Aku menyukai tempatku bermukim bersama nenek. Sebidang lahan kosong dengan sebuah rumah tua yang kutaksir berusia lebih tua dariku puluhan tahun. Atapnya saja sudah bocor! Dari tempat tinggalku di simpang perempatan Jalan Damhsyara, aku bisa dan terbiasa memandang ke segala penjuru jalan. Kanan-kiri, belakangku, hingga ke seberang sana, ke dalam ujung gang kecil di samping Jalan Tumoso itu. Tak heran, aku tahu banyak hal yang terjadi di sini. Kudengar langsung dari mulut-mulut bergincu maupun tidak, hingga yang kulihat sendiri.
Aku ingin berkisah kepadamu… dan ini adalah tentang…
*****
Si Buta dan Si Pincang.
Siang yang terik. Kucoba mengibaskan rambut untuk mengusir gerah. Menunduk, dari celah rambutku, aku melihat bayang-bayang bergerak di dalam rumah kosong nan gelap di seberang jalan. Siapa di dalam? Kupicingkan mata. Oh, ada dua manusia di situ!
Berjalan cepat, lelaki setengah baya keluar. Mencari-cari, dia masuk kembali. Giliran wanita muda keluar, hanya sebentar dia sudah melihat kantongan plastik yang ditinggalkannya di depan pagar. Segera diraihnya, lalu kembali ke dalam.
Aku menajamkan penglihatan. Keduanya membuka pakaian di dalam! Lalu….
Heh! Bersihkan pikiranmu! Tidak seperti yang kamu bayangkan! Ya…, ya…! Mereka hanya berganti pakaian! Aneh. Baju bagus tak hendak dipakai, justru baju koyak-koyak dikenakan!
Keren…! Ada pertunjukan sulap! Si wanita kini mendadak buta. Lelaki tua menyeret langkah kakinya yang berat dan berperban tebal, sembari menuntun wanita buta. Dengan susah payah, mereka menyeberang jalan. Menuju deretan toko yang sibuk dengan aktivitas ekonomi yang cukup ramai.
Oh, sungguh kasihan! Aku hampir menangis. Bayangkan, wanita buta dengan ayahnya yang telah tua dan pincang pula! Hidup mereka tentu susah! Sutradara mana pun yang melihat adegan ini akan langsung bersujud dan memohon agar keduanya bersedia ikut ke Hollywood! Pasti!
Manusia-manusia itu teramat baik. Ilmuwan mana yang bersedia membantuku menjelaskan bahwa ‘baik’ dan ‘bodoh’ itu seringkali relevan? Ah, bagaimana tidak? Dengan segera, kantong mereka telah mengembung. Padahal aku ingin berteriak ‘jangan percaya!’.
Apa daya? Aku hanyalah si bisu!
*****
Sang Terhormat.
Pria tua itu, seperti hari-hari biasanya, menenteng dua keranjang besar. Di dekatku, dia menghentikan langkah. Seketika aku mencium aroma keringat dari tubuhnya. Barangkali dia telah berjalan puluhan kilometer semenjak matahari baru bangun. Aku mencoba mengintip isi keranjangnya. Masih setengah bagian!
Mengeluarkan saputangan, dia menghapus keringat di dahi. Di bawah terik matahari, aku ingin memayunginya dengan apa saja yang kupunya. Dia telah berjalan lagi, menawarkan kue-kue basah dagangannya.
Tak semenit, aku melihat Sang Terhormat berjalan tergesa. Seorang pria berpakaian coklat necis dari arah kanan mengangkat tangan menyapa. Tepat di sampingku mereka bertemu, saling bersalaman.
“Sebenarnya lingkunganku tak perlu penerapan proyek ini,” bisik Sang Terhormat.
“Atur saja…” Sembari mengangkat sebelah alisnya, Si Coklat berbisik pelan, seolah khawatir terdengar olehku.
Tawa meledak di antara mereka dengan kelucuan semu yang hanya dimengerti sendiri.
Barangkali musim hujan telah tiba sejak kemarin. Aku menengadah. Awan hitam bergerak cepat. Angin bertiup kencang menembus pori-pori tubuhku.
“Akh!”
Keranjang itu menggelinding di dekat kakiku. Lelaki tua tergelincir dengan tubuh basah terjerembab di genangan air. Orang-orang mulai berkerumun.
“Dulu tidak begitu…”
“Iya, lihat genangan air di mana-mana. Rumahku pun kebanjiran sekarang! Proyek yang menyengsarakan!”
“Aneh, katanya proyek untuk mencegah banjir di musim hujan. Kenyataannya?!”
“Cepat! Cepatlah tolong Pak Tua…” jerit batinku lirih. Ah, kakiku yang terendam air tak bisa bergerak!
*****
Pos Serba Guna.
“Di sini. Ya, di sini tepatnya, akan dibangun sebuah pos keamanan!” Pria muda membolak-balik buku hijau di tangannya.
“Lihat ini, nomor 30 telah memberi dua ratus ribu, pintu kuning tiga ratus ribu, dan ….”
“Ah, tunggu suamiku pulang, kubicarakan dulu dengannya.” Bu Sil segera menutup pintu. Dia keluar dari pintu belakang menemui Bu Tari, tetangga sebelah kiri.
“Apa?! Sumbangan? Bangun pos keamanan? Tidak… tidak. Tidak akan kuberikan sepeser pun!” Bu Tari melengkungkan bibirnya.
“Pikir saja, bagaimana mobil pemadam kebakaran bisa masuk bila pos dibangun di bibir gang ini? Sudah sempit, tambah sempit! Huh!”
Bu Sil menganggut.
Bu Tari kembali ke dalam rumahnya demi bel yang berbunyi dua kali.
“Eh, Yang Terpercaya,” sapa Bu Tari dengan keramahan yang tulus.
“Ya, saya sudah mendengar tentang pos itu. Baik. Baik sekali!”
“Ya, semua ini atas seizin Yang Terhormat…”
“Tentu bagus! Saya mendukung sepenuhnya.” Bu Tari tertawa lebar.
“Sebentar ya, dompet saya di dalam…”
*****
Aku telah menguap untuk kali yang ke dua puluh tiga. Malam sudah demikian larut. Suara cekikikan manja wanita-wanita dalam pos di bibir gang, telah menarikku keluar dari dunia mimpi berulang kali.
Aku bukan petugas ronda, tetapi telah dibuat berjaga sepanjang malam. Huh!
Cahaya yang samar di ufuk timur, menyentakkanku. Pagi telah tiba!
Aku mengucek mata yang perih oleh kantuk. Di ujung Gang Tiparem, dari dalam pos, keluar tiga wanita dan dua pria. Berjalan sempoyongan dengan botol bir di tangan. Mereka pergi dalam kegelapan. Aku menarik napas lega. Selamat datang pagi yang indah dan semoga hari ini aman-aman saja!
Sebuah becak bermesin menderu, lalu berhenti. Menimbulkan kepulan asap putih di dekatku—membuatku terbatuk sekali.
“Main, yuk!” seru penarik becak mesin berkepala licin kepada kumpulan pemuda asongan di persimpangan jalan.
Tak lupa membawa sekotak kartu baru, pos itu kini berubah fungsi lagi. Sunyi; teriakan frustrasi; tawa kegembiraan; bentakan penuh amarah, silih berganti mewarnai pagi bertanggal 2 ini. Aku menahan napas kekhawatiran setiap kali pertengkaran terlihat mewarnai permainan di dalam pos sempit itu. Lalu….
Bagus…, bagus…! Aku bersorak demi mendengar suara raungan sirene mobil Pemberantas Maksiat dari kejauhan. Cepat…, cepatlah tiba! Saksikan semua ini, laksanakan tugas dan tangkap mereka semua!
Si Kepala Licin serta-merta telah keluar dari permainannya. Berdiri di pinggir jalan, matanya mencari di kejauhan. Heh, akan lari ke mana kau, hah?! Rasakan!
Mobil itu semakin dekat. Tepat di samping pos, mobil dihentikan. Aku bersiap menonton aksi pemberantasan kemaksiatan!
Tunggu! Ada apa dengan mereka?!
Kepala Licin berlari kecil ke arah mobil Pemberantas Maksiat. Tersenyum lebar, dia mengulurkan tangannya ke dalam kaca mobil yang segera saja diturunkan. Apa yang diserahkannya? Aku gagal mengintip akibat silaunya matahari!
Tanpa sirene, mobil Pemberantas Maksiat pun berlalu. Kepala Licin kembali ke dalam Pos Serbaguna. Argh, hanya begitu?!
Uh! Inilah panggung kehidupan dengan segala skenario dan peran. Terkadang aku kecewa, tetapi apa daya? Hanya dalam hening, manusia dengan nurani terbersih yang dapat mendengarkanku berkisah.
Nenek keluar dari rumah tua, melingkarkan kalung pada lenganku. Aku terhibur. Kalung dengan lonceng warna-warni dan bohlam aneka warna seketika menghias tubuhku.
Ah, sampai di sini dulu kisahku. Jika kamu senang mendengarku bercerita, ingatlah aku: Cemara, si Pohon Pengisah.
Posting Komentar untuk "Pengisah | Cerpen Liven R"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar