Iklan Atas

Blogger Jateng

Mata, Air, Hujan | Cerpen Sungging Raga


ALKISAH, di tengah kota Yogyakarta, hiduplah sepasang suami istri yang tinggal di sebuah perumahan elite. Mereka adalah Salem dan Nalea, yang usianya sudah mendekati angka lima puluhan.

Salem bekerja di sebuah kantor perizinan, ia bertugas di lahan yang basah; sebutan untuk bagian yang banyak menghasilkan uang sampingan selain gaji pokok. Sementara Nalea adalah seorang istri yang aktif berjualan pakaian, tas, dan asesoris secara online. Pelanggannya sangat banyak dan mayoritasnya dari kalangan sosialita menengah ke atas.

Untuk lebih menekankan kesuksesan keluarga ini, maka ketahuilah bahwa mereka memiliki tiga anak yang semuanya laki-laki. Anak-anak itu bernama: Mata, Air, dan Hujan. Namun tak seperti sang ayah yang bisa mencari uang dengan mudah karena pandai mencari celah, ketiga anak ini cenderung pemalas dan mengandalkan harta orangtuanya.

Anak tertua, Mata, suka menghabiskan waktu berjam-jam dengan game online, ia bercita-cita menjadi Menteri Olahraga yang memasukkan permainan online sebagai cabang olahraga yang dilombakan dalam PON. Anak kedua, Air, suka chat dengan banyak teman wanita di instagram, ia bercita-cita menjadi selebriti dunia maya. Sementara Hujan suka berkomentar di halaman humor politik.

Kehidupan keluarga ini memang tampak akan baik-baik saja, sampai suatu hari, takdir membawa mereka pada sisi gelap yang tak terpikirkan….

*****

Suatu kali, dalam perjalanan pulang setelah menerima uang suap, Salem merasa mobilnya diikuti. Ia lantas berkata pada sopir untuk mempercepat laju mobil. Nahas bagi sopir yang ternyata belum berpengalaman mengemudi di bawah tekanan, ia panik tatkala melihat lampu lalu lintas beranjak kuning menuju merah. Akhirnya mobil itu melaju terus dan berbenturan keras dengan sebuah bus jurusan Surabaya-Yogyakarta. Salem dan sopirnya langsung tewas seketika.

Kejadian maha dahsyat ini telah mengguncang keluarga itu. Rumah tangga menjadi kacau. Dan yang lebih menyedihkan, ketiga anak pemalas itu justru memperebutkan satu harta warisan ayahnya yang paling berharga: Satu kopor berisi batang-batang emas murni… Dan anak-anak itu tak mau saling membagi!

Nalea tidak mengerti bagaimana ambisi harta bisa tumbuh di jiwa tiga anaknya. Mereka jadi saling membelakangi, saling mencaci dengan kata-kata yang keji, bahkan sesekali berkelahi memecahkan perabotan.

Akhirnya, karena tak mampu menghadapinya sendirian, sang ibu pun mengumpulkan mereka, Kemarilah anak-anakku.
Setelah mereka bertiga duduk di hadapannya, Nalea pun berkata laiknya tokoh dalam dongeng, Kalau kalian memang ingin mendapatkan warisan ini, kalian harus menyelesaikan tugas yang Ibu buat.

“Tugas apakah?” tanya mereka.

“Tugas ini berbeda-beda. Siapa dari kalian yang lebih dahulu menyelesaikan tugasnya dan kembali kemari, maka ia yang berhak mendapatkan warisan paling besar itu.”

Ketiga anak ini seperti mendapat sebuah tantangan, gelora jiwa mereka memuncak bersemangat. “Apa saja, Ibu?”

“Mata, kau bertugas mencari di mana letak Mata Air Hujan. Untukmu Air, kau bertugas mencari di mana letak Air Mata Hujan. Dan untukmu Hujan, kau bertugas mencari di mana letak Hujan Air Mata. Siapa yang berhasil menemukannya, segeralah kembali dan kabarkan kepada Ibu.”

Ketiganya berpandangan heran. Tidak mengerti. Namun Nalea bergeming, tak memberikan penjelasan lebih dari itu. Sebenarnya terasa berat bagi seorang ibu melepas tiga anaknya yang tak terbiasa berada di luar. Namun tekad untuk mengubah semuanya, telah mengalahkan rasa kasihan di dadanya. Diberikannya masing-masing anak itu kartu kredit sebagai bekal.

Maka esok paginya, ketiga bersaudara itu pun benar-benar berangkat. Ada yang naik pesawat, ada yang naik bus, dan ada yang naik kereta. Mereka mencari ke tempat berbeda, dan tak ada yang bepergian searah.

Begitulah, lantas hari dan bulan pun berlalu…

*****

Rumah tetap terurus dengan baik karena Nalea masih ditemani pembantu dan tukang kebun. Nalea lebih sering merenung di balkon, memikirkan ketiga anaknya. Apakah mereka baik-baik saja? Nalea tak pernah mengerti, ia yang menyuruh mereka pergi tapi ia juga yang terus berdoa kepada Tuhan agar anaknya segera kembali. Dan doa itu ternyata dikabulkan tepat di hari ulang tahunnya yang ke lima puluh, ketika tiba-tiba terdengar bel pintu depan berbunyi.

Nalea beranjak dari kamarnya dan membuka pintu. Ternyata ada Hujan, anaknya yang paling muda, tampak kusut, kusam, dan tak terurus, datang dan langsung memeluk ibunya. Berhamburanlah air mata sang ibu, seperti bendungan yang tak mampu lagi menahan gumpal awan kerinduan.

“Kemana saja kamu selama ini, Nak?” Nalea tentu tidak lagi peduli apakah Hujan sudah menyelesaikan tugasnya atau belum, ia hanya sangat merindukan pertemuan itu.

Hujan tak menjawab, ia masih memeluk sang ibu. Sesaat rumah besar seakan hanyut dalam birokrasi kasih sayang antara ibu dan anak. Barulah setelah beberapa menit, Hujan berkata, “Aku sudah menemukannya, Bu.”

Nalea terdiam sesaat. “Menemukan?”

“Ya. Menemukan apa yang Ibu perintahkan. Sebenarnya, semua jawaban pertanyaan itu adalah Ibu sendiri.”

Nalea tertegun mendengarnya. “Apa maksudmu?”

Hujan pun tak mampu menahan sesuatu yang terbit di sudut matanya. “Selama ini, Ibu sendiri adalah mata air hujan, Ibu jugalah air mata hujan, dan Ibu juga adalah hujan air mata… Ibu, tidak mengapa aku tidak mendapatkan warisan, tapi aku tidak ingin berpisah lagi dari Ibu.”

Mata Hujan kini benar-benar basah, ia lebih erat memeluk ibunya… Nalea mungkin mengira kedua anaknya yang lain juga akan kembali. Namun sayang sekali, sampai cerita ini selesai ditulis, Mata dan Air tak terdengar lagi kabarnya… [*]

Posting Komentar untuk "Mata, Air, Hujan | Cerpen Sungging Raga"