Iklan Atas

Blogger Jateng

Bangku Tua Milik Bapak | Cerpen Riyan Prasetio


Setiap sore menjelang, bapak selalu duduk di bangku tua kesayangannya. Bangku yang terbuat dari bambu itu telah menemani bapak melewati senja yang begitu indah. Duduk dengan tenang sembari melempar pandang ke luar jendela untuk menyaksikan betapa indah panorama yang senja sajikan. Bapak selalu menikmatinya. Rasa lelah setelah seharian memeras keringat tampak memudar ketika ia duduk di bangku tua kesayangannya itu.

Melihat kebiasaan bapak yang duduk di bangku tua sembari mengedarkan pandang ke luar jendela memaksa ibu selalu menyiapkan ubi rebus dan segelas teh panas. Cemilan yang dibuatkan untuk menemani bapak menghabiskan senja bersama bangku tuanya itu. Terkadang, kalau aku pulang kerja lebih awal, aku akan menemani bapak dengan menyeret bangku plastik. Duduk bersebelahan dengan bapak sembari menikmati indahnya siluet jingga dari balik jendela kaca.

Bapak tidak bicara meski aku duduk di sebelahnya. Ia begitu khusyuk memandang ke luar jendela. Menikmati senja yang seolah hanya tercipta untuk dirinya seorang. Aku tidak pernah mengeluh ataupun protes akan hal itu. Malahan, aku mulai terbiasa menikmati senja dalam diam. Cukup meluapkan rasa takjub akan indahnya siluet jingga itu dengan menyunggingkan senyum dan rasa syukur di hati.

Bapak telah mengajarkan banyak hal kepadaku. Senja yang keindahannya hanya bisa dinikmati beberapa detik saja tidak boleh terlewatkan. Bapak juga tidak pernah mengabadikan keindahan senja dengan kamera yang aku belikan beberapa tahun yang lalu. Bapak hanya diam menatap senja, sembari menggoyang-goyangkan bangku tuanya itu. Seakanakan, senja yang dilihatnya sedang menyanyikan lagu paling indah di dunia ini yang hanya bisa didengarnya seorang saja.

Yang menjadi pertanyaan terbesar dalam hidupku sampai saat sekarang ini adalah mengapa bapak tidak pernah bosan dengan tampilan senja yang begitu-begitu saja. Aku yang baru menikmati senja setengah tahun belakang saja mulai bosan. Bagiamana bapak tidak bosan dengan senja yang ia lihat sejak puluhan tahun lalu itu?

Hal yang paling membuat hati bapak sedih yaitu ketika langit sore dipenuhi oleh gumpalan awan hitam yang pekat. Disaat itulah bapak tidak bisa melihat keindahan senja yang selalu dinantikannya. Akan tetapi, bapak tetap duduk di bangku tua miliknya sembari memandang ke luar jendela. Menatap layu ke arah langit yang berwarna gelap. Ibu akan tetap membuatkan cemilan untuk bapak. Rasa sayangnya yang begitu besar kepada bapak tidak pernah memudar.

Hingga usia mereka tak lagi muda. Permukaan kulit yang tadinya masih kencang mulai mengendur. Muncul keriput di sana-sini. Rambut yang mulanya berwarna hitam legam mulai memutih dan akhirnya sempurna berwarna putih. Menandakan usia mereka tak lagi muda. Bahkan gelisah mulai datang menghantui. Ajal tidak akan lama lagi datang menyapa. Ibu jadi sering sakit. Pun dengan bapak yang sering batuk, demam, dan tubuhnya lemah seketika.

Sebagai anak tunggal, aku belum bisa menuruti keinginannya. Sampai sekarang, permintaan bapak belum juga aku penuhi. Bahkan ketika bapak meninggal dunia, aku belum juga memenuhi keinginannya yang ingin melihatku menikah dengan seorang perempuan. Ah, sepertinya aku telah membuat bapak kecewa.

Setelah kepergian bapak. Bangku tua yang terbuat dari bambu itu masih berdiam di tempatnya. Menghadap sempurna ke jendela. Ibu yang masih setia dengan rasa sayangnya, tidak pernah lupa membuatkan cemilan yang diletakkan di meja bambu, tepat di depan bangku tua milik bapak.

Sering kali aku menangis melihat kelakuan ibu. Tubuhnya juga semakin renta. Gurat wajahnya yang dulu cantik muncul keriput di sana-sini. Aku belum juga bisa mengabulkan permintaan bapak. Hingga suatu senja, aku duduk di bangku tua milik bapak. Menatap ke luar jendela dengan mulut terkatup rapat. Ada ketenangan yang kurasa. Damai menyelusup masuk ke dalam hati. Menawarkan rasa nyaman yang luar biasa. Pantas saja bapak tidak pernah bosan duduk di bangku tua miliknya sembari menatap senja. Kenyamanan itulah yang selama ini dirasakan oleh bapaknya.

“Mau sampai kapan kamu sendiri terus? Ibu sudah tua, tidak bisa terus-terusan membuatkan sarapan, makan siang, dan juga makan malam untukmu.”

Suara ibu terdengar serak ketika berjalan susah payah untuk meletakkan cemilan yang dibuatnya ke meja bambu yang menghadap ke luar jendela. Aku menghela napas panjang. Bukannya aku tidak mau menikah, hanya saja aku masih bingung menentukan pilihan. Sedangkan umurku juga semakin bertambah tua. Aku sendiri bahkan sempat membayangkan masa tua dalam kesendirian, tanpa seorang istri.

“Melihat ibu masih sehat saja, Rifki sudah senang, Bu,” kataku lirih.

Ibu tidak menjawab. Membisu dalam pikirannya sendiri. Kepergian ibu kembali menghadirkan sepi. Bangku tua milik bapak bergoyang. Kurebahkan tubuhku yang lelah di atasnya. Tak peduli dengan senja yang telah pergi sejak beberapa menit yang lalu. Pikiranku benar-benar kacau kali ini. Bangku tua milik bapak tak lagi menawarkan kenyamanan. Perkataan ibu barusan sungguh membuat dadaku sesak. Pikiranku bercabang ke mana-mana. Belum lagi memikirkan pekerjaan yang menguras tenaga serta pikiranku.

Keesokan harinya adalah hari yang menyesakkan bagiku. Setelah ibu menanyakan kapan aku akan menikah di samping bangku tua milik bapak, ibu meninggal dunia paginya. Aku tak tahu harus berbuat apalagi. Seluruh tenaga rasanya lenyap ditelan bumi. Memudar bersamaan dengan terkuburnya jasad ibu di dalam liang lahat. Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang.

Tidak ada lagi pemandangan sosok bapak yang setiap senja menyapa, duduk di bangku tuanya yang terbuat dari bambu itu. Tidak akan kujumpai lagi sosok ibu yang selalu setia membuatkan cemilan untuk menemani bapak menghabiskan waktu senjanya di bangku tua itu.

Mulai sekarang, sepi benar-benar menghantui diri. Menepiskan segala harapan untuk bisa membahagiakan kedua orang tua. Satu-satunya teman yang masih setia hanyalah bangku tua milik bapak. Ingin aku menjual rumah yang penuh kenangan. Membeli rumah baru yang ada di kota. Sehingga aku tidak perlu terlambat lagi ketika datang ke kantor. Tidak perlu lagi ikut mengantre jalanan yang macet karena padatnya kendaraan yang berlalu-lalang.

Bisa saja aku membeli rumah di sebelah kantor. Jadi tidak perlu membuang banyak uang untuk membeli bahan bakar setiap harinya. Uang itu bisa kutabung untuk masa tuaku nantinya. Akan tetapi, semua keinginan itu hanya sebatas keinginan. Banyak kenangan yang perneh kulewati bersama rumah peninggalan bapak. Bangku tua milik bapak seolah berkata kepadaku agar tidak menjual rumah penuh kenangan ini.

Rumah yang pernah menjadi tempat terhangat di kala hujan menyapa. Menjadi satu-satunya tempat yang menawarkan teduh kala panas mentari menyinari begitu teriknya hingga terasa membakar puncak kepala. Di rumah yang penuh kenangan inilah aku belajar dari bapak dan juga bangku tua miliknya. Belajar bagaimana cara menikmati senja dengan caranya sendiri.

Menikmati senja dalam diam penuh penghayatan. Mengabadikan keindahan senja tanpa perlu mengabadikan lewat kamera keluaran terbaru, masa kini. Bapak telah mengajarkan cara mengabadikan keindahan senja yang lebih unik. Dengan caranya sendiri. Menikmati keindahan yang ditawarkan senja setiap harinya. Hanya dengan begitu ingatan kita pada senja tidak akan pernah terlupakan.

Ketika pada akhirnya aku pindah ke kota. Setiap sore aku tetap berkunjung ke rumah peninggalan bapak. Rumah yang belakangan sudah tidak terurus lagi karena memang tidak ada yang mengurusnya. Bahkan rumah itu tak lagi berpenghuni. Pernah aku menawarkan kepada penduduk sekitar yang masih tinggal bersama orang tuanya namun sudah memilik pasangan untuk menetap dan tinggal di rumah peninggalan bapak. Mereka malah menolak. Berdalih kalau rumah itu sangat berarti untukku. Beralasan kalau suatu saat aku pasti sangatlah membutuhkan kenangan yang pernah kulewati di rumah itu.

Ternyata mereka benar. Sampai sekarang aku masih sering berkunjung ke rumah peninggalan bapak. Rela menempuh jarak puluhan kilometer hanya demi bisa duduk di bangku tua milik bapak yang terbuat dari bambu itu. Bangku itu semakin lapuk termakan usia. Beberapa kali aku berusaha mengecat ulang bangku tua milik bapak. Tetap saja umurnya tidak bisa berkhianat.

Terkadang, saking lelahnya tubuhku. Aku ketiduran sampai subuh di bangku tua milik bapak. Bangku yang selalu mengantarkan ingatanku pada kenangan-kenangan di masa lalu. Kenangan yang begitu indah setidaknya pernah kulewati bersama bapak dan ibu di rumah itu. Hingga akhirnya bangku tua itu lapuk dimakan rayap. Aku tak pernah lagi mengunjungi rumah peninggalan bapak. Bagiku, semua kenangan telah musnah bersamaan dengan hancurnya bangku tua milik bapak. (*)

Posting Komentar untuk "Bangku Tua Milik Bapak | Cerpen Riyan Prasetio"