamunannya, ketika melihat dan mendengar anak-anak sekolah berjejalan di depan warungnya. Mereka mengibar-ngibarkan bendera dan bernyanyi-nyanyi di bawah matahari sore.
“Pak Jenderal lewat! Pak Jenderal lewat!” begitu teriakan ramai anak-anak sekolah itu.
Pemandangan puluhan tahun lewat, seperti berlangsung baru saja dan berulang kembali di hadapan Ibu Jenderal. Ia melangkah penasaran ke depan warungnya. Dan melihat mobil si pejabat itu berkaca tertutup, melaju kencang di jalan mulus baru diaspal.
“Pak Jenderal lewat! Pak Jenderal lewat!” begitu teriakan ramai anak-anak sekolah itu terdengar sayup.
Dari dalam mobil yang membawanya, sang jenderal memandang ke luar. Melalui kaca temaram itu, ia seperti mengenali kota kecil yang dilaluinya. Pikirnya, ia bisa saja pernah tinggal di pinggir jalan itu, di belakang anak-anak sekolah itu, atau di warung itu…. (*)
Posting Komentar untuk "Ibu Jenderal | Cerpen Arie MP Tamba"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar