Saya harus bertanya pada ibu. Tapi, ia tidak ada di mana-mana. Kamar ibu, kamar mandi, dapur, dan ruang keluarga kosong. Biasanya pagi-pagi begini ibu menonton pengajian di televisi. Sandal maupun sepatu hak milik ibu juga masih teronggok di rak. Artinya ibu memang tidak ke mana-mana. Tidak mungkin pula ibu berjalan-jalan pagi dengan kaki telanjang. Ibu tidak sedang hamil atau punya riwayat penyakit tertentu. Ibu juga pernah bilang trauma jalan tanpa alas kaki. Sebabnya ia pernah tertusuk paku sewaktu ospek dulu. Sejak itu ia benci nyeker dan penatar ospek. Namun itu tidak penting. Lalu dimana ibu?
Ayah, ya saya terpaksa harus bertanya kepada ayah. Padahal saya malas sekali berbincang dengan dia. Pertama, karena ayah sudah tak bisa melihat. Kedua, ketika penglihatannya masih normal dia juga sering menghiraukan kata-kata saya dan selalu menyuruh saya bicara pada ibu. Ini saya lakukan semata-mata lantaran terpaksa. Tak ada lagi jalan lain. Di rumah hanya ada saya, ibu, ayah, dan kucing-kucing.
Saya mengetuk pintu kamar ayah dan minta izin masuk. Saya ketuk tiga kali sesuai aturan yang berlaku. Tiap-tiap ketukan berjarak kurang lebih dua puluh detik. Namun selama semenit itu tak ada sahutan dari dalam. Saya coba tempelkan telinga kanan ke pintu untuk meraba-raba suara dari dalam. Tetap hening. Saya berpikir untuk memutar kenop pintu dan membukanya sendiri. Ayah pernah melarang membuka pintu kamarnya kecuali seizin dia. Namun karena terpaksa saya terabas larangan itu. Maafkan saya ayah.
Kosong. Ayah tidak ada di kamar. Hanya selimut yang terlipat rapi, bantal-bantal tersusun, laptop dan sebuah buku tebal di atas meja baca. Tidak ada ayah. Ini juga di luar kebiasaan. Ayah tak pernah keluar kamar sebelum jam delapan pagi. Kecuali mungkin untuk buang air. Tapi di kamar mandi tak ada siapa-siapa. Soal mengapa ayah tak pernah keluar dari kamar sebelum jam delapan saya pernah tanyakan pada ibu. Namun ia menyuruh saya bertanya langsung pada ayah. Saat saya bertanya kepada ayah dia diam saja seperti biasanya dia mengacuhkan kata-kata saya. Lagi pula itu tidak penting. Lalu dimana ayah?
Hampir putus asa, saya kembali memeriksa kandang di halaman rumah dengan harapan bahwa tadi pandangan saya keliru. Bahwa sebenarnya kucing-kucing itu masih di kandang. Menggelung tidur dan sedang mimpi indah—apakah kucing bisa bermimpi?— ah, itu tidak penting. Namun kandang tetap kosong. Saya usap-usap mata dan kandang tetap kosong. Saya buka pintu kandang dengan kunci yang sejak tadi di saku dan kandang tetap kosong. Bahkan tak ada sehelai bulu kucing atau kotoran yang mengering. Seakan-akan tak pernah ada yang menempati kandang ini. Lalu dimana kucing-kucing saya?
Langit masih agak gelap. Fajar belum rekah. Bingung dengan situasi yang tak lumrah dan aneh seperti ini saya punya ide untuk kembali ke kamar dan tidur. Saya rasa tidur adalah solusi terbaik untuk mengatasi situasi semacam ini.
Namun saya tidak mengantuk. Saya justru mengambil ponsel dari saku celana untuk menghubungi ibu dan ayah. Mungkin mereka sedang pergi dan sengaja tidak memberitahu saya. Saya menekan-nekan layar ponsel tetapi tak bisa. Ponsel saya mati. Saya tekan tombol di sisi ponsel juga sama. Ponsel saya tidak bisa diaktifkan. Saya ulangi berkali-kali dan hasilnya sama saja. Ini menjengkelkan. Kalau saya tak memikirkan harganya sudah saya banting benda logam balok itu.
Betul-betul pagi yang hening dan menjengkelkan. Tunggu dulu, saya seperti mendengar samar-samar suara. Dari manakah? Oh, rasanya suara itu berasal dari dalam rumah. Tetapi bukankah di dalam tidak ada siapa-siapa? Persetan. Kali ini saya harus lebih mematuhi telinga ketimbang mata saya.
Saya masuk ke rumah dan mencari-cari arah munculnya suara samar tersebut. Semakin dekat suara itu semakin jelas. Awalnya saya mengira itu suara keributan, derai tawa, atau orang-orang mengobrol. Tetapi dugaan saya salah. Suara itu terdengar sedu. Seperti suara isak tangis atau memang begitu. Saya tidak tahu. Semakin saya mendekati sumber suara itu semakin saya mendekati kamar saya sendiri. Apakah itu suara muncul dari kamar saya?
Kini saya berada persis di depan pintu kamar. Kamar yang tiap hari saya masuki dan tidur dan melakukan aktivitas apapun di dalamnya. Dan suara itu makin jelas. Malah bukan hanya isak tangis, saya sekarang mendengar suara kucing-kucing mengeong. Suaranya mirip ngeongan kucing-kucing saya atau memang semua kucing mengeong seperti itu. Saya tidak tahu. Hanya saja, dada saya tiba-tiba merasa sesak dan pandangan saya berkunang-kunang.
Tangan saya bergemetar. Kaki terasa berat sekali dilangkahkan. Saya ingin membuka pintu namun seperti ada tangan gaib menahan saya. Membuat tubuh saya kaku dan diri saya ragu. Sementara suara-suara dari dalam kamar semakin memenuhi telinga. Saya ingin berhenti mendengar suara-suara tersebut. Suara-suara yang begitu menyiksa dan mencabik-cabik rongga dada. Saya belum pernah mendengar suara semacam ini sebelumnya.
Dengan gerak-gerak serupa robot akhirnya tangan saya berhasil menggapai pegangan pintu. Lalu dengan berat menarik dan membukanya. Pintu terkuak. Di dalam kamar saya ramai sekali. Ada banyak orang. Saya tak kenal betul siapa mereka. Bukan hanya orang, ada juga kucing-kucing berwarna hitam. Orang-orang itu mengerumuni tempat tidur saya. Apa yang sebetulnya mereka lakukan di sini?
Saya menyibak kerumunan. Di tepi tempat tidur saya ayah berdiri tegak dengan tatapan kosong. Di sampingnya ibu membungkuk. Sambil menangis ia mengusap-usap kepala sesosok tubuh di tempat tidur. Oh, saya sangat mengenal sosok yang terbujur kaku di tempat tidur itu. Ia mirip sekali dengan saya atau jangan-jangan ia adalah saya. Saya tidak tahu. (*)
Posting Komentar untuk "Kemana Perginya Kucing-kucing | Cerpen Erwin Setia"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar