Iklan Atas

Blogger Jateng

Air Mata Jingga | Cerpen Azwim Zulliandri


Langit sudah jingga. Kepakan bangau disertai kicauannya terdengar sayup-sayup di telinga. Perahu-perahu pencari ikan telah tertambat. Wajah-wajah lelah nelayan seolah sirna dengan hasil tangkapan yang lumayan banyak. Ditambah lagi kedatangan mereka disambut dengan senyum manis keluarganya, yang sedari tadi menunggu kehadirannya di tepian pantai. Rasa lelah seharian berlayar di tengah laut sirna sudah.

Para nelayan bergegas pulang ke rumahnya. Sebentar lagi kumandang azan magrib akan terdengar. Hasil tangkapan tadi segera dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk dijual. Lumayan, hasil tangkapan hari ini bisa untuk mencukupi kebutuhan satu minggu ke depan. Namun demikian, bukan berarti para nelayan tidak melaut esoknya. Mereka tetap melaut sampai suatu saat kondisi alam tidak memungkinkan mereka melaut.

Begitulah kehidupan Fais dan para nelayan lainnya di Kampung Pinggir wilayah pesisir. Sehari-hari Fais dan nelayan lainnya menghabiskan waktu di tengah laut. Sebenarnya, menjadi nelayan bukanlah kehendak hati Fais. Sedari kecil ia bercita-cita untuk menjadi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Namun, apa daya ia terpaksa mengubur impiannya itu dalam-dalam.

Tepat sepuluh tahun lalu, ketika ia hendak melanjutkan pendidikan di salah satu SMA Negeri favorit yang ada di kotanya, yang hanya berjarak 2 km dari Kampung Pinggir, namanya yang semula ada di daftar calon siswa baru, tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Padahal, nilainya cukup tinggi untuk masuk ke sekolah itu. Ia sempat menanyakan itu pada pihak sekolah. Namun, pihak sekolah memberi penjelasan yang tidak memuaskan, yang membuat Fais merasa sakit hati.

“Kenapa bisa begini, Bu? Nilai saya bagus. Kemarin nama saya ada di urutan 91. Lantas, sekarang kenapa tidak ada?” Wajah Fais merah menahan marah kepada ibu yang di hadapannya kala itu.

“Masak iya? Ananda salah lihat nama mungkin,” kata ibu berkacamata tebal itu.

“Sungguh, Bu. Saya tidak berbohong. Ibu lihatlah nilai saya ini. Semua bagus. Dan, jika dibandingkan dengan nama yang ada di daftar ini, harusnya nama saya ada dalam urutan 100 besar. Nah, sedangkan sekolah ini menerima sebanyak 200-an orang siswa baru. Ke mana nama saya, Bu?” kata Fais memelas kepada ibu di hadapannya itu sambil melihatkan nilai-nilainya.

Sekolah itu adalah harapan satu-satunya bagi dia. Kalau mendaftar di sekolah lain—apalagi swasta,—tak sanggup keluarganya untuk membiayainya. Maka, ayah Fais pun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya.

Sejak itu, Fais menjadi pemuda yang lebih banyak menghabiskan hari-harinya di tengah laut. Hidup di laut dan berbaur dengan para nelayan-nelayan lainnya yang jauh lebih tua darinya, membuat pola pikir Fais semakin matang dan dewasa. Maka, tiga tahun semenjak ia putus sekolah, ia pun memutuskan untuk membina kehidupan rumah tangga bersama gadis Melayu pujaan hatiya, Rani. Gadis yang dikenalnya di Dermaga Pulau Sumbu ketika hendak menjual hasil tangkapan ikannya kepadamasya rakat. Gadis yang juga merasakan pahitnya putus sekolah karena terbentur biaya dan pola pikir keluarganya yang teramat picik dengan pendidikan perempuan.

Rani juga sudah bertekad untuk menjadi istri yang baik dan patuh kepada suaminya. Maka, suasana senja kali ini menjadi latar mereka berdua untuk pulang ke rumah kecilnya di tepian pantai Kampung Pinggir. Setiap kali petang menjelang, Rani dan keluarga para nelayan lainnya pasti menunggu Fais dan nelayan lainnya dengan penuh pengharapan.

*****

“Aku berangkat dulu ya, Ran,” kata Fais pada istrinya setelah meneguk teh hangat buatan Rani. Tak lupa Fais membawa bekal yang sudah disiapkan oleh Rani. Sebuah rantang yang berisi nasi, lauk ikan asin, sayur, dan beberapa buah pisang sudah tersusun rapi dalam rantang yang diletakkan Rani di meja teras rumahnya. Bekal yang cukup untuk mengganjal perut di tengah laut nanti.

Rani yang tengah sibuk beres-beres di ruang tengah, segera menghampiri suaminya itu. “Ya, Mas, hati-hati, ya. Semoga tangkapan kali ini melimpah. Seperti kemarin,” kata Rani tersenyum seraya mencium punggung tangan Fais takzim.

Sejurus, pasangan suami istri itu saling bertatapan. Tatapan penuh kasih dan sayang. “Jangan balik larut petang ya, Mas,” kata Rani memecah kesunyian. Ia tersenyum, “nanti sore adik tunggu Mas di bibir pantai Kampung Pinggir ini,” lanjutnya.

“Iya. Engkau jaga diri baik-baik. Jangan sampai kelelahan. Jaga baik-baik calon buah hati kita. Doakan semoga tangkapan hari ini melebihi dari yang kemarin,” kata Fais seraya mengusap lembut perut Rani yang mulai membesar.

“Baik, Mas,” patuh Rani.

Sebenarnya, tak sampai hati Fais meninggalkan Rani seorang diri di rumah. Apalagi, kondisi istrinya itu saat ini tengah mengandung calon buah hati pertamanya. Calon buah hati yang sangat didamba-dambakannya. Calon buah hati yang sudah ditunggu hampir tujuh tahun pernikahannya. Dan, usia kandungan Rani sekarang sudah memasuki 7 bulan. Namun begitulah, bagaimanapun Fais harus tetap melaut, mencari nafkah bagi keluarganya. Dia harus mempersiapkan semua kebutuhan Rani dan calon buah hatinya.

Semenjak kehamilan Rani, waktu Fais di tengah laut sedikit berkurang. Biasanya kalau melaut, Fais dan para nelayan lainnya akan menghabiskan waktu hingga berhari-hari di tengah laut. Namun, semenjak dapat kabar dari Rani bahwa ia tengah mengandung buah hatinya, Fais mau tidak mau harus menyempatkan pulang tiap hari. Sudah lama ia menantikan kehadiran seorang anak di dalam keluarga kecilnya.

Dulu, di awal pernikahan mereka, Rani sempat hamil namun keguguran. Semenjak keguguran itu hingga usia pernikahannya memasuki usia ketujuh tahun, Rani tak lagi pernah hamil. Maka, berbagai upaya telah dilakukan mereka untuk bisa mendapatkan seorang anak, terutama Rani. Pada masa suburnya, Rani selalu memperhatikan pola makannya. Ia akan sering mengonsumsi tauge, bayam, kacang tanah, brokoli, dan sesekali ia meminta uang berlebih pada Fais untuk membeli daging atau hati sapi.

Tidak sampai di situ, cara-cara yang berbaur mitos pun juga telah dilakukan Rani. Mulai dari menempelkan perutnya kepada tetangganya yang tengah hamil tua, menginjak jempol kaki ibu hamil, hingga mencuri celana dalam ibu hamil milik tetangganya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk bisa ketularan hamil. Namun, cara yang seperti ini membuat Fais marah pada Rani.

“Engkau seperti orang yang tidak beragama saja. Masih saja percaya dengan hal-hal yang begituan. Tidakkah engkau sadari bahwa cara itu merupakan suatu bentuk kesyirikan pada Allah? Jangan lagi engkau melakukan hal yang demikian! Cukup ini yang terakhir! Aku paham keinginanmu, keinginanku juga. Tapi, aku tidak mau keluarga kita mendapatkan murka Allah,” kata Fais ketika itu.

*****

Langit kembali jingga. Kepakan bangau disertai kicauannya kembali terdengar sayup-sayup di telinga. Ada mendung menggumpal petanda hujan akan datang. Perahu-perahu pencari ikan telah tertambat di tambatannya masing-masing. Seperti biasa, kedatangan para nelayan disambut oleh keluraga masing-masing. Namun, Fais tidak menjumpai Rani, istrinya. Ditolehkan pandangannya ke arah kerumunan masyarakat yang lain, tapi tak juga ia jumpai. “Barang kali di rumah,” batinnya. Maka, ia urungkan pergi ke TPI bersama nelayan lainnya. Ia langsung bergegas menuju ke rumah.

Apaa…? Sepeninggal saya pagi tadi Rani tidak kenapa-napa. Sejak kapan, Pak Cik?” tanya Fais pada Pak Cik Rizal sesampainya ia di rumah. Fais kaget bukan kepalang mendapat kabar Rani dibawa ke puskesmas.

“Barusan, setengah jam yang lalu. Rani dibawa emak-bapakmu ke Puskesmas Kampung Pinggir. Sepertinya dia ada masalah dengan kandungannya. Segera engkau susullah dia,” kata Pak Cik Rizal menerangkan kepada Fais. Tak tunggu lama, Fais segera menuju ke puskesmas.

Sesampainya di puskesmas, terlihat ayah Fais tengah bersitegang dengan petugas puskesmas. Raut wajah ayahnya tampak memerah. Sepertinya menahan amarah. Emaknya tampak diam membisu. Sementara, Rani terlihat duduk terkulai di sebuah kursi sambil memegang perut besarnya. Tampak ia meringis kesakitan.

“Bilang saja kau butuh uang! Berapa uang yang kau butuhkan nak, ha? Sejuta? Atau dua juta?” kata Pak Mamad, ayah Fais membentak petugas puskesmas. Si petugas tampak diam dan menunduk kaku.

“Ada apa ribut-ribut ini, Yah? Buk, bagaimana istri saya? Tolong selamatkan dia dan anak saya,” Fais memelas.

“Maaf, Pak. Bidan di puskesmas ini lagi keluar. Tadi beliau bilang ada urusan sebentar di rumah. Sudah saya hubungi beliau, tapi nomor HP-nya tidak aktif. Daripada Bapak menunggu, sebaiknya istri Bapak dibawa ke Rumah Sakit Umum saja.”

Mendengar ucapan petugas puskesmas itu, Fais langsung mafhum dan segera membawa istrinya keluar dari puskesmas. “Tolong pesankan ke bidan di sini ya, Bu! Jika ingin mendapatkan berkah, bekerjalah dengan hati,” Fais meletakkan jari tunjuknya di dada. Tatapannya gagah memandang petugas yang menunduk. Ia berlalu meninggalkan petugas.

Segera dicari transprotasi daring untuk menuju Rumah Sakit Umum yang jaraknya lebih kurang 15 km dari Puskesmas Kampung Pinggir. Dia terpaksa membawa Rani ke rumah sakit itu karena rumah sakit itu milik pemerintah. Dia tidak mungkin membawa Rani ke rumah sakit swasta karena keterbatasan biaya. Di Rumah Sakit Umum, dia bisa memanfaatkan Kartu Indonesia Sehat yang memang diprogramkan untuk rakyat miskin seperti dirinya.

*****

Langit sudah jingga. Matahari segera kembali ke peraduannya. Gumpalan cahaya jingga berbaur dengan gelapnya awan hitam yang menggantung di langit Kampung Pinggir. Sementara, di puncak bukit yang menghadap ke laut, cahaya temaram obor dan lampu lentera menemani para penggali kubur dan pelayat.

Tepat siang habis zuhur tadi, berita duka telah menyelimuti Fais dan Rani. Buah hati yang didamba-dambakan selama ini harus lebih dulu menghadap Pencipta di usia yang tak sampai 24 jam.

Fais terpukul sangat. Namun, berusaha untuk tegar dan tabah. Matanya sembap menahan tangis. Sementara, Rani masih berada di rumah sakit. Ia belum sadarkan diri. “Entah apa yang akan terjadi pada dirinya jika mengetahui anak yang dilahirkannya telah tiada,” batin Fais. Panjang pikirannya mengingat Rani. Tak kuasa bendungan kokoh yang dibangun di kelopak matanya, akhirnya jebol juga. Air matanya jatuh berderai di atas tanah merah kuburan.

“Sudahlah, jangan kau turuti tangismu. Ikhlaskan dia,” kata Pak Mamad. “Sedari dulu, kota ini memang terlalu kejam buat kita yang melarat ini,” lanjutnya.(*)