Iklan Atas

Blogger Jateng

Perempuan yang Menangis Melihat Masjid | Cerpen Arsyad Salam


1/

Idulfitri 2017.

Suara takbir sudah terdengar sejak semalam sampai pagi ini. Dari pengeras suara masjid di tengah teluk, gema takbir bersahutan dengan suara yang sama dari radio dan televisi warga Kampung Bakau.

Ruwah sudah siap-siap sejak tadi. Ia sudah mengatur mukena, berhias secukupnya dan tak lupa menyiapkan uang recehan yang nanti akan ia bagikan pada fakir miskin di pinggir jalan menuju masjid. Tapi beberapa saat lamanya ia enggan keluar dari kamar. Risal mengira ibunya masih tidur. Namun, begitu ia sadar kalau saat itu ibunya sedang menangis, ia pun bergegas mandi dan bersiap ikut salat id berjamaah di masjid teluk.

Dua hari sebelumnya, sepulang dari mencari kepiting dalam rimbun bakau, Risal mendapati ibunya sedang membuat bungkus ketupat sambil memandang teluk. Dari matanya yang sembab, Risal tahu ibunya habis menangis tapi ia pura-pura tak melihatnya.

“Dapat banyak hari ini, Nak?” tanya Ruwah, mencoba mendahului sebelum Risal bertanya kepadanya.

“Hanya ini, Bu,” sahut Risal, “kepiting tak ada lagi di teluk ini, Bu yang banyak justru plastik.” Sekilas Ruwah memandang ikatan kepiting di tangan anaknya. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi batal.

Setiap hari mereka toh melihat dengan jelas kerusakan yang melanda teluk itu. Sedimentasi makin meningkat. Dari hari ke hari sampah semakin banyak, seolah teluk itu adalah tempat sampah raksasa yang sengaja dibuat untuk itu. Akibatnya ruang mereka mencari ikan dan kerang serta kepiting selama puluhan tahun ini semakin menciut. Seperti hari itu. Risal hanya membawa pulang empat ekor kepiting yang kurus dan pucat pula.

“Sudahlah, Bu, jangan diingat-ingat terus,” ujar Risal dalam nada halus. Ruwah agak terkejut. Ia tak menyangka anaknya bisa tahu apa yang ada dalam pikirannya saat itu.

“Bagaimanapun saya belum bisa melupakan kejadian itu, Nak. Tidak mungkin.”

Risal meletakkan empat ikat kepiting ke lantai papan. Tatapannya tertuju pada permukaan air di teluk. Tak terasa gelap mulai turun seolah tanpa pergantian senja.

“Tapi itu sudah lama sekali, Bu, kasihan arwah Ayah kalau Ibu terus-terusan seperti ini.”

“Entahlah, Nak. Rasanya saya masih belum sanggup melupakan kepergian Ayahmu,” balas Ruwah sambil terisak.

*****


2/


Setahun sebelumnya.

Setiap kali azan berkumandang, Ruwah buru-buru keluar ke beranda belakang rumah panggungnya. Ia memandang masjid megah di tengah-tengah teluk itu dengan perasaan hancur. Hatinya seperti disayat-sayat. Perih. Setelah itu, tanpa ia sadari, air matanya tumpah disertai tangisan halus. Bibirnya bergetar, menggumamkan kata-kata tak jelas. Entah doa, entah rasa sesal, entah kesedihan atau mungkin gabungan ketiga hal itu sekaligus.

Masjid itu hampir rampung dikerjakan. Kubahnya sudah jadi. Pengeras suara juga sudah dipasang. Dinding dan lantai keramiknya dalam proses penyelesaian. Meski belum diresmikan penggunaannya oleh pemerintah setempat tapi orang sudah menggunakannya untuk salat berjamaah. Terutama para pekerja bangunan dan para mandornya.

Dulu, sewaktu lokasi untuk masjid itu masih dalam proses pembersihan, Ruwah pernah berangan-angan kelak kalau masjid itu sudah jadi, Sahal akan menjadi bilal di sana. Ia bayangkan, setiap subuh Sahal akan bergegas ke masjid, mengumandangkan azan, memanggil orang-orang untuk sembahyang. Sepulangnya dari sana, segelas kopi hangat telah tersedia di meja. Ah alangkah indahya dunia, pikir Ruwah waktu itu.

Tapi belakangan ini angan-angan Ruwah itu sering terganggu. Ia sering bermimpi. Sekali, ia pernah bermimpi melihat Sahal keluar dari masjid mengenakan jubah putih. Seluruhnya putih. Ruwah jadi ingat pakaian orang yang naik haji. Dalam mimpinya itu, ia melihat wajah Sahal sangat bersih bahkan tampak lebih muda dari usianya. Sahal tersenyum kepadanya tanpa bicara sepatah kata pun sampai ia lenyap seperti debu.

Di lain waktu, Ruwah mimpi lagi. Kali ini ia mimpi menyelam di kedalaman teluk di depan kampungnya, Kampung Bakau. Airnya sungguh jernih. Ia bisa menyaksikan dengan jelas puluhan ikan warna-warni bermain-main tak jauh darinya. Mereka sungguh jinak, pikirnya. Apa yang ia lihat begitu nyata, seolah-olah ia bisa menyentuh ikan-ikan yang berseliweran itu. Rasanya ikan-ikan itu seperti sengaja menyediakan diri untuk ditangkap oleh Ruwah. Dan ketika Ruwah mencoba meraih mereka dengan tangannya, yang ia dapati hanya air belaka. Ruwah hanya mampu memandang mereka semua, seperti ketika ia melihat ikan-ikan itu dalam akuarium di toko ikan hias.

Leluhur Ruwah yang tinggal di hutan bakau teluk itu sejak dulu konon percaya apa yang dilihat atau dialami dalam mimpi mengandung petunjuk, isyarat atau tanda akan terjadinya sebuah peristiwa meskipun kadang faktanya bertolak belakang dengan mimpi itu sendiri. Artinya, kalau seseorang mimpi sedang sakit, itu adalah isyarat yang bersangkutan akan tetap baik-baik saja alias tetap sehat selama kurun waktu tertentu. Begitu pula sebaliknya.

Karta, tetangga Ruwah di Kampung Bakau yang lumpuh selama sepuluh tahun pernah bermimpi jatuh dari kuda saat ia menjadi joki seekor kuda pacuan. Kedua kakinya patah dan hancur laksana kayu lapuk yang kering. Tiba-tiba terjadilah keajaiban itu. Dua hari setelah ia mimpi, Karta bisa menggerakkan kakinya, bahkan hari itu juga sudah bisa kembali berjalan seperti dulu. Sekarang Karta menjadi tukang ojek di pangkalan depan kampungnya.

Ruwah sendiri mulai khawatir akan mimpi-mimpinya. Namun ia hanya menyimpannya untuk dirinya sendiri. Ia takut menceritakannya kepada orang lain termasuk suaminya dan Risal, anaknya. Meskipun ada keinginan kuat untuk menceritakan mimpinya kepada Sahal, namun ada sejumput keraguan tiap kali ia ingin mengatakan apa yang ia lihat dalam mimpinya.

Ia takut suaminya akan menertawainya, menertawai mimpinya. Ia takut suaminya akan mengejek mimpinya yang kelewat tak masuk akal. Meskipun demikian, Ruwah sangat yakin apa yang ia lihat dalam mimpinya suatu ketika akan menjadi kenyataan.

Jumat pagi, Ruwah berusaha mencegah Sahal untuk berangkat kerja. Hari Jumat bukanlah waktu yang tepat untuk menyelam, kata Ruwah. Tapi Sahal hanya tersenyum seraya berkata sebelum jam sebelas ia sudah akan berada di rumah.

“Bagaimanapun saya telah ditunjuk menjadi mandor untuk pekerjaan pemasangan tiang pancang.”

Ruwah tak tahan lagi. Ia pun menceritakan soal mimpi-mimpinya selama ini kepada Sahal yang telah bersiap mengayuh sampannya ke tengah teluk. Hari itu Sahal akan menyelam memasang tiang-tiang kayu bundar dalam lumpur teluk untuk patok pembatas area masjid yang akan ditimbun.

“Bagaimana mungkin kamu mimpi hal-hal semacam itu Ruwah?” tanya Sahal dengan senyumnya yang jenaka, “sejak dulu kita tahu kalau teluk ini sudah rusak.”

Ruwah menundukkan kepala, sambil berpikir kalau suaminya sendiri tak mempercayai mimpinya. Meski demikian, ia tetap mencoba, berusaha menjelaskan kepada Sahal tentang mimpi-mimpi yang telah mengganggunya selama ini.

“Tapi semuanya sangat nyata, Sahal, seolah-olah itu bukan mimpi.”

Tiba-tiba terdengar tawa Sahal yang keras, sangat keras.

“Mana ada ikan warna-warni di sini Ruwah. Teluk ini bukan terumbu karang. Kamu ini ada-ada saja.”

Sahal memandang kejauhan, menatap ujung horizon, kaki langit, yang pagi ini berwarna biru cerah. Cuaca tampaknya sangat bagus hari ini, pikir Sahal. Sisa tawa masih menggantung di bibirnya.

Sambil mendayung meninggalkan rumahnya, dari jauh Sahal sudah bisa melihat puluhan kayu bulat tegak di atas air, mirip tiang bekas rumah bagang. Ketika tiba di lokasi ia merasa air masih terlalu tinggi. Dasar air masih cukup dalam. Sekitar enam depa pasti ada, pikirnya. Sejenak ia menimbang-nimbang apakah ia akan langsung bekerja atau menunggu pekerja lainnya datang. Ia alihkan pandangan ke daratan seolah-olah mencari kawan-kawannya. Tapi yang ia lihat hanyalah barisan mobil dan sepeda motor yang lalu-lalang di jalan By Pass, dekat Jembatan Triping.

Perlahan sampannya ia rapatkan ke kumpulan kayu bulat yang tegak di atas air. Ia meraih sebatang, memegang seraya menggoyang-goyangnya beberapa detik sampai ia pastikan kayu bundar itu telah tercabut dari lumpur. Tak lama kemudian, ia turun ke air setelah menambatkan sampannya pada salah satu kayu tegak yang ada di situ. Sambil berenang, Sahal menyeret sebatang kayu bulat. Panjangnya sekitar tujuh meter. Kayu itu akan ia tancapkan di salah satu sudut yang sebelumnya telah diberi tanda dengan pelampung.

Beberapa saat kemudian, Sahal berusaha menancapkan kayu bulat itu ke dalam lumpur. Berulang-ulang ia melakukannya. Bahkan sesekali ia melakukannya dengan dua tangan dan dengan kekuatan penuh. Di lihat dari jauh, Sahal seperti sedang menombak sesuatu dalam air dengan menggunakan sebatang kayu bundar. Hampir seluruh batang kayu tenggelam dalam air. Tapi Sahal belum puas. Ia merasa kayu itu belum cukup dalam menancap dalam lumpur.

Sahal terus mencoba dan ia baru berhenti setelah kayu yang ia tancapkan membentur sesuatu yang keras di dasar sana. Sekali lagi ia mencoba. Tetap tak bisa masuk. Sahal berpikir sejenak seraya menebak-nebak benda yang menahan kayunya masuk lebih dalam. Sepanjang yang ia tahu, tak ada benda padat dalam teluk itu.

Tak mau penasaran lebih lama, meski tanpa kacamata selam, Sahal menyelam, ingin tahu apa yang ada di bawah sana. Sambil memegang batang kayu, Sahal terus masuk dalam air dengan mengandalkan ketahanan napas yang ia miliki sebagai mantan penyelam mutiara di Laut Banda. Ia tebar pandangan ke sekitar tapi tak mampu melihat lebih jauh karena air teluk yang keruh. Ternyata air lebih dalam dari perkiraannya semula. Ia ingat ukuran kayu bundar itu. Mungkin tujuh depa lebih, pikirnya. Belum lagi mencapai setengah kedalaman, ia sudah tak mampu bertahan lebih lama dalam air. Napasnya hampir habis. Buru-buru ia naik ke atas untuk mengambil napas.

Ketika ia kembali menyelam, Sahal telah bertekad ingin tahu benda apa yang tadi membentur kayunya. Dalam hati ia berdoa kepada Tuhan agar keinginannya dikabulkan. Kali ini saya harus sampai di dasar, bisiknya dalam hati.

Sahal merasa hampir sampai ketika ia dikejutkan oleh benda hitam mirip tali-temali yang mengelilingi pangkal kayu, persis di atas permukaan lumpur. Sejenak ia ragu, seraya terus berpikir tentang benda itu. Sahal ingin memastikan. Ia memberanikan diri menyelam lebih dalam. Tanpa ia tahu, tubuhnya kini sudah berada dalam lingkaran kawat-kawat berkarat. Puluhan jumlahnya. Dan sampai saat itu, Sahal tak menyadari bahaya tengah menguntitnya.

Kehadiran Sahal yang begitu tiba-tiba, membuat puluhan ikan melarikan diri membuat air semakin keruh. Sahal semakin curiga. Kini pandangannya tiba-tiba gelap. Saat ia mencoba keluar dari sana, tubuhnya tertahan oleh puluhan kawat yang menjeratnya. Pada saat itulah timbul kesadaran dalam dirinya tentang apa yang ia temui. Kawat-kawat itu pasti bekas bubu orang Bajo yang mereka tinggalkan di teluk itu beberapa tahun yang lalu. Demikian pikirnya. Sahal ingat semuanya justru pada saat tubuhnya sudah terjerat kawat-kawat berkarat yang hampir terbenam dalam lumpur. Ia terus berusaha meskipun terasa sia-sia. Sekujur tubuhnya terasa perih oleh luka goresan kawat.

Sahal bingung dan menjadi semakin gugup. Ia tak bisa lagi berpikir apa yang harus ia lakukan. Sebelum kesadarannya benar-benar lenyap, ia merasa melihat puluhan ikan warna-warni berenang mendekati tubuhnya.

Siang harinya, tubuh Sahal ditemukan oleh dua kawannya yang siang itu datang terlambat. Mereka membawa mayat Sahal ke rumahnya dan disambut oleh Ruwah dengan jerit histeris sepanjang petang sampai malam harinya. Dan Sejak itulah, Ruwah sering memandangi masjid itu lama-lama sambil menangis. “Bagaimanapun, masjid itulah kuburmu yang sebenarnya,” bisiknya pada diri sendiri. (*)

Posting Komentar untuk "Perempuan yang Menangis Melihat Masjid | Cerpen Arsyad Salam"